Raja Kerajaan Allah
10 Agustus 2023Memiliki Kerajaan Allah
17 Agustus 2023Tempat Kerajaan Allah
Otoritas seorang raja mana pun dibatasi oleh batas-batas wilayah kerajaannya. Menerapkan prinsip ini pada Kerajaan Kristus akan menciptakan ketegangan antara iman dengan apa yang kelihatan. Alkitab menyatakan bahwa bumi, termasuk segala isinya dan dunia serta semua penghuninya, adalah milik TUHAN (Mzm. 24:1), tetapi dunia menentang pemerintahan Allah dan bersikeras memisahkan diri dari Allah dan pemerintahan-Nya yang berdaulat (Mzm. 2:3). Meski pemberontakan terjadi, Allah menyatakan bahwa Ia akan melantik Raja yang diurapi-Nya di gunung Sion yang kudus (ay. 6). Iman terhadap pemerintahan Kristus yang bersifat perantara, yang menundukkan, memerintah, dan membela kita dengan mengekang dan menaklukkan semua musuh-Nya dan musuh-musuh kita (Katekismus Kecil Westminster 26), adalah sebuah penghiburan bagi warga Kerajaan-Nya. Namun, Alkitab mengantisipasi ungkapan tentang Kristus sebagai Raja yang melampaui pemerintahan rohani gereja-Nya, yang atasnya Ia adalah Kepala yang berdaulat (Ef. 1:22; Kol. 1:18).
Sering kali Alkitab menggambarkan pemerintahan Kristus dalam pengertian geografis. Wilayah kekuasaan-Nya adalah dari laut ke laut—bahkan sampai ke ujung bumi (Mzm. 72:8). Zakharia 14:9 menantikan hari ketika Tuhan mejadi Raja atas seluruh bumi. Daniel menunjuk pada suatu waktu ketika segala kerajaan di dunia akan dihancurkan berkeping-keping dan digantikan dengan sebuah kerajaan yang tidak akan dihancurkan (Dan. 2:44). Kita sebaiknya melihat inklusivitas geografis ini tergenapi dalam keadaan kekalnya ketika Allah menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru, yang menggantikan ciptaan lama yang dikutuk oleh dosa, dengan sebuah dunia baru yang seperti Eden, yang ditandai dengan kebenaran yang sempurna (Yes. 65:17; 2 Pet. 3:13; Why. 21:1). Mungkin fitur yang terpenting dari kerajaan masa depan ini adalah kehadiran sang Raja di tengah-tengah warga-Nya (Zak. 2:5, 10-11). Meski gereja sekarang ini tinggal di dalam lingkungan yang tidak bersahabat, gereja memegang harapan indah bahwa segala kerajaan di dunia ini akan runtuh dan Kerajaan Allah akan bertahan. Sekarang gereja berada dalam konflik, tetapi nanti gereja akan mengalami kemenangan dan menduduki sebuah tempat nyata yang penuh damai dan kebenaran di hadapan sang Raja.
Instruktif bagi teologi kerajaan ini adalah perhatian yang diberikan mengenai tanah perjanjian di sepanjang Perjanjian Lama. Banyak dari teologi Perjanjian Lama menaruh perhatian pada penaklukan, warisan tanah, pengusiran, dan pendudukan kembali tanah tersebut oleh bangsa Israel. Janji awal tentang tanah tersebut merupakan bagian integral dari perjanjian Allah dengan Abraham. Allah menjanjikan Abraham tanah yang membentang dari Sungai Efrat sampai sungai Mesir (Kej. 12:7; 15:18-17:8). Meski Allah memberi jaminan kepada Abraham bahwa keturunannya akan memiliki tanah itu selama-lamanya, Abraham paling hanya memiliki sedikit lebih baik daripada sekadar simbolis karena ia memiliki hanya sebuah gua (Kej. 13:17, 23). Abraham tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar mengenai tanah yang dijanjikan tersebut daripada sekadar tanah, sebab perhatian utamanya tertuju pada tanah air surgawi yang lebih baik (Ibr. 11:16). Dalam satu arti, pengalaman Abraham mencerminkan pengalaman gereja: kepemilikannya “sekarang/now” atas tanah tersebut tidak setara dengan realitas “belum/not yet” yang akan datang. Teologi tanah ini berfungsi sebagai sebuah pelajaran objek mengenai Kerajaan Allah.
Pertama, tanah tersebut dijanjikan. Meskipun janji tersebut pasti, ada bagian geografis dari janji tersebut yang tidak terealisasi bukan hanya bagi Abraham tetapi juga bagi keturunannya. Selama lebih dari empat ratus tahun, keturunan Abraham dijadikan budak di sebuah negeri yang asing tanpa prospek mewarisi janji kuno tersebut. Namun, Allah memperbarui janji tersebut (Kel. 6:8; 13:5, 11), dan bangsa tersebut mengambil langkah pertama menuju warisannya. Seperti bapa mereka, Abraham, mereka memercayai janji tersebut tanpa menyaksikan penggenapannya, sebab generasi yang meninggalkan Mesir tidak pernah menyeberangi sungai Yordan. Hal yang sama terjadi pada gereja saat ini. Dengan iman kita tahu bahwa orang yang lemah lembut akan mewarisi bumi (Mat. 5:5), dan keturunan rohani Abraham akan mewarisi dunia (Rm. 4:13). Ini melampaui pengalaman “sekarang” kita, tetapi ini adalah janji Allah. Satu hal yang pasti: Kristus telah menyediakan sebuah tempat bagi umat-Nya (Yoh. 14:2; Ibr. 6:19-20).
Kedua, tanah tersebut kaya. Allah menggambarkan tanah tersebut sebagai tanah yang baik dan luas, berlimpah susu dan madu (Kel. 3:8). Ini adalah bahasa kiasan untuk mengungkapkan kelimpahan yang akan dihasilkan tanah tersebut. Kekayaan tanah tersebut adalah cara yang jelas untuk menggambarkan berkat-berkat yang dimiliki umat tebusan. Menjadi salah seorang umat tebusan Allah berarti berada di sebuah tempat yang kaya secara rohani. Dalam istilah Paulus, Allah dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam surga (Ef. 1:3). Tanah orang Kristen yang berlimpah “susu dan madu” sama dengan surga.
Ketiga, tanah tersebut berpenghuni. Tanah yang dijanjikan Allah kepada bangsa Israel tidak tergeletak diam atau tak berpenghuni selama mereka diperbudak di Mesir. Allah berkata bahwa tanah tersebut didiami oleh bangsa-bangsa yang lebih besar dan lebih kuat daripada Israel (Ul. 7:1). Kehadiran penduduk asli ini memunculkan masalah bagi iman dan potensi ancaman terhadap kesetiaan. Tuhan menangani ancaman tersebut dengan memberi peringatan agar tidak menetap bersama dengan penduduk asli dan mengikat perjanjian dengan mereka, sebab itu akan menjadi jerat bagi mereka sehingga berdosa terhadap Allah (Kel. 23:32-33). Sebaliknya, mereka harus “memusnahkan sama sekali” berhala-berhala mereka dan “meremukkannya” (ay. 24). Kegagalan bangsa Israel dalam mengindahkan peringatan ini menyebabkan mereka dibuang dari tanah tersebut.
Masalah bagi iman sama nyatanya. Karena penduduk asli Kanaan merupakan prajurit-prajurit yang kuat dan berpengalaman, sedangkan bangsa Israel lemah dan tidak berpengalaman dalam berperang, bagaimana mereka mendapatkan tanah tersebut menjadi pertanyaan yang mendesak. Bahwa tanah tersebut merupakan pemberian Allah adalah satu hal, tetapi memiliki pemberian itu sepertinya adalah hal yang berbeda. Hampir tidak mungkin penduduk asli akan dengan rela meninggalkan negeri mereka; mereka akan berjuang untuk mempertahankan tanah air mereka. Kemungkinan bangsa Israel memenangkan peperangan tersebut kecil sekali. Bagaimana Tuhan menjelaskan proses untuk dapat memiliki tanah tersebut mencerminkan sebuah pelajaran rohani yang penting tentang orang percaya menaklukkan kuasa dosa.
Prosedur melawan orang-orang Kanaan ada dua bagian: Allah akan berperang bagi bangsa Israel, dan bangsa Israel harus berperang bagi diri mereka sendiri. Tuhan meyakinkan umat bahwa Ia akan melenyapkan musuh mereka, menghancurkan mereka, dan menyebabkan mereka mundur (Kel. 23:23, 27). Ia akan melakukannya dengan mengutus seorang malaikat berjalan di depan mereka, yang harus mereka taati (ay. 20, 23). Selain malaikat yang memimpin itu, Allah akan mengutus kegentaran dan tawon ganas untuk mengusir orang-orang Kanaan (ay. 27-28). Kedua bahasa kiasan ini merujuk kepada sesuatu yang menimbulkan teror.
Penaklukan Kanaan menggambarkan kerja sama antara Allah dan umat-Nya. Allah meraih dan memastikan kemenangan demi janji-Nya bahwa Ia akan memberi tanah itu kepada mereka dan mengusir orang-orang Kanaan yang menghalangi mereka mendapatkan janji itu. Meski demikian, orang Israel sendiri harus menyeberangi sungai Yordan dan mengusir musuh mereka dalam pertempuran yang sengit (Ul. 9:3). Dengan percaya bahwa Allah telah mengaruniakan kemenangan, mereka memasuki tanah tersebut dan berperang dengan keyakinan akan memperoleh kemenangan. Orang Israel memiliki tanah tersebut hanya dengan menaati perintah Allah dan menggunakan pedang mereka. Pertempuran untuk memiliki tanah tersebut terjadi terus menerus, dan kepemilikan atas wilayah baru terjadi secara bertahap.
Penaklukan atas tanah tersebut menggambarkan pertempuran orang percaya melawan dosa, proses pengudusannya yang bersifat progresif. Meski Kristus telah memperoleh kemenangan kita atas dosa, dan menghancurkan kuasanya atas kita, dosa tidak melarikan diri dari kita hanya karena kita telah diselamatkan. Jika kita berusaha memerangi dosa dengan kekuatan kita sendiri, maka kita pasti kalah, sebab dosa lebih kuat daripada kita. Sebaliknya, jika kita tidak berjuang melawan dosa dengan perlengkapan senjata Allah, maka kita juga pasti kalah. Namun, jika kita masuk dalam konflik dengan mengklaim semua yang telah dijanjikan Allah dan yang telah dimenangkan oleh Kristus, maka kita dapat menikmati kemenangan. Sekalipun kita mengalami kemenangan atas dosa tertentu, kita tidak boleh melonggarkan kewaspadaan karena kita hidup di dunia yang penuh dengan orang-orang Kanaan yang berupa dosa dan godaan. Satu kemenangan hanya akan menuntun kepada konflik berikutnya. Peperangan menandai pengalaman kita akan Kerajaan Allah saat ini.
Keempat, tanah tersebut adalah tempat hadirat ilahi. Dalam nyanyiannya setelah keluar dari Laut Teberau, Musa memasukkan di dalam pujiannya sebuah rujukan tentang tanah ke mana Allah akan membawa umat-Nya: “Engkau membawa mereka dan Kausemaikan di atas gunung milik-Mu; di tempat yang telah Kaujadikan kediaman-Mu, ya TUHAN” (Kel. 15:17). Dalam arti yang khusus dan rohani, berada di tanah tersebut berarti berada di mana Tuhan berada, yaitu berada di dalam hadirat-Nya. Tuhan dengan murah hati meyakinkan Musa bahwa hadirat-Nya akan mengikutinya ke tanah tersebut, dan Ia akan memberi perhentian (LAI – ketenteraman, Kel. 33:14). Ide tentang “perhentian” menjadi sinonim dengan tanah tersebut dan hadirat Allah (Mzm. 132:13-14). Perhentian adalah di mana Allah berada; menandai hadirat Allah. Dalam pengertian ini, tanah tersebut menunjuk kepada perhentian terakhir yang akan dinikmati oleh setiap orang percaya di dalam kerajaan surgawi Allah, yaitu tempat hadirat Allah yang mulia dan rumah kekal orang percaya (1 Pet. 1:4). Dalam pengertian lain, tanah itu sejajar dengan perhentian Sabat yang dinikmati oleh orang-orang percaya dalam tempat ibadah, di mana Allah berjumpa dengan umat-Nya. Tempat ibadah adalah perwujudan dari tempat Kerajaan Allah.
Tanah perjanjian memberi sentuhan yang berarti terhadap teologi kerajaan. Keduanya adalah tempat yang nyata. Tanah tersebut adalah lambang hadirat Allah di tengah-tengah umat tebusan-Nya, serta perlindungan dan pemeliharaan-Nya atas mereka. Dalam arti yang terakhir, tanah tersebut merupakan tanda yang khas (nubuat yang berupa gambaran) dari Kerajaan Allah yang universal dan kekal, pengalaman akan hadirat Allah dan kedamaian sebagai konsekuensinya yang ultima. Tanah tersebut berbicara tentang tujuan akhir umat Allah dan juga perjalanan harian menuju tujuan akhir tersebut. Masuk ke tanah perhentian merupakan tujuan akhir orang percaya. Kerajaan Allah akan segera datang.