


Kerajaan Allah dan Alkitab
07 Agustus 2023


Tempat Kerajaan Allah
15 Agustus 2023Raja Kerajaan Allah


Dalam dunia kuno, seorang raja mengawasi pembangunan gedung-gedung publik, memimpin tentara kerajaan dalam perang, menjalankan sistem keadilan, dan mengajarkan hikmat dalam semua kegiatan tersebut. Sang raja adalah perwujudan dari identitas kerajaannya, ia adalah ekspresi yang sempurna dari rakyatnya, dan ia sering kali digambarkan sebagai bapa bangsa, yang menunjukkan hubungan antara raja dan rakyat yang lebih dalam daripada sekadar hubungan politik atau pemerintahan. Hubungan antara seorang raja dengan rakyatnya, yang terbaiknya, merupakan sebuah kemungkinan yang luar biasa untuk perkembangkan manusia, dan yang terburuknya, merupakan peluang yang mengerikan untuk penderitaan manusia.
Raja dalam Rencana Penebusan Allah
Umat manusia selalu dimaksudkan untuk memiliki raja, sebab manusia diciptakan sebagai bagian dari Kerajaan Allah. Inilah kehendak Allah ketika Ia menciptakan kita menurut imago Dei, “gambar Allah”, membentuk manusia dari tanah untuk menempati dan pada akhirnya memenuhi seluruh wilayah kekuasaan-Nya di bumi dengan gambar-Nya. Di dalam Kejadian 1, bumi digambarkan sebagai sebuah istana fisik yang suatu hari nanti akan diisi dan ditaklukkan oleh wakil-wakil raja yang adalah manusia yang diciptakan menurut gambar sang Raja-Pencipta yang ilahi (ay. 27-28). Identitas yang berkaitan dengan raja ini mengungkapkan identitas manusia kita pada tataran yang paling mendasar. Bahkan setelah kegagalan total dan kehancuran karena kejatuhan, umat manusia masih dipanggil untuk mengarahkan matanya kepada visi tentang bumi yang dipenuhi dengan kemuliaan Allah. Gambar-gambar Allah yang telah ditebus dipanggil untuk berdoa agar pemerintahan Allah sebagai Raja terjadi di bumi “seperti di surga” (Mat. 6:10; lihat Yes. 6:3). Yesus menyuruh kita berdoa seperti itu karena Ia juga menantikan hari itu.
Setelah kejatuhan, Allah menunjuk sebuah keluarga dari antara semua keluarga di muka bumi, yang darinya sebuah garis keturunan raja akan muncul, sekarang sebagai bagian dari karya penebusan-Nya. Abraham tidak hanya dijanjikan bahwa Allah akan menjadikannya sebuah bangsa yang besar, tinggal di tanah yang sangat baik, tetapi juga dijanjikan “darimulah raja-raja berasal” (Kej. 17:6). Ini mengindikasikan bahwa pengharapan akan penebusan yang telah dinyatakan pada zaman bapa-bapa leluhur di Perjanjian Lama mencakup pengharapan akan seorang raja manusia yang akan datang dari garis keturunan Abraham.
Gambaran tersebut makin diperjelas di dalam perjanjian Musa, di mana kita menemukan aturan dan batasan bagi seorang raja di masa depan untuk mendorongnya agar tetap setia kepada Tuhan (Ul. 17:14-20). Kita tidak usah terkejut bahwa perikop seperti ini telah ada sebelum penobatan atas raja yang sebenarnya terjadi. Banyak dari ajaran Musa mengisyaratkan berkat yang nantinya akan diberikan kepada bangsa Israel. Di sana, di pinggir tanah perjanjian, bertempat di tanah Moab, besarnya pengharapan bangsa Israel dijabarkan secara rinci di dalam kitab Ulangan, termasuk pemeliharaan Allah atas Kemah Suci, aturan-aturan cara hidup di tanah tersebut, struktur kerajaan teokrasi, dan profil yang harus dimiliki seorang raja Israel agar dapat memerintah bangsa Israel.
Kitab sejarah Yosua sampai 2 Samuel menceritakan kisah tentang bagaimana bangsa Israel memegang harapan ini. Jadi, kita tidak perlu terkejut ketika melihat bahwa konsep kerajaan muncul kembali dalam perjanjian yang lain, yang kali ini menetapkan takhta kerajaan yang kekal dalam garis keturunan Raja Daud (2 Sam. 7). Seperti Abraham dan Musa sebelumnya, Daud menerima sebuah janji yang penggenapannya baru akan terjadi dalam waktu yang lama di masa depan.
Pesan yang merupakan kesatuan di dalam Perjanjian Lama jelas: sejak mulanya, sang Raja ilahi selalu menghendaki agar umat manusia dipersatukan di bawah pemerintahan raja manusia yang ditunjuk-Nya, yaitu seorang yang akan menaklukkan bumi di bawah pemerintahan-Nya yang benar dan berlimpah. Tragisnya, seiring tirai Perjanjian Lama ditutup, seorang kandidat yang tepat dari garis keturunan Daud belum diidentifikasikan. Namun, ketika tirai Perjanjian Baru dibuka, Yesus muncul sebagai Raja yang sejati dan pewaris yang sah dari semua janji penebusan Allah. Sesungguhnya, semua janji Allah adalah “Ya” di dalam Kristus dan “Amin” bagi orang-orang yang dipersatukan dengan-Nya di dalam Kerajaan-Nya (2 Kor. 1:20).
Kerajaan Kristus yang Dijanjikan
Kristus menunjukkan diri-Nya sebagai Raja yang dinantikan oleh umat manusia, sebab Ia satu-satunya rekan perjanjian yang memenuhi semua persyaratan yang dituntut Allah. Dengan demikian, Ia adalah “Adam yang terakhir” (1 Kor. 15:45; lihat Rm. 5:12-21; 1 Kor. 15:22), Israel yang sejati (Mat. 2:15; Yoh. 15:1-17), dan Anak Daud yang adalah Mesias (Mat. 1:1; 9:27; 20:30), yang menggenapi semua peran dan menerima warisan yang telah diantisipasikan oleh setiap perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya.
Tidak seperti kepala-kepala perjanjian yang datang sebelum Dia, Kristus melaksanakan perjanjian-Nya bagi umat-Nya dari sebuah posisi yang memiliki identifikasi unik dengan Allah. Para rasul penulis Alkitab didesak keras untuk menggambarkan posisi otoritas Kristus di dalam dunia hanya dalam satu ungkapan superlatif yang sangat tinggi. Ia adalah “gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya” (Ibr. 1:3), “dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keilahan” (Kol. 2:9), Dia ditempatkan “jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan” (Ef. 1:21). Dengan demikian, perjanjian Kristus tidak hanya melampaui segala perjanjian lain sebelumnya; ini adalah sebuah realitas di mana semua perjanjian sebelumnya hanyalah bayang-bayang saja (Rm. 5:14; Kol. 2:7; Ibr. 8:5; 9:23, 24; 10:1). Apa pun dan siapa pun yang melambangkan Kristus sebagai Raja di dalam Perjanjian Lama sekarang telah diturunkan kepada status antisipasi, bayang-bayang, atau tipe. Semua ini menunjuk kepada Kristus dan sekarang menemukan maknanya di dalam Dia.
Kerajaan Allah memberikan bingkai tematis untuk pelayanan Yesus di bumi. Ia memulai pelayanan-Nya dengan bersaksi bagi Kerajaan-Nya (Mat. 4:17; Mrk. 1:15), dan Ia mengutus para Rasul untuk melanjutkan misi Kerajaan itu setelah Ia pergi (Mat. 28:16-20). Menurut Katekismus Kecil Westminster, Kristus menjalankan jabatan Raja dengan “menundukkan kita kepada diri-Nya, dengan memerintah dan membela kita, dan dengan mengekang dan menaklukkan semua musuh-Nya dan musuh-musuh kita” (P & J 26). Orang-orang yang terhitung sebagai umat Allah akan menghormati dan menaati dengan penuh hormat sang Raja yang telah diteguhkan Allah atas mereka. Seseorang tidak boleh mengklaim diselamatkan dengan cara lain seperti melalui garis keturunan atau pencapaian moral. Ia harus menerima Kristus sebagai Raja. Meski banyak ahli Taurat dan orang Farisi pada zaman Yesus jelas menolak ajaran-Nya karena mereka memegang satu bentuk legalisme, namun mungkin juga banyak orang semata-mata tidak bersedia membuka diri untuk beriman pada seseorang seperti Yesus. Seperti halnya berbagai pemberontakan yang terjadi di dalam Perjanjian Lama, penolakan mereka terhadap otoritas yang ditunjuk oleh Allah merupakan pemberontakan terhadap Allah itu sendiri (Bil. 16; Yoh. 8:19). Tidaklah cukup kita merangkul hukum Musa atau janji Allah kepada Daud jika kita menolak Kristus sebagai raja. Seperti yang Yesus peringatkan, “Jika kamu mengenal Aku, kamu juga mengenal Bapa-Ku” (Yoh. 14:7).
Sampai hari ini, Kristus memerintah di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa (Kis. 5:31; Kol. 3:1). Sebagai hasilnya, gereja Kristus tidak melihat kepada seorang kudus di masa lalu sebagai kepala perjanjian kita; begitu juga kita tidak melihat kepada benda-benda peninggalan generasi sebelumnya, melainkan kita melihat pada seorang Raja yang hidup sebagai otoritas yang tertinggi dan terutama.
Kerajaan di mana Kristus Berdiam
Anggota-anggota gereja yang universal sangat menyatu satu sama lainnya di dalam Kristus sama seperti mereka berbagian dalam persekutuan antara Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Persekutuan rohani ini memungkinkan orang-orang percaya, sebagai individu dan sebagai satu tubuh korporat, bebas dari kerusakan dosa yang pernah menguasai mereka, pada saat yang sama juga mengikat mereka satu sama lain sebagai tubuh korporat Kristus, yaitu Bait Suci Allah yang hidup di bumi, dan agen utama dari Kerajaan Kristus (Mat. 16:19). Kristus memulai aspek pemerintahan-Nya sebagai Raja ini dalam doa-Nya yang dinaikkan-Nya persis sebelum Ia dikhianati:
“Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku”. (Yoh. 17:20-23)
Kristus jelas memimpin gereja-Nya, dan gereja dipersatukan di dalam-Nya melalui Roh Kudus, yang disebut para Rasul dengan jelas sebagai “Roh Kristus” (Rm. 8:9; 1 Pet. 1:11). Roh tersebut tidak hanya efektif dalam melahirbarukan orang percaya, tetapi Ia juga adalah sarana pemeliharaan yang reguler dari Allah, yang memampukan orang-orang Kristen hidup sebagai warga Kerajaan Kristus. Kristus sebagai Raja memiliki penerapan yang bersifat dua arah. Kristus sebagai Raja menetapkan hubungan yang tepat antara Allah dengan umat-Nya karena Kristus adalah manusia sejati, tetapi juga menetapkan hubungan yang tepat antara umat-Nya dengan Allah karena Kristus adalah Allah sejati. Karena Kristus, kita dapat dipersatukan dengan Allah dan menikmati semua berkat yang melekat dalam kesatuan itu.
Karakter dan karya gereja didasarkan pada Kristus, dihidupkan dalam Roh-Nya, dan diarahkan kepada tujuan-tujuan Kerajaan-Nya. Ia ada di dalam kita sebagaimana kita ada di dalam-Nya. Kristus lebih dari sekadar seorang kudus dalam tradisi kita atau seorang nabi Allah; Ia adalah penggenapan dari semua pengharapan dalam Alkitab Ibrani. Hati kita diselaraskan dengan hati raja-Nya melalui karya Roh Kudus dalam pengudusan, dan karena kesatuan rohani kita dengan-Nya, kita merindukan Kerajaan-Nya datang dalam kepenuhannya.