Mencintai Alkitab
27 Februari 2024Ibadah Orang Yahudi
05 Maret 2024Konteks Yunani-Romawi dari Dunia Yahudi
Pernahkah Anda merasa ada sesuatu yang terlewatkan ketika membaca Perjanjian Baru? Saya tidak akan pernah lupa merasakan hal tersebut saat pertama kali membaca Alkitab dari Kejadian hingga Wahyu. Ketika saya sampai di kitab-kitab Injil, saya langsung dihadapkan pada kelompok-kelompok agama dan politik seperti orang Farisi dan orang Saduki. Tapi dari mana mereka berasal? Saya tidak ingat pernah membaca tentang mereka di Perjanjian Lama. Herodes Agung disebut sebagai “raja orang Yahudi”, tetapi bagaimana dia bisa mendapatkan posisi itu? Orang Romawi jelas berkuasa, tetapi bagaimana caranya Romawi bisa memerintah bangsa Yahudi? Terakhir kali saya baca, raja Persia, Kores, memerintah atas mereka, mengizinkan umat untuk kembali ke tanah mereka dan membangun kembali Bait Suci. Apa yang sebenarnya terjadi di halaman-halaman kosong antara Maleakhi dan Matius?
Pada saat itulah saya menyadari bahwa saya perlu memahami latar belakang historis, budaya, dan politik dari Perjanjian Baru. Dalam artikel ini, saya ingin menunjukkan bagaimana latar belakang teks menerangi teks yang tertulis dan bahwa ketika kita ingin memahami dunia Yunani-Romawi orang Yahudi, kita perlu memperhatikan konteks historis, budaya, dan politik dari momen krusial ini dalam sejarah penebusan.
SEJARAH DUNIA YUNANI-ROMAWI
Aleksander Agung menguasai Israel pada tahun 332 SM dan memaksakan cara hidup Yunani kepada bangsa Yahudi—ia “menghelenisasi” Tanah Suci. Dia menyebarkan budaya Yunani, mendirikan kota-kota Yunani, membangun bangunan Yunani, memperkenalkan mata uang Yunani, dan menyebarkan bahasa Yunani. Meskipun Aleksander membiarkan orang Yahudi hidup sesuai dengan hukum leluhur mereka, namun cara hidup Yunani menjadi ancaman terbesar untuk mempertahankan identitas Yahudi yang unik.
Beberapa orang Yahudi, terutama yang lebih muda, menyukai pergeseran budaya dalam hal identitas ini. Mereka mengenakan topi Yunani bertepi lebar dan cepat-cepat menyelesaikan tugas mereka di Bait Suci untuk berolahraga tanpa busana di gimnasium, seperti halnya orang Yunani. Beberapa bahkan menjalani operasi untuk membalikkan sunat mereka.
Orang Yahudi lainnya merasa jijik dan ingin sekali dibebaskan dari kendali Yunani. Setelah Aleksander meninggal pada tahun 323 SM, dinasti Seleukid akhirnya mengambil alih kendali atas orang Yahudi. Namun pada saat itu, pemberontakan telah mulai direncanakan. Kemudian pada tahun 167 SM, pemberontakan akhirnya terjadi. Raja Antiokhos IV Epifanes dari dinasti Seleukid menghancurkan salinan-salinan Alkitab Yahudi, melarang sunat, melarang perayaan hari Sabat dan hari raya, dan mempersembahkan babi di atas mezbah kurban bakaran. Menanggapi penajisan ini, satu keluarga yang berani melancarkan pemberontakan Yahudi—keluarga Makabeus.
Matatias dan putra-putranya muak membayar pajak kepada pemerintah yang menindas yang berusaha untuk menghapus agama Yahudi mereka, yang adalah identitas mereka. Putra sulungnya, Yudas Makabeus, adalah seorang ahli perang gerilya. Dia menggulingkan mezbah-mezbah berhala, menyunat anak-anak secara paksa, dan bahkan membunuh orang Yahudi yang dengan senang hati mengadopsi budaya Yunani. Yudas dan pasukannya akhirnya menyerbu Yerusalem dan mentahirkan Bait Suci yang telah dinajiskan oleh Antiokhos IV. Itu terjadi pada tanggal 14 Desember 165 SM. Untuk memperingati peristiwa ini, sebuah perayaan baru ditambahkan ke dalam kalender Yahudi: Hanukkah (yang berarti “Dedication”/ “Penahbisan” ; lihat Yoh. 10:22).
Orang Yahudi kini berada di bawah kendali dinasti Makabeus (atau Hasmonayim, yang diambil dari nama nenek moyang mereka, Hasmon). Namun, adalah Simon Makabeus yang memperoleh kemerdekaan politik Yahudi sepenuhnya pada tahun 142 SM. Berkat kebijakan ekspansi putra Simon, Yohanes Hirkanus, imam besar dan penguasa bangsa Yahudi dari sekitar tahun 135 hingga 104 SM, orang Yahudi pada dasarnya mendapatkan kembali luas tanah yang sama seperti yang telah dinikmati Raja Daud dan Salomo.
Banyak penguasa Hashmonayim yang bergelar “raja” dan/atau “imam besar”, tetapi perdamaian tidak menjadi ciri pemerintahan mereka. Sebaliknya, pemerintahan mereka sarat dengan pengkhianatan, pembunuhan, dan kerusakan politik dan agama. Israel adalah bangsa yang terpecah-belah, terpecah antara “pro-Helenis” dan “anti-Helenis”. Orang Saduki mendukung yang pertama; orang Farisi mendukung yang kedua.
Di tengah-tengah pertikaian sipil ini, jenderal Romawi, Pompeius Agung, menguasai Israel pada tahun 63 SM. Israel harus tunduk kepada Roma dengan membayar pajak, sama seperti yang mereka lakukan di bawah pemerintahan Asyur, Babilonia, Media-Persia, Yunani, Ptolemaik, dan Seleukid. Namun, Pompeius melantik seorang penguasa Hashmonayim, Hirkanus II, untuk memerintah Yudea dan Idumea sebagai imam besar, dan dia juga memberikan tingkat kebebasan tertentu kepada orang Yahudi. Namun, Hirkanus II hanyalah seorang raja klien (atau, mungkin lebih tepatnya, raja boneka) Roma.
Setelah Pompeius dibunuh, Yulius Kaisar berkuasa pada tahun 48 SM. Di bawah pemerintahannya, orang Yahudi mendapat dukungan. Dia memberikan potongan pajak dan pembebasan dari wajib militer. Dia juga menempatkan dua penguasa Hashmonayim sebagai raja-raja klien, satu dengan gelar prokurator Yudea (Antipater), yang lain sebagai etnark atau “penguasa suatu bangsa” (Hirkanus II).
Setelah Kaisar dibunuh oleh Cassius dan Brutus pada tahun 44 SM, orang Yahudi harus membayar lebih banyak pajak. Kemudian, Markus Antonius dan Octavianus menguasai Roma. Mereka mendeklarasikan Herodes sebagai “raja orang Yahudi”. Herodes, seorang pengagum budaya Yunani, kini secara resmi menjadi teman dan sekutu orang Romawi. (Dapatkah Anda mendengar keluarga Makabeus berbalik dalam kuburan mereka?) Dia tentu cenderung melaksanakan kehendak Roma sebagai raja boneka, begitu juga dengan keturunannya setelahnya: Herodes Arkhelaus (Mat. 2:22), Herodes Filipus (Luk. 3), Herodes Antipas (Mrk. 6; lihat juga Luk. 23:7), Herodes Agripa I (Kis. 12), dan Herodes Agripa II (Kis. 26).
Beberapa kaisar Romawi yang memerintah selama abad pertama menempatkan gubernur-gubernur di seluruh tanah Israel. Meskipun ada banyak, gubernur Romawi yang paling terkenal adalah Pontius Pilatus. Teks-teks di luar Alkitab menggambarkan pemerintahannya sebagai pemerintahan yang penuh penindasan, sebuah karakterisasi yang dikonfirmasi dalam Lukas 13:1.
Tindakan penindasan terbesar terjadi pada akhir Perang Romawi-Yahudi (66-70 M). Putra Kaisar Vespasianus, Titus, mengepung kota itu. Namun, kekeringan, wabah, penyakit, kelaparan, dan kekerasan di dalam tembok kota tidak seberapa jika dibandingkan dengan tindakan yang paling keji: penghancuran Bait Suci pada tahun 70 M. Hal ini sangat mengubah identitas, perspektif, dan praktik keagamaan orang Yahudi, dengan konsekuensi yang berdampak hingga hari ini.
KEHIDUPAN YAHUDI DI BAWAH PEMERINTAHAN ROMAWI
Kebijakan Romawi yang monolitik/seragam terhadap orang Yahudi tidak ada pada abad pertama. Beberapa kaisar memiliki sikap yang lebih baik daripada yang lain, memberikan lebih banyak hak-hak istimewa yang fundamental kepada orang Yahudi, seperti keringanan pajak, pembebasan wajib militer, dan kebebasan beragama. Bahkan, agama Yahudi dianggap sebagai religio licita (agama yang diizinkan), meskipun orang Yahudi adalah penganut monoteisme yang tidak toleran terhadap agama lain.
Namun, banyak kaisar Romawi yang membenci intoleransi keagamaan orang Yahudi, terutama dalam hal penyembahan terhadap ilah-ilah bangsa Romawi. Hal ini menyebabkan orang Yahudi menjadi sasaran kecurigaan, kebencian, dan penganiayaan. Keinginan mendalam orang Yahudi akan seorang mesias untuk membebaskan mereka dari “pembuangan” tidak membantu, seperti yang dibuktikan oleh beberapa kerusuhan dan pemberontakan sepanjang abad pertama yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 5:36-37; 21:38 dan oleh sejarawan Yahudi, Yosefus. Peristiwa-peristiwa ini hanya meningkatkan kecurigaan terhadap orang Yahudi dan membatasi kekuatan politik mereka.
Bahkan orang-orang Yahudi yang berkuasa pun berhutang budi kepada Roma. Mereka sering kali lebih peduli untuk menyenangkan hati Kaisar daripada menyenangkan hati Allah Israel. Mereka mirip dengan raja-raja klien, terikat kepada Roma untuk melaksanakan kehendak Kaisar. Banyak dari mereka yang terhelenisasi sepenuhnya, mirip seperti nenek moyang mereka sebelumnya yang merangkul strategi helenisasi Aleksander.
Pada akhirnya, orang Yahudi tidak pernah sepenuhnya berada di bawah kendali Romawi. Dia yang mengendalikan seluruh sejarah, yang “mengubah saat dan waktu” dan “memecat dan mengangkat raja ” (Dan. 2:21), dalam pemeliharaan-Nya menuntun gereja-Nya hingga “genap waktunya” (Gal. 4:4), ketika Raja yang sejati akan dilahirkan (Mik. 5:1).