
Penebus Kerabat
23 Oktober 2023
Hisop
27 Oktober 2023Sheol

Apakah tempat yang disebut “Sheol” bagi orang-orang kudus di Perjanjian Lama ini? Dalam sebagian besar rujukannya di Perjanjian Lama, kata “Sheol” dipakai untuk melukiskan tujuan akhir manusia. Sebuah aura suram melingkupi konsep ini. Sheol kerap digambarkan oleh orang benar sebagai tempat yang tidak ingin dituju seseorang—sebuah tujuan yang tidak diharapkan—seperti misalnya di dalam Mazmur 30:4. Ketika para pemazmur menyebut “Sheol”, sering kali yang mereka takuti bukanlah kematian itu sendiri atau kehilangan dirinya dalam kematian. Sebaliknya, mereka takut akan kehilangan kontak dengan Allah. Sebagai contoh, Mazmur 6:6 berkata, “Sebab di alam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur kepada-Mu di dalam dunia orang mati?” Banyaknya kata di dalam Alkitab yang merujuk kepada dunia orang mati ini cukup mengejutkan: “Sheol”, “jurang”, “liang kubur”, “jurang yang dalam”, “tempat kebinasaan”, “negeri yang terlupakan”, “Abadon”.
Sheol sering kali dianggap sebagai tempat hukuman ilahi—akhir yang diharapkan akan diterima oleh orang-orang fasik. Pemazmur kerap berbicara tentang Sheol dalam bahasa metafora. Kadang “Sheol” dipakai secara metafora menggambarkan hebatnya penderitaan yang dialami seseorang yang secara harafiah tidak ada di Sheol. Sebagai contoh, di dalam Mazmur 88, pemazmur tidak mungkin secara harfiah berdiam di dalam Sheol sebab jelas ia masih hidup. Karena itu, di situ ia menggunakan bahasa metafora untuk melukiskan keadaannya seolah-olah ia sudah berada di ranah mereka yang tinggal di Sheol. Terkadang kata “Sheol” dipakai untuk menggambarkan penderitaan di tempat pembuangan. Terkadang “kegelapan” dipakai sebagai metafora bagi keadaan mirip Sheol, seperti di dalam Mazmur 143:3, “Sebab musuh telah mengejar aku dan menghempaskan hidupku ke tanah; menempatkan aku di dalam gelap seperti orang yang sudah lama mati.”
Ketika orang kudus Perjanjian Lama menyebut kata “Sheol” atau sinonim-sinonimnya, yang paling ia takutkan adalah ketiadaan berkat Allah, sebab kita tidak pernah sama sekali terpisah dari Allah. Mazmur 139:7-8 menegaskan bahwa Allah, menurut atribut kemahahadiran-Nya, juga ada di Sheol.
Mazmur 16 biasanya disebut sebagai Nyanyian Keyakinan atau Kepercayaan. Mazmur 16 tentunya dikutip di dalam Kisah Para Rasul 2:25-28, 31 dan 13:35. Secara khusus, Mazmur 16:10 – “sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang kudus-Mu melihat kebinasaan” – sepertinya merujuk kepada imortalitas, kebangkitan, dan kehidupan setelah kematian. Hal yang sama diungkapkan di dalam Mazmur 17, 49, dan 73. Sangat umum untuk menemukan di dalam literatur para ahli Alkitab klaim bahwa Kitab Mazmur tidak memuat diskusi yang signifikan akan konsep Ibrani tentang kehidupan setelah kematian. Kebanyakan penafsir lebih suka melihat ayat-ayat pada bagian akhir Mazmur 16 sebagai doa pemazmur agar Allah melindunginya dari kematian yang sebelum waktunya. Teori lain mengatakan bahwa “kehidupan” yang disebutkan di dalam ayat 11 adalah “hidup yang kekal” sehingga ini mengungkapkan keyakinan sang pemazmur akan imortalitas, dan karenanya, Lukas menerapkannya pada kebangkitan. Sebagaimana dikatakan oleh Geerhardus Vos, kata-kata tersebut dengan tepat diterapkan Lukas pada kebangkitan Yesus (lihat Kis. 2:25-28).
Bersama dengan kematian, kebangkitan, dan kenaikan Tuhan Yesus Kristus, pemahaman akan kematian dan kehidupan setelah kematian berubah secara radikal bagi orang-orang kudus. Di sini penting bagi kita untuk memahami perkataan ketujuh Tuhan kita di kayu salib: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (harafiah: “roh-Ku”; Luk. 23:46). Perkataan terakhir ini adalah ungkapan penghiburan dan kepercayaan seorang anak. Ini adalah tindakan Kristus menyerahkan roh manusia-Nya kepada Bapa surgawi-Nya—pada saat ini, natur ilahi-Nya tetap bersatu dengan natur manusia-Nya, bahkan ketika Ia terbaring dalam kubur (lihat Konfesi Belgia 19). Dengan mengucapkan pernyataan terakhir ini di kayu salib, Kristus memberi penegasan akan hidup yang berkelanjutan.
Stefanus, martir gereja yang pertama, memahami pentingnya hal ini, sebab bahkan ketika ia dirajam batu, ia berseru memanggil Allah untuk menjadi penjaganya dan berkata, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis. 7:59). Rasul Paulus juga memahami realitas tentang Tuhan yang telah bangkit dan kehidupan setelah kematian, karena menyadari bahwa Hosea 13:14 sekarang telah mengalami penggenapan sejatinya, ia kemudian menulis, “Hai maut, di manakah kemenanganmu?” (1 Kor. 15:55).