
Kehidupan Orang Kristen sebagai sebuah Ziarah
14 Oktober 2025
Siapakah Para Teolog Westminster Itu?
21 Oktober 2025Siapakah Anak-Anak Allah di Kejadian 6?
Pada abad ke-20, ahli Biblika berkebangsaan Jerman, Rudolf Bultmann, memberi banyak kritikan terhadap Alkitab dengan mengatakan bahwa Alkitab penuh dengan berbagai rujukan mitos yang harus dibuang jika kita ingin penerapannya berdampak signifikan pada masa kita. Kekhawatiran utama Bultmann adalah narasi-narasi Perjanjian Baru, khususnya yang memuat catatan-catatan mukjizat, yang ia anggap mustahil. Namun, para ahli lain mengklaim bahwa unsur-unsur mitos juga terdapat di dalam Perjanjian Lama. Bukti pertama untuk argumen ini biasanya merupakan narasi yang dipercaya oleh beberapa orang paralel dengan mitos-mitos Yunani dan Romawi kuno mengenai dewa-dewi yang kadang melakukan hubungan badan dengan manusia.
Di dalam Kejadian 6 kita membaca catatan ini:
“Ketika manusia mulai bertambah banyak di muka bumi, dan anak-anak perempuan dilahirkan bagi mereka, anak-anak Allah melihat bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik. Lalu dari antara perempuan-perempuan itu mereka ambil sebagai istri, siapa saja yang mereka sukai… Pada waktu itu dan juga kemudian, ada orang-orang raksasa di bumi ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka. Mereka itulah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang ternama” (Kej. 6:1-4).
Kisah tersebut pada dasarnya merupakan pendahuluan terhadap kisah tentang air bah yang dikirim Allah untuk melenyapkan semua manusia dari muka bumi, kecuali keluarga Nuh. Tentu saja, kisah air bah itu sendiri sering kali dianggap sebagai mitos, tetapi bagian persiapan ini, di mana kita membaca perkawinan campur antara “anak-anak Allah” dan “anak-anak perempuan manusia”, dipandang sebagai mitos yang terang-terangan.
Asumsi di balik penafsiran atas Kejadian 6 ini adalah bahwa “anak-anak Allah” merujuk kepada para malaikat. Mengapa beberapa penafsir berasumsi demikian? Jawaban sederhananya adalah bahwa Alkitab kadang menyebut malaikat sebagai anak-anak Allah, sehingga mereka mengasumsikan sebutan di dalam Kejadian 6 ini memiliki arti yang sama. Ini jelas sebuah kesimpulan yang mungkin dapat ditarik. Namun, apakah harus demikian? Saya menjawab, tidak. Saya tidak percaya teks tersebut mengajarkan gagasan tentang hubungan seksual antara malaikat dan manusia.
Untuk memahami perikop yang sulit ini, kita harus melihat penerapan yang lebih luas dari frasa “anak-anak Allah”. Frasa ini terutama dipakai untuk menyebut Yesus sendiri; Dia adalah Anak Allah. Sebagai yang telah disampaikan, frasa ini kadang dipakai untuk menyebut para malaikat (Ayb. 1:6; 21:1; Mzm. 29:1). Frasa ini juga kadang dipakai untuk para pengikut Kristus (Mat. 5:9; Rm. 8:14; Gal. 3:26). Jadi, konsep anak Allah di dalam Alkitab tidak selalu terkait dengan hubungan biologis atau ontologis (relasi antarmakhluk). Sebaliknya, frasa ini terutama dipakai untuk mengungkapkan relasi ketaatan. Ini berarti Kejadian 6 bisa jadi sekadar berbicara tentang kawin campur antara orang-orang yang menunjukkan pola ketaatan kepada Allah di dalam hidupnya dan orang-orang yang adalah kafir dalam orientasi mereka. Dengan kata lain, teks ini sepertinya menggambarkan perkawinan antara orang-orang percaya dan orang-orang yang tidak percaya.
Konteks dekat Kejadian 6 mendukung kesimpulan ini. Mengikuti narasi Kejatuhan di dalam Kejadian 3, Alkitab menelusuri garis keturunan dua keluarga, yaitu keturunan Kain dan keturunan Set. Garis keturunan Kain dicatat di dalam Kejadian 4 dan menunjukkan kefasikan yang meningkat, berpuncak pada Lamekh, orang pertama yang mempraktikkan poligami (Kej. 4:19), dan yang bersukacita atas pembunuhan, penggunaan pedang untuk membalas dendam (Kej. 4:23-24). Sebaliknya, garis keturunan Set, yang ditelusuri di dalam Kejadian 5 memperlihatkan kebenaran. Garis ini mencakup Henokh, yang “hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah” (Kej. 5:24). Dalam garis keturunan Set lahirlah Nuh, “seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya” (Kej. 6:9). Maka, kita melihat dua garis keturunan, yang satu menaati Allah dan yang lain dengan sengaja tidak menaati Dia.
Karena itu, banyak ahli Ibrani percaya bahwa Kejadian 6 tidak sedang menggambarkan kawin campur antara para malaikat dan para perempuan manusia tetapi kawin campur antara keturunan Kain dan Set. Dua garis keturunan tersebut, yang satu saleh dan yang lain fasik, menyatu dan tiba-tiba semua orang terperangkap dalam usaha mengejar kejahatan, sedemikian hingga “segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5). Kita tidak perlu menduga adanya invasi para malaikat ke bumi untuk memahami perikop ini.
Setelah mengatasi kesulitan penafsiran atas Kejadian 6, kita diingatkan agar berhati-hati untuk tidak menarik kesimpulan yang belum tentu didukung Alkitab. Istilah deskriptif “anak-anak Allah” dan “anak-anak perempuan manusia” tidak memberikan kita kebebasan untuk mengasumsikan interaksi antara makhluk-makhluk surgawi dan makhluk-makhluk di bumi. Kita harus sangat hati-hati ketika membaca teks-teks yang sulit seperti ini, dan kita perlu melihat bagaimana bahasa tersebut dipakai dalam konteks yang lebih luas di dalam Alkitab. Adalah sebuah prinsip yang sangat penting bahwa Alkitab harus ditafsirkan oleh Alkitab.


