Kemahakuasaan
18 Desember 2023Imam Besar Kita yang Penuh Belas Kasihan
22 Desember 2023Kemahatahuan
Berapa kali, ketika merenungkan masa lalu Anda, Anda menyatakan, “Seandainya saja saat itu saya mengetahui apa yang saya ketahui sekarang”? Kondisi sebagai manusia berarti bahwa pada saat mana pun kita tidak mengetahui semua hal yang dapat diketahui, dan jika semua kemampuan kita bekerja dengan baik, kita akan mengetahui lebih banyak sepanjang perjalanan hidup kita. Fakta bahwa kita sering kali ingin tahu lebih banyak, dan mendedikasikan begitu banyak energi untuk pendidikan, menunjukkan bahwa pengetahuan adalah suatu hal yang baik. Artinya, pengetahuan itu sangat berharga dan bermanfaat bagi kehidupan; pengetahuan merupakan bagian dari hikmat yang kita pakai dalam menjalankan hidup. Memperoleh lebih banyak pengetahuan kemungkinan besar akan meningkatkan kondisi kemanusiaan kita.
Namun, fakta bahwa kita sering ingin tahu lebih banyak dan dapat mengetahui lebih banyak lagi dalam perjalanan hidup kita, dan fakta bahwa kita dapat, sayangnya, kehilangan pengetahuan, menunjukkan bahwa pengetahuan manusia itu dinamis tetapi terbatas. Bahkan orang terpintar yang kita kenal, yang hanya dengan sedikit usaha yang terlihat mengetahui fakta-fakta menarik dan memahami teori-teori yang kompleks, masih harus mempelajari hal-hal ini. Pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan manusia yang paling brilian sekalipun, tidak serba-tahu, tidak mahatahu, dan membutuhkan upaya.
Tidak demikian halnya dengan Allah. Memulai dengan beberapa pemikiran tentang pengetahuan manusia menekankan hal ini. Sering kali pengetahuan kita tentang atribut-atribut Allah, terutama atribut-atribut-Nya yang tidak dapat dikomunikasikan, kita pahami dengan cara menegasikan sesuatu tentang atribut-atribut tersebut dalam perbandingannya dengan kita. Dengan kata lain, Allah begitu agung, Dia begitu perkasa, dan natur-Nya begitu berbeda dengan kita sehingga untuk berbicara tentang seperti apa Dia, kita harus mulai dengan apa yang tidak seperti Dia. Allah sendiri berbicara dengan cara demikian di dalam Alkitab: “Sesungguhnya, Aku, TUHAN, tidak berubah” (Mal. 3:6).
A.W. Tozer mendefinisikan kemahatahuan Allah dengan ringkas dan jelas: “Mengatakan bahwa Allah itu mahatahu sama dengan mengatakan bahwa Dia memiliki pengetahuan yang sempurna dan karena itu tidak perlu belajar. Namun lebih dari itu: itu berarti mengatakan bahwa Allah tidak pernah belajar dan tidak dapat belajar.”
Apa yang kita miliki dengan tidak sempurna, Allah miliki dengan sempurna. Menyarankan bahwa Allah tidak dapat mengetahui sesuatu adalah sesuatu yang ditolak Alkitab sebagai sebuah kemustahilan: “Dia yang memasang telinga, masakan tidak mendengar? Dia yang membentuk mata, masakan tidak melihat?” (Mzm. 94:9). Pengetahuan Allah itu sempurna atau lengkap. Jika Anda bertanya kepada saya tentang Toledo, Ohio, saya dapat mengatakan banyak hal; di sanalah saya dibesarkan. Jika Anda bertanya kepada saya tentang negara Luksemburg, saya hanya bisa mengatakan sangat sedikit; saya belum pernah ke sana. Pengetahuan manusia mengetahui beberapa hal lebih baik daripada yang lain. Allah mengetahui semua hal sama baiknya. Tidak ada Eureka! dengan Allah—Dia tidak pernah menemukan, tidak pernah terkejut, tidak pernah belajar. Hal ini berlaku untuk segala hal: “tidak terselami pengertian-Nya” (Yes. 40:28). Akan tetapi, Alkitab secara khusus menekankan pengetahuan-Nya tentang manusia: “Tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungjawaban” (Ibr. 4:13).
Meskipun demikian, pengetahuan Allah bukanlah masalah volume semata, seolah-olah pengetahuan-Nya lebih besar dan sempurna karena Dia mengetahui lebih banyak hal dibanding kita. Allah mengetahui segala sesuatu sebagai Allah, yang berada di luar waktu, yang tidak membutuhkan apa pun, dan yang tidak bergantung pada siapa pun. Agustinus berkata, “Allah tidak mengetahui semua makhluk . . . karena mereka ada; mereka ada karena Dia mengenal mereka.” Dengan kata lain, pengetahuan Allah akan sesuatu tidak bergantung pada apa yang kita lakukan. Saya berharap dapat mengenal cucu-cucu saya suatu hari nanti, tetapi hal itu tidak akan terjadi hingga anak-anak saya yang masih muda akhirnya melahirkan mereka. Pengetahuan manusia saya dibatasi oleh waktu yang terus berjalan. Selama tiga puluh tahun terakhir, sebuah ajaran yang dikenal sebagai open theism (teisme terbuka) telah mengatakan hal yang serupa, tetapi mengatribusikannya kepada Allah.
Penganut teisme terbuka mencoba memberi ruang yang signifikan bagi kebebasan dari kehendak manusia, dan untuk mencapainya mereka mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui tindakan kita di masa depan, tetapi ketika Dia hidup bersama kita, Dia menemukannya ketika kita melakukannya. Ini adalah kesalahan yang serius. Ini membuat pengetahuan Allah bergantung pada ciptaan dan perjalanan sejarah. Sebaliknya, sebagai Pribadi yang berada di luar waktu, Allah mengetahui segala sesuatu sekaligus: “Ia mengetahui segala sesuatu secara seketika, secara bersamaan, dari kekekalan; segala sesuatu secara kekal hadir di depan mata pikiran-Nya,” kata Herman Bavinck. Pengetahuan ini mencakup segala kemungkinan, karena dalam pemeliharaan ilahi-Nya, Allah telah mengatur bagaimana segala sesuatu akan terjadi (Mzm. 139:16)—bahkan sampai jatuhnya seekor burung pipit ke bumi (Mat. 10:29). Mengerti tentang kemahatahuan Allah dengan benar akan membantu kita untuk memahami kesalahan-kesalahan teologis seperti teisme terbuka.
Secara lebih positif, kemahatahuan Allah membawa kenyamanan bagi umat-Nya dan menggairahkan ibadah mereka. Kita mungkin tergoda untuk berpikir bahwa pengetahuan Allah yang tak terselami menciptakan jarak antara Dia dan umat-Nya. Justru sebaliknya. Dalam Mazmur 139:1-18, pemazmur menganggap pengetahuan Allah yang paling dalam dan paling intim tentang dirinya sebagai sesuatu yang “sangat berharga” (ayat 17, ESV). Mengapa? Karena ia tahu bahwa Allah perjanjian kita adalah pengasih, penyayang dan memelihara (Mzm. 116:5-7). William Ames mengatakannya dengan sangat mendalam: “Iman bersandar pada Dia yang mengetahui apa yang kita perlukan dan juga bersedia menyediakannya.”
Melampaui pengetahuan Allah tentang kita, Allah memiliki pengetahuan yang sempurna tentang diri-Nya sendiri. Pengetahuan kita tentang Dia bergantung pada hal itu, karena jika Allah tidak mengenal diri-Nya sendiri, Dia tidak akan memiliki apa pun untuk diwahyukan kepada kita. Syukur kepada Allah, Ia mengenal diri-Nya sendiri—Bapa, Anak, dan Roh Kudus—dengan sempurna: “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak” (Mat. 11:27). Sama seperti Bapa dan Anak yang saling mengenal satu sama lain sepenuhnya, demikian pula Roh Kudus menyelidiki “hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah” (1 Kor. 2:10). Karena Mereka mengenal satu sama lain dengan sempurna dalam natur ilahi tersebut, maka ada kepenuhan dan kekayaan yang tak terbatas dalam kasih dan sukacita yang dialami bersama di antara pribadi-pribadi Tritunggal. Itu adalah kasih dan sukacita yang sama yang Allah bukakan dengan penuh kemurahan kepada kita di dalam Injil, yang ketika diterima oleh kita, mendorong kita untuk bernyanyi di dalam kasih: “Abadi, tak terlihat, hanya Allah yang bijaksana, dalam terang yang tak tertembus, tersembunyi dari mata kita.”