Kemahahadiran
15 Desember 2023
Kemahatahuan
20 Desember 2023
Kemahahadiran
15 Desember 2023
Kemahatahuan
20 Desember 2023

Kemahakuasaan

Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah “TUHAN, Allah segala ilah!” (Yos. 22:22), Dia yang memiliki kuasa yang begitu tidak terbatas sehingga dikenal di antara atribut-atribut Allah sebagai kemahakuasaan-Nya (omnipotence), yang berasal dari bahasa Latin omni (semua) dan potentia (kuasa). Atribut ini identik dengan diri Allah yang mulia seperti yang dinyatakan dalam keadaan tertentu. Atribut ini bergetar melalui nama-nama-Nya, seperti “TUHAN” (Mzm. 2:7) dan “Penguasa yang satu-satunya” (1 Tim. 6:15). Nama itu bergema dalam deskripsi antropomorfis Alkitab tentang “tangan kanan”-Nya (Kel. 15:6) dan “lengan yang perkasa” (Mzm. 89:14). Hal ini juga dinyatakan dalam karya penciptaan-Nya (Yer. 51:15), pemeliharaan-Nya (Kis. 17:25), penebusan-Nya (2 Petrus 1:3), penghakiman-Nya (Rm. 9:17), dan penaklukkan segala sesuatu (Flp. 3:21). Sederhananya, karena Allah adalah Allah, Dia tidak akan berubah dan selama-lamanya mahakuasa.

Terlepas dari kesederhanaan kebenaran alkitabiah ini, kesalahpahaman bisa terjadi. Kita akan membahas dua pertanyaan yang kadang mendapat jawaban yang salah. Pertama, apakah kemahakuasaan Allah berarti bahwa Allah dapat melakukan apa saja, atau dengan kata lain, apakah ada sesuatu yang tidak dapat Allah lakukan? Kedua, bagaimana Kitab Suci menyelaraskan kemahakuasaan Allah dengan realitas kejahatan?

CAKUPAN KEMAHAKUASAAN ALLAH

Menanggapi pertanyaan pertama, Alkitab menegaskan bahwa Allah dapat melakukan jauh lebih banyak daripada apa yang telah Dia tetapkan untuk lakukan di dunia ini. Seperti yang Yesus nyatakan, “Atau kausangka bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?” (Mat. 26:53). Allah sanggup menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu (3:9). Sungguh, Ia dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan (Ef. 3:20). Jadi, ketika Allah bertanya kepada Yeremia, “Adakah sesuatu yang mustahil bagi-Ku?” (Yer. 32:27), jawaban yang tepat adalah tidak ada, karena tidak ada yang mustahil bagi Allah (lihat Luk. 1:37). Oleh karena itu, kita harus memuji Allah atas apa yang telah Dia tetapkan untuk lakukan, bukan karena Dia tidak mampu melakukan hal lain, tetapi karena apa yang Dia kehendaki untuk lakukan adalah yang terbaik, justru karena Dia telah menghendakinya.

Namun, apakah kuasa Allah yang absolut berarti bahwa Allah secara harafiah dapat melakukan apa saja? Jika demikian, beberapa orang berpendapat, atribut kemahakuasaan Allah menimbulkan sebuah dilema. Jika Allah dapat melakukan apa saja, demikianlah argumennya, itu berarti Dia dapat menciptakan batu yang begitu berat sehingga bahkan Dia tidak dapat mengangkatnya, atau Dia tidak dapat menciptakan sesuatu yang begitu besar sehingga berada di luar kekuatan-Nya—pilihan mana pun menyabotase kemahakuasaan-Nya. Masalah dengan spekulasi semacam itu adalah bahwa kemahakuasaan Allah mensyaratkan Dia hanya dapat melakukan apa yang secara logis mungkin. Akan tetapi sekarang muncul pertanyaan lain: Apakah hukum logika berada di atas Allah, membatasi-Nya dengan serangkaian pilihan yang darinya Allah harus memilih untuk menggunakan kuasa-Nya yang sekarang “kurang dari tidak terbatas”? Tidak sama sekali, karena apa yang logis ditentukan bukan oleh kita tetapi oleh karakter dan kehendak yang kudus dari Allah. Oleh karena itu, tidak mungkin Allah berdusta (Ibr. 6:18), atau berubah (Yak. 1:17), atau menyangkal diri-Nya sendiri (2 Tim. 2:13), atau mencobai siapa pun dengan yang jahat (Yak. 1:13). Singkatnya, ketika menjalankan kemahakuasaan-Nya, Allah sendiri yang mendefinisikan apa yang mungkin, dan Dia menghendaki segala sesuatu yang Dia lakukan sesuai dengan natur-Nya yang kudus, secara bebas dan sempurna, dan semuanya bagi kemuliaan-Nya.

Ketika dilihat dengan pemahaman ini, kemahakuasaan Allah bersinar sebagai jenis kuasa tak terbatas yang paling mulia. Seperti yang diajarkan oleh Anselmus dari Canterbury, kemampuan untuk berlaku curang, menipu, atau menyanggah diri sendiri sama sekali bukanlah kekuatan, melainkan semacam kelemahan. Karena Allah tidak memiliki kelemahan, fakta bahwa Allah tidak dapat menimbulkan kontradiksi atau mengubah siapa diri-Nya tidak mengurangi kemahakuasaan-Nya melainkan memanifestasikannya. Dalam kata-kata Charles Hodge, “Tentu saja bukan batasan bagi kesempurnaan untuk mengatakan bahwa ia tidak dapat tidak sempurna.” Oleh karena itu, kemahakuasaan Allah adalah ekspresi yang mulia dari kesempurnaan total dan kedaulatan-Nya yang absolut. Katekismus Anak-Anak menangkap keajaiban dari realitas ini ketika bertanya, “Dapatkah Allah melakukan segala sesuatu?” Jawabannya: “Ya; Allah dapat melakukan segala kehendak-Nya yang kudus.”

KEMAHAKUASAAN ALLAH ATAS KEJAHATAN

Ini membawa kita kepada pertanyaan kedua: Apakah kuasa Allah dapat diselaraskan dengan realitas kejahatan? Jika Allah dengan kemahakuasaan-Nya hanya dapat memanifestasikan karakter-Nya yang kudus dan baik, bagaimana mungkin ada kejahatan di dunia ini? Kadang, tangisan yang sangat personal dan menyayat hati dari orang percaya dan juga orang yang tidak percaya (“Bagaimana mungkin Allah mengizinkan hal ini terjadi?” “Di manakah Allah saat hal ini terjadi?”) menghasilkan keraguan pada atau bahkan penyangkalan akan kemahakuasaan Allah. Ini adalah salah satu versi dari apa yang disebut sebagai problem kejahatan: Jika Allah itu mahabaik, dan kejahatan itu ada, maka Allah tidak mungkin mahakuasa.

Namun, sekali lagi, sebuah asumsi tersembunyi memicu tantangan terhadap kemahakuasaan ilahi ini. Argumen ini mengasumsikan bahwa Allah yang baik dan mahakuasa akan selalu segera bertindak untuk mencegah semua kejahatan. Akan tetapi, Alkitab mengajarkan bahwa Allah telah menetapkan apa yang jahat (meskipun manusia, bukan Allah, yang tetap bertanggung jawab atas hal itu; Pkh. 7:29) dan bahwa Ia telah melakukannya demikian, sebagian, agar Ia dapat menyatakan kuasa-Nya atas kejahatan, bahkan untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya yang baik melaluinya (mis. Kej. 50:20). Ini bukanlah klise rohani belaka. Ini adalah kepercayaan yang sungguh-sungguh dan penghiburan yang besar bagi setiap orang Kristen yang rendah hati ketika menghadapi kesulitan, kekecewaan, dan tragedi dalam hidup ini. Allah itu mahakuasa dan mahabaik. Percaya bahwa keduanya benar memberi dasar bagi pengharapan dan penguatan bagi setiap hati yang percaya.

KEMAHAKUASAAN DAN INJIL

Pernyataan yang utama dan paling menakjubkan tentang karakter Allah yang sepenuhnya kudus melalui kemahakuasaan-Nya atas kejahatan dapat ditemukan dalam Injil Yesus Kristus. Ketika Yesus menyembuhkan orang lumpuh, menghentikan angin ribut, membuka mata orang buta, dan bangkit sebagai pemenang atas maut, Dia menunjukkan diri-Nya sebagai “kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor. 1:24). Dia melanjutkan karya-Nya yang penuh kuasa dalam membangkitkan hati orang-orang yang secara tidak dapat ditolak ditarik Bapa kepada diri-Nya, dan Dia akan menyempurnakan karya keselamatan itu di dalam diri mereka pada hari Dia membangkitkan umat-Nya ke dalam kemuliaan yang tidak dapat binasa (Yoh. 6:44). Kemudian ketika Ia menghakimi dunia, menciptakan kembali alam semesta, dan membawa surga ke bumi, paduan suara orang-orang kudus yang berkumpul akan memuji kuasa-Nya: “Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi Raja” (Why. 19:6).


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
R. Carlton Wynne
R. Carlton Wynne
Dr. R. Carlton Wynne adalah pendeta pendamping di Westminster Presbyterian Church di Atlanta dan adjunct profesor bidang teologi sistematika di Reformed Theological Seminary.