Seperti Apakah Pertobatan Itu?
19 April 2023
Penyebab Instrumental Pembenaran
02 Mei 2023
Seperti Apakah Pertobatan Itu?
19 April 2023
Penyebab Instrumental Pembenaran
02 Mei 2023

3 Tipe Legalisme

Pernahkah Anda, sebagai orang Kristen, dituduh sebagai seorang legalis? Kata itu sering kali diucapkan secara tidak tepat di dalam subkultur Kristen. Sebagai contoh, beberapa orang mungkin menyebut Yohanes sebagai seorang legalis karena mereka menganggapnya berpikiran sempit. Tetapi istilah legalisme tidak mengacu pada pemikiran yang sempit. Pada kenyataannya, legalisme memanifestasikan dirinya dalam banyak cara yang tidak kentara.

Pada dasarnya, legalisme melibatkan pemisahan hukum Allah dari konteks aslinya. Beberapa orang tampaknya disibukkan dalam kehidupan Kristen dengan menaati hukum-hukum dan aturan-aturan, dan mereka memahami kekristenan sebagai serangkaian hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, seperangkat prinsip-prinsip moral yang dingin dan mematikan. Itu adalah salah satu bentuk legalisme, ketika seseorang hanya peduli dengan ketaatan kepada hukum Allah sebagai tujuan akhirnya sendiri.

Memang, Allah tentu saja peduli bahwa kita mengikuti perintah-perintah-Nya. Namun, ada hal lain yang tidak boleh kita lupakan. Allah memberikan hukum-hukum seperti Sepuluh Perintah Allah dalam konteks perjanjian. Pertama, Allah murah hati. Dia menebus umat-Nya keluar dari perbudakan di Mesir dan masuk ke dalam relasi yang penuh kasih dan kesetiaan dengan Israel. Hanya setelah relasi berdasarkan anugerah itu terjalin, barulah Allah mulai menetapkan hukum-hukum spesifik yang berkenan kepada-Nya. Saya memiliki seorang profesor di program pascasarjana yang berkata, “Inti dari teologi Kristen adalah anugerah, dan inti dari etika Kristen adalah rasa syukur.” Seorang legalis memisahkan hukum dari Allah yang memberi hukum. Ia tidak begitu tertarik untuk menaati Allah atau memuliakan Kristus dibanding menaati hukum-hukum yang tidak memiliki relasi personal apapun.

Tidak ada kasih, sukacita, kehidupan, atau gairah. Ini adalah sebuah bentuk pengulangan mekanis dari ketaatan pada hukum yang kita sebut sebagai eksternalisme. Seorang legalis berfokus hanya pada menaati hukum-hukum semata, menghancurkan konteks yang lebih luas dari kasih dan penebusan Allah yang menjadi dasar Dia memberikan hukum-Nya pada mulanya.

Untuk memahami tipe legalisme yang kedua, kita harus ingat bahwa Perjanjian Baru membedakan antara huruf hukum (bentuk luarnya) dengan semangat hukum. Bentuk legalisme yang kedua ini memisahkan huruf hukum dari semangat hukumnya. Legalisme ini mematuhi hurufnya tetapi menyalahi semangatnya. Ada perbedaan yang tipis antara bentuk legalisme ini dengan bentuk yang disebutkan sebelumnya.

Bagaimana seseorang menaati huruf hukum tetapi menyalahi semangatnya? Bayangkan seseorang suka mengemudikan mobilnya pada batas kecepatan minimum tanpa peduli dengan kondisi ketika ia mengemudi. Jika dia berada di jalan interstate dan kecepatan minimum yang ditetapkan adalah empat puluh mil per jam, dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan empat puluh mil per jam dan tidak kurang dari itu. Dia melakukan hal ini bahkan saat hujan badai, di saat mengemudi dengan batas kecepatan minimum ini justru menempatkan orang lain dalam bahaya karena mereka memiliki akal sehat untuk melambat dan mengemudi dua puluh mil per jam supaya tidak tergelincir keluar dari jalan atau hilang kendali. Orang yang bersikeras dengan kecepatan empat puluh mil per jam bahkan dalam kondisi-kondisi seperti ini sedang mengemudikan mobilnya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Meskipun ia terlihat oleh pengamat luar sebagai orang yang secara teliti melakukan kepatuhan sipilnya, kepatuhannya hanya bersifat eksternal, dan ia sama sekali tidak peduli dengan apa sebenarnya maksud dari hukum tersebut. Legalisme jenis kedua ini menaati hal-hal eksternal sementara hatinya jauh dari keinginan untuk memuliakan Allah, maksud hukum-Nya, atau Kristus-Nya.

Tipe legalisme kedua ini dapat diilustrasikan oleh orang-orang Farisi yang menentang Yesus karena penyembuhan di hari Sabat (Mat. 12:9-14). Mereka hanya peduli pada huruf hukum dan menghindari apa pun yang mungkin terlihat sebagai pekerjaan menurut mereka. Guru-guru ini kehilangan semangat dari hukum tersebut, yang ditujukan melarang pekerjaan biasa yang tidak diperlukan untuk mempertahankan hidup dan bukan melarang upaya untuk menyembuhkan orang sakit.

Tipe legalisme yang ketiga menambahkan aturan-aturan kita sendiri kepada hukum Allah dan memperlakukannya sebagai hukum ilahi. Ini adalah bentuk legalisme yang paling umum dan mematikan. Yesus mengecam orang-orang Farisi mengenai hal ini dengan mengatakan, “Kamu mengajarkan adat istiadat manusia seakan-akan adat istiadat itu adalah Firman Allah.” Kita tidak berhak menumpukkan larangan-larangan pada orang ketika Dia tidak menyatakan larangan tersebut.

Setiap gereja memiliki hak untuk menetapkan kebijakannya sendiri dalam area-area tertentu. Sebagai contoh, Alkitab tidak berbicara sedikit pun tentang minuman ringan di aula persekutuan gereja, tetapi sebuah gereja memiliki hak penuh untuk mengatur hal-hal seperti itu. Namun ketika kita menggunakan kebijakan-kebijakan manusia ini untuk mengikat hati nurani secara mutlak dan menjadikan kebijakan-kebijakan tersebut sebagai penentu keselamatan seseorang, kita secara berbahaya memasuki wilayah yang adalah milik Allah semata.

Banyak orang berpikir bahwa inti kekristenan adalah mengikuti aturan-aturan yang tepat, bahkan aturan-aturan yang ada di luar Alkitab. Sebagai contoh, Alkitab tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh bermain kartu atau minum segelas anggur saat makan malam. Kita tidak dapat menjadikan hal-hal ini sebagai ujian eksternal bagi kekristenan yang sejati. Hal tersebut akan menjadi pelanggaran yang mematikan terhadap Injil karena itu akan menjadikan adat istiadat manusia sebagai ganti buah-buah Roh yang sesungguhnya. Kita nyaris jatuh ke dalam penghujatan dengan memberikan gambaran yang keliru tentang Kristus secara demikian. Di mana Allah telah memberikan kebebasan, kita tidak pernah boleh memperbudak orang dengan aturan-aturan buatan manusia. Kita harus waspada untuk melawan bentuk legalisme ini.

Injil memanggil manusia kepada pertobatan, kekudusan, dan kesalehan. Karena itu, dunia melihat Injil sebagai sesuatu yang menyinggung. Namun celakalah kita jika kita menambah singgungan tersebut dengan sesuatu yang tidak perlu dengan mendistorsi natur sejati dari kekristenan dengan cara menggabungkannya dengan legalisme. Karena kekristenan perduli dengan moralitas, kebenaran, dan etika, kita dapat dengan mudah bergeser dari kepedulian yang penuh semangat akan moralitas yang saleh kepada legalisme jika kita tidak berhati-hati.

Cuplikan ini diambil dari How Can I Develop a Christian Conscience? oleh R.C. Sproul.


Artikel ini awalnya diterbitkan dalam Blog Pelayanan Ligonier.
R.C. Sproul
R.C. Sproul
Dr. R.C. Sproul mendedikasikan hidupnya untuk menolong orang bertumbuh dalam pengenalan mereka akan Allah dan kekudusan-Nya. Sepanjang pelayanannya, Dr. R.C. Sproul membuat teologi dapat diakses dengan menerapkan kebenaran mendalam dari iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Ia terus dikenal di seluruh dunia untuk pembelaannya yang jelas terhadap ineransi Alkitab dan kebutuhan umat Allah untuk berdiri dengan keyakinan atas Firman-Nya.