Simul Justus et Peccator (Orang Benar Sekaligus Orang Berdosa)
11 Januari 2024Manusia Terdiri Dari Tubuh dan Jiwa
18 Januari 2024Manusia Sebagai Gambar Allah
Bagian terbaik dari ciptaan Allah tidak dirahasiakan terlalu lama. Lagipula, hal itu ada di pasal pertama Alkitab. Namun, pasal tersebut tampaknya mengambil waktunya untuk sampai ke bagian tersebut, dengan menempatkan karya Allah ke dalam konteks yang akan membuat kita benar-benar menghargainya ketika bagian itu tiba. Munculnya penyandang gambar Allah adalah goresan terakhir dan terbaik di atas kanvas kosmis:
Berfirmanlah Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” …
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:26-27)
Firman Allah berbicara tentang penciptaan manusia dengan jelas dan juga artistik. Kita mendapati diri kita membaca ayat-ayat ini melalui lensa literal dan juga lensa literer. Hal ini juga berlaku di bagian-bagian lain di mana Roh Kudus merefleksikan karya-karya Allah yang ajaib di dalam sejarah, tetapi mereflesikannya dengan cara yang puitis. Sebagai contoh, setelah bangsa Israel menyeberangi Laut Teberau, Musa menggubah sebuah pujian untuk merayakan dan memperingati pembebasan umat Allah. Demikian juga di sini, pada hari-hari penciptaan yang luar biasa, bukan hanya apa yang Alkitab katakan, tetapi bagaimana Alkitab mengatakannya juga akan menuntun kita kepada kesimpulan yang jelas: penciptaan manusia oleh Allah benar-benar unik.
BAGAIMANA ALKITAB MENGATAKANNYA
Kisah penciptaan menunjukkan posisi istimewa manusia dalam dunia baru Allah melalui cara penyusunan pasal pertama kitab Kejadian. Ketika kita melihatnya secara utuh, salah satu ciri yang jelas terlihat adalah strukturnya. Penciptaan ditempatkan dalam kerangka enam hari. Setiap hari berjalan secara berurutan untuk mengantisipasi datangnya makhluk baru yang akan mengisi alam yang sesuai. Momentumnya meningkat ketika penciptaan menjadi semakin berbeda, semakin spesifik, dan semakin detail. Semuanya bergerak maju dengan penuh antusias menuju hari terakhir dari minggu tersebut. Ketika hari keenam akhirnya tiba (dan hanya setelah Allah menghadirkan semua tumbuhan dan semua hewan), tinggal satu makhluk tersisa untuk dihadirkan: manusia, mahkota kesuksesan dari firman yang diucapkan Allah. Jika pembaca gagal menapaki batu pijakan dari ayat-ayat ini, pasal kedua dari kitab Kejadian mengulang kembali penciptaan manusia dan menjelaskan tempat, hak istimewa, dan panggilan unik manusia.
Ketika kita melihat Kejadian 1 dengan lebih cermat, kita pasti akan melihat bagaimana narasi tentang karya Allah beraksen puitis. Refrain dan pengulangan terjalin dalam kisah penciptaan.
Berfirmanlah Allah, “Jadilah …”
Dan Allah melihat bahwa itu baik.
Lalu jadilah petang dan jadilah pagi; itulah hari ke-[n].
Frasa-frasa ini menciptakan irama saat kita membaca kisah ini sehingga narasi ini menyuarakan ritme yang nyaman. Setidaknya, hal ini berlaku hingga penciptaan manusia, ketika kisah ini tiba-tiba keluar dari polanya. Untuk pertama kalinya, Allah tidak hanya berfirman dan sesuatu dengan cepat menjadi ada. Kini, pribadi-pribadi Tritunggal berbicara satu sama lain saat Mereka masuk ke dalam solilokui yang penuh hikmat tentang puncak dari semua makhluk hidup. Sidang Ilahi merefleksikan dengan lantang pentingnya ciptaan baru yang akan muncul dalam tatanan ciptaan. Tidak ada elemen ciptaan lainnya yang sengaja dirundingkan dengan cara seperti ini.
Tidak ada ciptaan lain selain manusia yang dipikirkan tentang tugasnya yang unik, yaitu menatalayani ciptaan dan berkuasa atasnya.
“Supaya mereka berkuasa . . . atas . . . seluruh bumi, serta atas segala binatang yang melata di bumi” . . . “Penuhilah dan taklukkanlah bumi. Berkuasalah . . . atas segala binatang melata di bumi!” (Kej. 1:26, 28)
Tidak ada jenis lain yang dibahas secara rinci sebagai memiliki jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi.
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:26-27)
Ciptaan juga tidak dipuji sebagai “sangat baik” sampai munculnya manusia (Kej. 1:31). Sebelumnya, ciptaan itu “baik”—yang merupakan pujian yang tinggi. Sekarang, ciptaan menerima pujian tertinggi.
Tidak ada makhluk lain yang menerima catatan yang begitu rinci karena tidak ada makhluk lain yang sebanding. Manusia adalah karya Allah yang terbaik, dan Dia menghentikan ritme kisah-Nya yang sedang diungkapkan agar kita dapat menghargai introduksi dari makhluk ciptaan yang paling baik tersebut. Struktur dan gaya teks menunjukkan hal ini kepada kita. Akan tetapi, teks ini juga memberitahu kita dengan jelas ketika dikatakan bahwa hanya manusia saja yang diciptakan menurut gambar Allah.
APA YANG ALKITAB KATAKAN
Jika cara Alkitab menggambarkan penciptaan manusia menunjukkan betapa pentingnya manusia dibandingkan dengan ciptaan lainnya, maka apa yang Alkitab katakan tentang manusia menunjukkan esensi uniknya dalam kaitan dengan Penciptanya. Makhluk-makhluk lain menemukan tempat mereka di dalam kerajaan mereka masing-masing. Manusia menemukan tempatnya yang paling utama dalam relasinya dengan Allah. Dia adalah satu-satunya dari semua ciptaan yang menyentuh bumi dan langit. Esensi sejatinya adalah bahwa ia pada kenyataannya diciptakan dalam keserupaan dengan Allah langit.
Berfirmanlah Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” …
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:26-27)
Manusia sebagai gambar Allah adalah pernyataan paling penting yang Alkitab katakan tentang penciptaan. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas manusia dalam penciptaan dan kekuasaannya atas ciptaan berasal dari esensinya sebagai penyandang gambar Allah. Hal ini menunjukkan kesatuan mendasar dari umat manusia, yang berlaku bagi kedua jenis kelamin yang saling melengkapi: “‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.’ . . . Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:26-27). Allah menciptakan “manusia” menurut gambar-Nya paralel dengan Allah menciptakan “mereka”—yaitu “laki-laki dan perempuan”—menurut gambar-Nya. Keduanya setara dalam hal ini. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki persekutuan dengan Allah. Keduanya sama-sama menerima pengetahuan tentang kehendak moral Allah. Keduanya sama-sama menerima mandat untuk memerintah bumi dengan mengerjakan dan memelihara taman yang adalah tempat kudus (Kej. 1:28). Tanpa Hawa, “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Bersama Hawa, Adam memiliki pendamping yang sepadan dengannya, memahaminya, dan berkomunikasi dengannya—sebagai yang setara dengannya.
Kesatuan umat manusia berakar pada fakta bahwa setiap anggota umat manusia adalah penyandang gambar. Setiap orang yang kita temui, tidak peduli etnis tertentu mereka (atau campuran etnis), mewakili buatan tangan Allah yang terbaik. Hal itu sudah cukup bagi seseorang untuk menerima rasa hormat dan diperlakukan dengan bermartabat—tidak peduli jenis kelamin mereka, ras atau usia mereka, atau apakah mereka sudah lahir atau belum lahir, apakah mereka orang Kristen atau bukan. Mereka adalah penyandang gambar. Mereka termasuk golongan kita. Betapa tidak masuk akalnya memuji Allah dan kemudian di saat yang sama mengutuk seseorang yang “diciptakan menurut rupa Allah” (Yak. 3:9). Betapa tercelanya dan berat konsekuensinya menumpahkan darah manusia, karena “menurut gambar Allah manusia dijadikan” (Kej. 9:6).
Para penyandang gambar Allah mewakili ciptaan Allah yang terbaik. Bahkan jika seseorang belum mengakui imannya kepada Kristus sebagai Pencipta, Juruselamat, dan Tuhannya, ia harus diperlakukan dengan martabat yang layak diterima oleh setiap anggota umat manusia. Ia telah jatuh dalam dosa, tetapi ia tetaplah seorang manusia. Gambar tersebut sangat rusak dalam diri orang yang tidak percaya, akan tetapi bukannya tidak mungkin diperbaiki. Manusia yang telah jatuh jauh dari manusia yang ideal, tetapi ia tetaplah manusia. Itulah keagungan dan tragedi umat manusia. Francis Schaeffer berkata, “Tidak ada orang kecil.” C.S. Lewis berkata, “Tidak ada orang biasa.” Orang-orang yang kita temui setiap hari adalah mereka yang memiliki jiwa, yang tidak dapat dibanggakan oleh ciptaan lainnya.
Dalam ciptaan fisik, manusia adalah satu-satunya korespondensi spiritual antara langit dan bumi. Inilah yang pada akhirnya menyentuh inti dari esensi dan tujuan hidup kita, yaitu untuk mengalami realitas sukacita rohani, kedamaian kekal, dan kasih setia Allah, yang semuanya melampaui ciptaan ini. Sebagai penyandang gambar Allah, kita diciptakan untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Pencipta kita. Kehidupan kita yang sejati ada di dalam perkara-perkara yang di atas, bukan perkara-perkara di bumi. Kita mengangkat mata kita dalam iman kepada Pencipta dan Penebus surgawi kita dan menemukan hidup kita di dalam Yesus Kristus (Kol. 3:1-4). Dia “menjadi sama dengan manusia” dan menanggung apa yang tidak bisa kita tanggung untuk memperoleh apa yang tidak bisa kita hasilkan (Flp. 2:7). Melalui kebangkitan-Nya, Allah telah membangkitkan kita untuk menjalankan hidup yang baru sehingga gambar Allah dapat diperbarui di dalam diri kita (Ef. 4:24; Kol. 3:10). Inilah esensi sejati dari siapa kita dan untuk apa kita diciptakan, selamanya. Hal ini ada dalam kisah penciptaan—baik dalam cara Alkitab mengatakannya maupun dalam apa yang Alkitab katakan. Dan hal itu digenapi di dalam Injil. Kita diciptakan untuk ini. Kita diperbarui untuk ini.