Apa Itu Hermeneutika?
26 Juni 2025
Bagaimana Yesus Adalah “Roti Kehidupan?”
03 Juli 2025
Apa Itu Hermeneutika?
26 Juni 2025
Bagaimana Yesus Adalah “Roti Kehidupan?”
03 Juli 2025

Bagaimana Cara Membaca Literatur Apokaliptik

Literatur apokaliptik menyajikan gambaran dan pengajaran yang berkaitan dengan akhir zaman, sering kali dalam bentuk yang amat simbolis. Sebuah definisi standar yang dikembangkan oleh proyek genre dari Society of Biblical Literature, mengatakan bahwa literatur apokaliptik adalah “sebuah genre literatur pewahyuan dengan kerangka narasi, di mana sebuah wahyu disampaikan oleh makhluk dari dunia lain kepada penerima manusia, yang menyingkapkan sebuah realitas yang transenden.” Prinsip-prinsip berikut ini dapat menolong kita untuk menafsirkan literatur apokaliptik sesuai dengan karakteristik literer dari genre Alkitab yang unik ini.

1. Ingatlah bahwa literatur apokaliptik adalah sub-bagian dari nubuat Alkitab.

Beberapa kali dalam kitab Wahyu, genre kitab ini diidentifikasi sebagai “nubuat” (Why. 22:7, 10, 18, 19). Genre nubuat dalam Perjanjian Lama mencakup baik pembahasan tentang keadaan umat Allah pada masa itu maupun prediksi tentang masa depan. Demikian pula, dalam kitab Wahyu, Yesus memiliki pesan untuk gereja pada zaman-Nya (Why. 2-3) dan kitab ini juga menggambarkan kedatangan kembali Yesus dengan penuh kemuliaan di akhir zaman, serta peristiwa-peristiwa yang mendahului dan mengikutinya, yang berpuncak pada keadaan yang kekal (yaitu, langit dan bumi yang baru). Karena alasan ini, kita tidak boleh meremehkan dimensi sejarah ketika menafsirkan literatur apokaliptik, terlepas dari isi simbolis dari kitab-kitab ini.

2. Bedakan antara simbol dan referensinya dalam kehidupan nyata.

Literatur apokaliptik sering kali menggambarkan penglihatan yang grafis, bahkan dramatis, tentang peristiwa-peristiwa akhir zaman. Namun, meskipun penglihatan-penglihatan itu nyata dan sering kali ada tokoh atau peristiwa sejarah yang digambarkan, hal-hal ini dilukiskan dalam bentuk simbolis. Ini menuntut pembedaan secara cermat antara simbol aktualnya dan referensinya—yaitu, orang atau peristiwa yang digambarkan oleh simbol yang bersangkutan.

Contoh sederhananya adalah Wahyu 12-13, yang menampilkan dua karakter simbolis, seekor naga dan seorang perempuan. Naga itu menggambarkan Satan (Iblis) sebagai kekuatan yang mengerikan, sedangkan perempuan itu melambangkan jemaat—atau lebih luas lagi, umat Allah—yang melahirkan seorang anak laki-laki, Sang Mesias. Mengenai naga, penafsirannya diberikan dalam teks itu sendiri: “Dilemparkanlah naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia” (Why. 12:9). Mengenai simbol-simbol lain, penafsiran tidak diberikan, dan penafsir harus menentukan referensi yang paling mungkin dari simbol yang diberikan.

3. Jangan terbawa oleh skema-skema eskatologis yang detail dan skenario-skenario akhir zaman, tetapi fokuslah pada tujuan utama.

Sangat mudah untuk membiarkan rasa ingin tahu kita menguasai diri kita, tetapi seperti yang Yesus katakan kepada para pengikut-Nya, “Kamu tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya” (Kis. 1:7). Sebaliknya, tujuan utama kitab Wahyu adalah teodisi—demonstrasi tentang keadilan dan kebenaran Allah. Allah pasti akan membenarkan orang-orang yang percaya kepada Kristus dan menghakimi orang-orang yang tidak percaya. Literatur apokaliptik dirancang untuk meyakinkan kembali orang-orang percaya bahwa meskipun mereka bisa saja menghadapi penderitaan dan penganiayaan saat ini, Allah akan membawa sejarah pada konklusi akhirnya. Yesus akan datang kembali dalam segala kemuliaan-Nya, menghakimi orang-orang fasik, dan membawa orang-orang percaya ke hadirat Allah di mana mereka akan hidup untuk selama-lamanya. Pada saat yang sama, kitab Wahyu menunjukkan bahwa Allah telah memberikan segala kesempatan kepada orang-orang yang tidak percaya untuk percaya kepada Kristus. Hanya karena penolakan mereka yang terus-menerus untuk percaya, mereka akhirnya akan dihakimi.

4. Tafsirkanlah literatur apokaliptik dengan melihat pada kanon dan sejarah penebusan.

Literatur apokaliptik memiliki fungsi yang penting di dalam kanon Kitab Suci secara keseluruhan. Literatur ini menjadi penutup akhir dari Kitab Suci, yang dimulai dari sebuah taman tetapi berakhir di sebuah kota. Kisah Alkitab dimulai dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan dan diakhiri dengan orang banyak yang tak terhitung jumlahnya berkumpul di sekitar takhta Allah. Di antara kedua kitab di awal dan akhir dari Alkitab ini, kita melihat manusia memberontak terhadap Sang Pencipta, yang kemudian menggerakkan operasi penyelamatan yang agung yang berpuncak pada kedatangan Yesus yang pertama kali sebagai “Anak Domba” Allah yang menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29, 36). Setelah periode misi kepada bangsa-bangsa, literatur apokaliptik menggambarkan kedatangan kedua Yesus yang penuh kemuliaan dan kemenangan sebagai “Singa dari suku Yehuda” (Why. 5:5).

Alih-alih menampilkan gambaran apokaliptik yang penuh warna tentang bencana akhir dari bumi seperti bencana nuklir, kitab Wahyu justru menggambarkan puncak dari sejarah perjanjian Allah dengan umat-Nya. Dengan demikian, pernyataan menjelang akhir kitab ini berfungsi sebagai kesimpulan yang pas: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan tinggal bersama mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Allah sendiri akan menyertai mereka sebagai Allah mereka” (Why. 21:3).

Artikel ini merupakan bagian dari koleksi Hermeneutics.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Andreas J. Köstenberger
Andreas J. Köstenberger
Dr. Andreas J. Köstenberger adalah profesor riset bidang Perjanjian Baru dan teologi biblika serta direktur Center for Biblical Studies di Midwestern Baptist Theological Seminary di Kansas City, Missouri. Ia adalah penulis dari beberapa buku, termasuk The Jesus of the Gospels dan Handbook on Hebrews through Revelation.