3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Kejadian
17 April 2024
3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Imamat
22 April 2024
3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Kejadian
17 April 2024
3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Imamat
22 April 2024

3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Keluaran

Ketika saya mengajarkan kitab Keluaran, salah satu kenyataan yang saya temukan adalah banyak mahasiswa saya tidak menyadari betapa terlibatnya penulis kitab ini di dalam budaya Mesir. Saya yakin kenyataan ini berlaku bagi banyak gereja hari ini. Tradisi Yahudi dan Kristen mengakui bahwa Musa adalah penulis kitab ini. Musa mengenal dengan baik bahasa Mesir, teologi bangsa Mesir, dan cara hidup di negeri itu. Dengan kata lain, Musa tidak menulis tentang Mesir dari jauh, ataupun secara pribadi kurang akrab dengan seluk-beluk budaya Mesir. Ia memiliki pemahaman tentang Mesir kuno secara mendalam. Saya akan membahas secara singkat tiga bagian dari kisah Keluaran yang mencerminkan kebenaran ini.

1. Keluaran mengandung paralel tematik yang mendalam yang kadang dilewatkan

Kita membaca di dalam Keluaran 2:1-10 bahwa Yokhebed, ibu Musa, menempatkan bayinya di dalam “peti papirus” (Kel. 2:3; NIV), dan menaruh peti itu ke tengah-tengah gelagah di tepi Sungai Nil. Dua kata dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan menjadi “peti papirus” merupakan kata-kata yang dipinjam dari bahasa Mesir. Kata yang pertama adalah gome, yang dalam bahasa Mesir berarti “papirus”, yaitu gelagah-gelagah panjang yang ditemukan di perairan Mesir seperti Sungai Nil. Istilah yang kedua adalah tevah, sebuah kata dalam bahasa Mesir yang berarti “peti, bahtera”. Kata tersebut hanya dipakai sekali lagi di dalam Perjanjian Lama, yaitu di dalam kisah air bah, ketika dikatakan, “Berfirmanlah TUHAN kepada Nuh, ‘Masuklah ke dalam bahtera (tevah) itu, engkau dan seisi rumahmu’” (Kej. 7:1). Ini bukan suatu kebetulan. Apa yang kita lihat di sini adalah sebuah paralel tematik yang besar: Nuh dan Musa sama-sama melalui pengalaman sulit berkaitan dengan air di mana mereka masuk ke dalam sebuah peti/bahtera, selamat, lalu menjadi penyelamat bangsanya. (Perhatikan juga bahwa Nuh dan Yokhebed menutupi peti/bahtera itu dengan tér untuk melindunginya dari kuasa alam yang merusak [lihat Kej. 6:14].)

Di dalam ayat 10 dari perikop tersebut, kita membaca tentang peristiwa pemberian nama Musa oleh putri Firaun, yang membesarkan Musa sebagai anaknya sendiri. Ia menamainya “Musa”, yang berasal dari kata dalam bahasa Ibrani yang berarti “menarik keluar”. Namun, nama itu juga adalah sebuah kata dalam bahasa Mesir yang berarti “anak lelaki dari”. Nama-nama orang Mesir kerap memakai kata tersebut bersama dengan kata lain. Beberapa contoh yang terkenal adalah Thutmosis (anak lelaki Thut) dan Ahmosis (anak lelaki Ah). Namun, bagi Musa, nama tersebut tidak memiliki objek genitif; namanya sekadar berarti “anak lelaki dari”. Ini mungkin sebuah permainan kata yang dipakai penulis Alkitab untuk menekankan bahwa Musa, dalam realitasnya, bukanlah seorang anak lelaki Mesir. Penolakannya tehadap Mesir di kemudian hari membuktikan bahwa ia adalah anak orang Israel (baca Ibr. 11:24-25).

2. Tulah-tulah sepertinya tidak hanya menunjukkan kuasa Allah, tetapi kuasa-Nya dalam kontras dengan ilah-ilah Mesir

Kebenaran kedua tentang kitab Keluaran yang sering kali dilewatkan orang adalah bahwa kehancuran Mesir melalui tulah, sesungguhnya pada akhirnya merupakan sebuah konflik antara Allah Israel dengan ilah-ilah Mesir. Tulah dimulai dengan Allah memukul Sungai Nil dan mengubah airnya menjadi darah (Kel. 7:14-25). Mengapa Allah menjatuhkan hukuman ini terhadap Mesir? Orang Mesir kuno menganggap Sungai Nil adalah sumber utama kehidupan mereka. Mereka juga percaya bahwa pada tahap penggenangannya dahulu (ketika sungai Nil membanjiri negeri itu), Nil dijadikan ilah dan dipersonifikasikan sebagai ilah Hapi. Ketika Tuhan mengubah air Sungai Nil menjadi darah, Ia sedang mengolok-olok ilah orang Mesir itu. Tulah ini berfungsi sebagai bukti bahwa pemeliharaan sejati hanya berasal dari tangan Tuhan yang berdaulat, bukan dari ilah pagan palsu orang Mesir. Tulah-tulah yang lain juga dapat dilihat sebagai serangan Tuhan terhadap banyak dari ilah-ilah utama orang Mesir.

3. Kitab Keluaran sepertinya secara sengaja merujuk kepada sebuah adegan dari literatur Mesir

Ketiga, penting juga bagi murid Alkitab untuk memahami bahwa Musa menulis kitab Keluaran dengan kesadaran yang tinggi akan literatur Mesir pada waktu itu. Stefanus mengatakan di dalam Kisah Para Rasul 7:22 bahwa “Musa pun dididik dalam segala hikmat orang Mesir.” Jadi, terkait dengan peristiwa besar Tuhan membelah Laut Teberau, menarik untuk dicermati bahwa orang Mesir sendiri memiliki cerita tentang seorang imam yang membelah suatu perarian yang luas. Papirus Westcar menceritakan kisah tentang seorang Raja Mesir bernama Snofru yang sedang naik perahu di sebuah danau, dan seorang pendayungnya yang perempuan tidak sengaja menjatuhkan jimatnya yang berbentuk ikan ke dalam air. Snofru memanggil imam Djadjaemonkh untuk mengatasi masalah itu. Imam tersebut membelah air itu, menempatkan satu sisi danau di atas sisi yang lain, dan menemukan jimat berbentuk ikan itu di atas tanah yang kering. Lalu ia mengembalikan air danau itu ke posisinya semula. Tampaknya ketika Musa menggambarkan peristiwa Laut Teberau yang terbelah itu, ia mengolok-olok cerita Mesir tersebut. Imam Mesir tersebut mungkin saja membelah danau untuk mencari sebuah jimat yang berharga, tetapi Allah Israel membelah seluruh Laut Teberau dan menuntun sebuah bangsa berjalan di atas tanah kering. Siapakah yang memiliki kuasa yang lebih besar?


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
John Currid
John Currid
Dr. John D. Currid adalah Chancellor’s Professor bidang Perjanjian Lama di Reformed Theological Seminary dan pendeta pengajar dan pengkhotbah di Sovereign Grace Presbyterian Church di Charlotte, N.C. Ia adalah penulis banyak buku, termasuk Against the Gods dan Why Do I Suffer? Ia juga adalah editor senior ESV Archaeology Study Bible.