
Bagaimana Cara Membaca Narasi Historis
17 Juni 2025Apakah Eksegese Itu?

Pada zaman sekarang, kita sering mendengar bahwa tidak ada sudut pandang siapa pun yang boleh diistimewakan lebih daripada yang lain, bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki hak monopoli atas kebenaran, dan bahwa segala sesuatu pada akhirnya adalah masalah pendapat. Pandangan ini bahkan diterapkan pada Kitab Suci, sampai pada titik di mana makna Alkitab tampaknya sepenuhnya tergantung pada pembaca dan dapat disesuaikan tanpa batas. Tradisi Reformed secara konsisten menolak pandangan ini, dengan alasan sederhana bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah, dan Allah peduli dengan bagaimana Firman-Nya dibaca. Pada akhirnya, Kitab Suci harus dibaca sesuai dengan petunjuk Allah.
Menafsirkan dan memahami teks-teks Alkitab adalah ranah eksegese. Eksegese berkaitan erat dengan hermeneutika, yang melibatkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pendekatan dan penafsiran Kitab Suci. Oleh karena itu, eksegese adalah penerapan hermeneutika pada suatu perikop tertentu. Berikut ini adalah beberapa prinsip untuk menafsirkan Alkitab menurut tradisi Reformed.
Kita harus menafsir Alkitab dengan rendah hati.
Alkitab bukanlah kitab biasa. Alkitab adalah kitab yang unik, merupakan Firman Allah itu sendiri, satu-satunya aturan iman dan praktik yang infalibel, sehingga ketika kita membacanya, kita mencoba untuk memahami apa yang Allah yang hidup katakan kepada kita. Semua otoritas lain—bahkan yang bertujuan untuk memberi tahu kita bagaimana menafsirkan Kitab Suci—berada di bawah Kitab Suci. Jadi, sementara kita berusaha untuk memahami makna yang dimaksudkan oleh para penulis manusianya, pada akhirnya kita berusaha untuk memahami makna yang dimaksudkan oleh Sang Penulis ilahi.
Ini berarti menempatkan diri kita di bawah Alkitab dan bukan di atasnya. Misalnya, ketika kita menemukan suatu perikop di mana makna yang dimaksudkannya tidak kita sukai, kita tidak berusaha mengelak atau mengabaikannya. Sebagai contoh, dalam Yohanes 6, Yesus berbicara tentang prioritas anugerah pemilihan Allah dalam menuntun mereka yang percaya kepada-Nya untuk beriman. Banyak orang mendapati ajaran ini terlalu keras dan berpaling dari Yesus (Yoh. 6:66), dan banyak orang pada masa kini yang juga mencoba menafsirkan dengan segala alasan mereka ajaran Kitab Suci tentang pemilihan. Namun, kita harus berusaha untuk memahami dan tunduk pada pengajaran Kitab Suci sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita inginkan.
Kita harus menafsir Alkitab dengan setia.
Menafsir Alkitab dengan setia berarti membaca suatu perikop tertentu sebagaimana seharusnya dibaca. Pembacaan dengan cara ini memperhatikan hal-hal seperti genre dan kiasan serta memperhitungkan konteks historis dan sastra dari suatu perikop tertentu, dengan mempertimbangkan bagaimana kata-kata yang digunakan dipahami pada saat teks itu ditulis. Metode ini sering disebut sebagai eksegese secara historis-gramatikal, dan dimaksudkan untuk mengungkap apa yang si penulis hendak sampaikan dengan berfokus pada kata-kata yang ia gunakan dan maknanya dalam konteksnya.
Membaca Alkitab dengan setia dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan kunci tentang teks, termasuk: Siapa penulisnya? Apa konteks penulisannya? Apa tujuannya dalam menulis? Apa genre teksnya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini sering kali dapat ditemukan di dalam teks itu sendiri, tetapi kadang sumber-sumber eksternal seperti buku-buku tafsir dan kamus Alkitab dapat menolong.
Kata-kata biasanya memiliki lebih dari satu arti atau konotasi, dan konteks membantu kita menentukan arti mana yang dimaksudkan oleh sebuah kata dari semua kemungkinan artinya—rentang semantiknya (lihat, misalnya, berbagai cara penggunaan kata “dunia” dalam Perjanjian Baru: Mat. 4:8; 13:22; 25:34; Mrk. 4:19; Luk. 2:1; Yoh. 1:29; 3:16; Kis. 17:6; Rm. 3:6; Gal. 6:14; Ef. 2:2). Kata-kata kunci seperti “oleh karena itu,” “ melainkan,” “tetapi,” “sebaliknya” dan “lalu” menunjukkan alur pikir penulis, dan tata bahasa suatu perikop dapat menunjukkan penekanannya (misalnya, Luk. 12:5).
Menentukan genre dari suatu perikop juga dapat menolong kita untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis. Alkitab berisi bagian-bagian puisi, nubuat, literatur apokaliptik, instruksi, dan seterusnya, masing-masing dengan aturan umumnya sendiri yang menginformasikan bagaimana suatu teks harus dipahami. Sebagai contoh, jika suatu perikop adalah puisi, kemungkinan besar bagian tersebut mengandung ungkapan dan gambaran yang menunjuk pada makna yang melampaui makna konkretnya. Hal yang sama berlaku untuk apokaliptik. Jika suatu perikop adalah narasi, perikop itu mungkin hanya bermaksud untuk menghubungkan serangkaian peristiwa, tetapi peristiwa-peristiwa itu dapat menjadi bayang-bayang dari kejadian-kejadian di kemudian hari atau memiliki signifikansi yang lebih besar dalam perjalanan sejarah penebusan.
Menjelajahi aspek-aspek teks ini dapat memberi tahu kita apa artinya ketika teks itu ditulis. Dari sana, kita dapat mencoba memahami apa arti teks tersebut bagi kita sekarang. Proses ini melibatkan penentuan makna teks dalam terang kedatangan Kristus. Sekarang setelah Kristus datang, bagaimana seharusnya kita memahami perintah ini atau membaca narasi ini? Haruskah kita, sebagai anggota jemaat Perjanjian Baru, melihat sebuah janji untuk dipercayai, sebuah perintah untuk ditaati, sebuah peringatan untuk diperhatikan, sebuah kebenaran untuk dipahami, atau sebuah balsam untuk dioleskan?
Kita seharusnya menafsir Alkitab dengan bertanggung jawab.
Karena Allah adalah Penulis Kitab Suci yang ultimat, Dia memberikan penafsiran yang definitif. Ini berarti bahwa Kitab Suci menafsirkan Kitab Suci. Pengakuan Iman Westminster menyatakan, “Aturan penafsiran Kitab Suci yang infalibel adalah Kitab Suci itu sendiri: dan oleh karena itu, ketika ada pertanyaan tentang makna yang benar dan sepenuhnya dari bagian manapun dalam Kitab Suci (yang bukannya banyak, tetapi satu), maka harus dicari dan diketahui melalui bagian-bagian lain yang berbicara dengan lebih jelas” (1.9). Kita harus sering kali mencari di bagian lain dalam Alkitab untuk menjelaskan bagian-bagian yang sulit dipahami. Penafsiran Kitab Suci yang definitif ditemukan di dalam Kitab Suci, bukan dengan mengacu pada otoritas lain seperti tradisi, pemimpin gereja, atau opini.
Pengakuan Iman Westminster juga menyatakan bahwa “dengan menggunakan sarana-sarana umum sebagaimana seharusnya”, pesan Kitab Suci dapat ditemukan (1.7). Kitab Suci harus dibaca dengan cara yang umum, seperti buku-buku lainnya, dengan menggunakan aturan-aturan umum tata bahasa, dan seterusnya, dan Alkitab tidak boleh hanya menjadi titik tolak spekulasi, penafsiran alegoris, dan imajinasi. Alkitab juga seharusnya dibaca dengan serius—dengan “menggunakan sarana-sarana umum sebagaimana seharusnya.” Kita tidak dapat memperlakukan Alkitab dengan tidak serius dan kemudian mengatakan bahwa Alkitab tidak dapat dimengerti.
Pada akhirnya, kita ingin mengetahui apa yang Alkitab katakan kepada kita tentang siapa Allah dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita di dalam Kristus. Setiap bagian manapun dipenuhi dengan makna yang dapat diterapkan dalam kehidupan kita, tetapi penting bagi kita untuk melihat bagaimana penerapan tersebut mengalir dari kesatuan kita dengan Kristus melalui iman. Kita tidak dijanjikan kehidupan yang sejahtera tanpa syarat. Sebagai contoh, dalam Yeremia 29:11, Allah pada awalnya mengulurkan pengharapan berkat kepada bangsa Israel yang dibuang ke Babel. Akan tetapi Kristus, sebagai Anak yang taat secara sempurna dan Israel sejati, telah mewarisi semua janji Allah dan mendapatkan semua upah dari Allah, dan melalui kesatuan kita dengan-Nya, kita menerima berkat-berkat yang tak terhingga (Ef. 1:3-11). Ini adalah kabar baik, dan ini diungkapkan di setiap halaman Kitab Suci.
Artikel ini merupakan bagian dari koleksi Hermeneutics.