Apakah Nama Allah Itu?
08 Juni 2023
Jika Allah Berdaulat, Mengapa Kita Berdoa?
15 Juni 2023
Apakah Nama Allah Itu?
08 Juni 2023
Jika Allah Berdaulat, Mengapa Kita Berdoa?
15 Juni 2023

Apa yang Ada Sebelum Allah?

Orang mungkin berpendapat bahwa jika setiap akibat memiliki penyebab, maka Allah pasti memiliki penyebab. Karena itu, mereka mungkin bertanya, “Apa yang ada sebelum Allah?” Namun, Allah yang kekal bukanlah akibat. Tidak pernah ada waktu ketika Ia tidak ada. Keberadaan Allah tidak diakibatkan dari apa pun di luar diri-Nya, dan Ia tidak bergantung pada apa pun di luar diri-Nya. Tidak ada perbedaan antara Allah dan makhluk ciptaan yang lebih dramatis dari ini, karena makhluk ciptaan, secara definisi, adalah tidak mandiri, kontingen, dan berasal dari sesuatu, serta tidak memiliki kuasa keberadaan di dalam dan dari dirinya sendiri. Allah tidak memerlukan apa pun; Ia ada sejak kekekalan.

Kekekalan juga menuju ke arah yang lain. Tidak akan pernah ada waktu di masa depan ketika Allah berhenti ada. Keberadaan-Nya akan tetap eksis dengan sendirinya untuk selama-lamanya. Jika sesuatu ada, maka sesuatu itu harus selalu ada. Jika dahulu tidak pernah ada apa-apa secara mutlak, maka sekarang pun tidak mungkin ada apa-apa, karena Anda tidak bisa memperoleh sesuatu dari yang tidak ada. Sebaliknya, jika sesuatu ada saat ini, maka dengan sendirinya itu menunjukkan bahwa sesuatu itu telah selalu ada sejak dahulu, dan yang selalu eksis di dalam dan dari dirinya sendiri. Itulah Dia yang memiliki kuasa keberadaan di dalam diri-Nya, yaitu Allah yang hidup. Dengan demikian, kekekalan Allah adalah atribut lain dari Allah yang seharusnya menggugah jiwa kita untuk menyembah dan memuji Dia: Kita diciptakan oleh Dia yang memiliki kuasa keberadaan di dalam diri-Nya sendiri secara kekal. Bayangkan kehebatan keberadaan yang seperti itu.

Kekekalan-Nya, mungkin lebih dari yang lain, membedakan Allah dari kita. Kekudusan-Nya tidak hanya merujuk kepada kesucian-Nya, tetapi juga otherness atau transendensi-Nya—pengertian bahwa Ia berbeda dari kita. Satu kesamaan yang dimiliki kita manusia adalah kita adalah makhluk ciptaan, yang secara hakikat bersifat temporal. Pada akhir kehidupan seseorang, ketika ia dikuburkan, kuburannya ditandai dengan sebuah batu nisan yang menuliskan namanya, tanggal kelahiran, dan tanggal kematiannya. Kita hidup di bumi ini di antara dua tanggal ini: kelahiran dan kematian. Tidak ada tanggal-tanggal  seperti itu untuk Allah. Ia tidak terbatas, bukan hanya dalam kaitannya dengan ruang, tetapi juga waktu. Tidak pernah ada waktu ketika Allah tidak ada. Ia ada dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Kekekalan Allah secara tidak terpisahkan berkaitan dengan eksistensi-Nya dalam diri-Nya sendiri, yaitu aseitas-Nya. Namun kata “aseitas” hampir tidak ada dalam kosakata kebanyakan orang Kristen. “Aseitas” berarti “memiliki keberadaan atau eksistensi dalam dirinya sendiri”.

Di dalam bukunya, Why I Am Not a Christian, matematikawan dan filsuf terkemuka, Bertrand Russell, mengungkapkan alasan mengapa ia tidak percaya kepada Allah. Sampai remaja, Russell memiliki keyakinan bahwa Allah harus ada untuk menjelaskan keberadaan alam semesta. Kemudian ia membaca tulisan John Stuart Mill, yang membantah argumen kosmologis tradisional yang mendukung keberadaan Allah, yang menjelaskan penyebab keberadaan benda-benda yang ada sekarang sampai pada penyebab pertama. Pemikiran ini didasarkan pada hukum sebab-akibat, yang mengatakan bahwa setiap akibat pasti memiliki penyebab terdahulu . Mill menegaskan bahwa jika segala sesuatu harus memiliki penyebab terdahulu, maka Allah juga harus memiliki penyebab. Namun, jika Allah memiliki penyebab terdahulu, maka Dia adalah makhluk ciptaan, sama seperti yang lain. Ketika Russell membaca buku tersebut pada penghujung masa remajanya, ia memutuskan bahwa argumen klasik mendukung keberadaan Allah itu salah. Ia mempertahankan keyakinan tersebut sampai akhir hayatnya, tidak menyadari bahwa keyakinan itu dibangun di atas definisi hukum sebab-akibat yang salah.

Hukum sebab-akibat mengajarkan bahwa setiap akibat pasti ada penyebabnya, bukan segala sesuatu harus memiliki penyebab. “Akibat” secara definisi, disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya. Namun, kita tidak perlu menganggap bahwa segala sesuatu adalah akibat—temporal, terbatas, tidak mandiri, dan berasal dari sesuatu. Tidak ada yang tidak rasional tentang ide keberadaan yang eksis dengan sendirinya, yang kekal, yang memiliki kuasa keberadaan di dalam diri-Nya sendiri. Sesungguhnya, konsep seperti ini bukan hanya merupakan kemungkinan logis, tetapi juga (sebagaimana dibuktikan oleh Thomas Aquinas) merupakan keharusan logis. Agar sesuatu dapat eksis, sesuatu, di suatu tempat, entah bagaimana, harus memiliki kuasa keberadaan, sebab tanpa kuasa keberadaan, tidak mungkin ada sesuatu. Sesuatu yang memiliki kuasa keberadaan di dalam dan dari dirinya sendiri, dan tidak bergantung pada apa pun di luar dirinya, haruslah memiliki kuasa keberadaan sejak kekekalan. Inilah yang membedakan Allah dari kita. 

Kita mengingat kalimat pertama di dalam Perjanjian Lama: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Segala sesuatu di jagat raya, selain Allah, adalah ciptaan. Segala sesuatu dalam ciptaan—di dalam alam semesta—memiliki permulaan dalam waktu. Hanya Allah yang ada dari selama-lamanya sampai selama-lamanya dan memiliki atribut kekekalan. Aspek hakikat Allah yang agung tersebut begitu melampaui segala sesuatu yang bisa kita pikirkan dari dunia ini, sehingga itu saja cukup untuk menggugah jiwa kita untuk memuji dan menyembah Dia. Hanya Dia yang memiliki kuasa keberadaan di dalam dan dari diri-Nya sendiri. Sayangnya, kita tidak sering memikirkan hal-hal ini. Jika kita merenungkan tentang suatu keberadaan yang kekal, yang menghasilkan kekuatan untuk semua lainnya yang ada, termasuk kita, maka kita seharusnya tergerak untuk menyembah Dia.

Cuplikan ini diadaptasi dari Truths We Confess oleh R.C. Sproul.


Artikel ini awalnya diterbitkan dalam Blog Pelayanan Ligonier.
R.C. Sproul
R.C. Sproul
Dr. R.C. Sproul mendedikasikan hidupnya untuk menolong orang bertumbuh dalam pengenalan mereka akan Allah dan kekudusan-Nya. Sepanjang pelayanannya, Dr. R.C. Sproul membuat teologi dapat diakses dengan menerapkan kebenaran mendalam dari iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Ia terus dikenal di seluruh dunia untuk pembelaannya yang jelas terhadap ineransi Alkitab dan kebutuhan umat Allah untuk berdiri dengan keyakinan atas Firman-Nya.