Menjaga Persatuan di Tengah Ketidaksepakatan
29 Maret 2024
3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Kejadian
17 April 2024
Menjaga Persatuan di Tengah Ketidaksepakatan
29 Maret 2024
3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Kejadian
17 April 2024

Via, Veritas, Vita (Jalan, Kebenaran, Hidup)

Apa ayat yang paling sering didengar dalam Injil Yohanes? Yohanes 3:16 mungkin langsung terlintas di benak Anda: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal …”

Atau dapatkah kata-kata dari prolog (1:1-18) mendapat gelar ini? Bagaimanapun juga, ayat-ayat tersebut dibaca setiap tahun pada saat Natal.

Tapi bisa jadi jawaban yang paling mungkin adalah Yohanes 14:1: “Janganlah gelisah hatimu …” Kata-kata ini dibacakan di hampir setiap kebaktian penguburan orang Kristen.

Hal ini dapat membantu menjelaskan dua hal:

  1. Kita jarang mendengar dan merenungkan kata-kata ini dalam konteks aslinya. Jika Anda bertanya kepada orang yang rutin ke gereja, “Beri tahu saya kapan Yesus mengucapkan kata-kata ini, dan apa yang terjadi sebelum dan sesudah Dia mengucapkannya,” mereka mungkin akan sulit memberikan jawaban.
  2. Kita cenderung mendengar dan membacanya seolah-olah kata-kata itu diucapkan langsung kepada kita.

Ini adalah cara yang selalu digunakan oleh banyak—bahkan mungkin sebagian besar—orang Kristen dalam membaca Alkitab. Ayat itu tentu saja relevan bagi kita saat ini. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa—seperti semua yang Yesus katakan di ruangan atas—sekalipun perkataan ini mungkin berlaku bagi kita, perkataan ini hanya diucapkan kepada para rasul. Kita tidak ada di sana.

Dengan demikian, di sini terdapat satu prinsip dasar dalam studi Alkitab: pertama-tama kita merenungkan apa yang disampaikan oleh kata-kata itu kepada mereka yang mendengarnya; kemudian kita mencari tahu, dengan pertolongan Roh Kudus, bagaimana kata-kata itu berlaku bagi kita.

Ketika kita melakukan demikian, kita mungkin mendapati diri kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang jika tidak, mungkin terlewatkan. Ini kemudian akan membantu kita untuk menyelami lebih jauh makna dari bagian tersebut.

Dalam kasus ini, misalnya, memikirkan konteks orisinal Yohanes 14:1 menimbulkan pertanyaan ini: Bagaimana mungkin Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Janganlah gelisah hatimu”? Bukankah hal itu melanggar aturan dasar konseling? Bagaimanapun juga, masalah mereka adalah bahwa mereka gelisah, dan tampaknya untuk alasan yang baik.

Jika orang yang bermasalah dapat membebaskan diri dari masalah mereka, mereka akan melakukannya. Bukankah mengatakan kepada mereka untuk jangan gelisah adalah sebuah nasihat keputusasaan? Tidakkah Yesus tahu lebih baik dari itu?

Akan tetapi, Yesus adalah seorang konselor yang ulung, jadi pasti ada sesuatu dalam konteks di kasus ini yang dapat membantu kita memahami apa yang Dia lakukan.

Selain itu, jika kita membaca perikop dalam konteksnya, kita akan lebih mungkin melihat detail-detail yang signifikan. Ada sebuah contoh penting di sini. Yohanes baru saja memberi tahu kita bahwa “Ia (Yesus) sangat terguncang” (13:21; kata deskripsi yang sama digunakan dalam 14:1). Yesus yang “gelisah” berkata kepada murid-murid-Nya untuk tidak “gelisah”. Bukankah ini namanya “maling teriak maling”? Pembaca yang sinis mungkin akan berkata, “Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri” (Luk. 4:23).

Bersifat paradoks? Ya, tetapi paradoks ini memberikan petunjuk untuk membantu kita memahami nasihat Yesus kepada para murid-Nya. Bahkan, dengan caranya sendiri, paradoks ini mengarahkan kita pada inti dari Injil itu sendiri. Karena Yesus terguncang (gelisah), murid-murid-Nya, baik dulu maupun sekarang, tidak perlu gelisah. Penyebab kegelisahan ini—pengkhianatan, penangkapan, rasa malu, penyaliban, ditinggalkan, yang dialami-Nya—adalah karena Dia menanggung beban masalah kita yang paling dalam: rasa bersalah kita, rasa malu kita, dan maut yang merupakan upah dosa (Rm. 6:23). Karena Dia tahu dan mengerti bagaimana rasanya gelisah, Dia dapat bersimpati dengan kita. Karena Dia pernah mengalami kegelisahan, di dalam Dia hati kita yang gelisah dapat menemukan kedamaian.

Kekuatan dari nasihat Yesus terletak pada cara Dia menjelaskan mengapa dan bagaimana hati murid-murid-Nya tidak perlu gelisah. Karena meskipun ada alasan bagi hati mereka untuk gelisah, ada alasan yang lebih besar untuk tidak membiarkan hati mereka gelisah. Seiring percakapan berlangsung, Dia akan menjelaskan hal ini lebih lanjut ketika Dia secara khusus menjawab pertanyaan dari dua murid-Nya yang sedang gelisah.

Lalu, apa nasihat Yesus untuk hati yang gelisah? Dia berbicara di sini bukan tentang kekecewaan yang sepele tetapi tentang hati yang bergejolak. Dia sangat gelisah dalam roh, dan sekarang murid-murid-Nya juga sangat gelisah. Dunia mereka menuju kehancuran. Mereka merasa kewalahan, dan mereka tidak memiliki kendali atas situasi itu. Bagaimana mungkin memiliki hati yang tidak gelisah dalam situasi yang seperti ini? Dan mungkinkah, dalam menerapkannya, seorang Kristen masa kini dapat mengalami ketenangan surgawi seperti itu?

NASIHAT BAGI HATI YANG GELISAH

Apa masalah bagi hati yang gelisah? Masalahnya adalah ini: keadaan yang mengancam kita tampak lebih besar dan lebih kuat daripada sumber daya kita untuk mengatasinya. Kita seperti para murid yang terjebak dalam badai di Danau Galilea. Keahlian dan pengalaman kita tidak memadai untuk menghadapi situasi tersebut.

Pernahkah Anda berpikir bahwa Yesus bersikap agak kurang baik kepada murid-murid-Nya ketika Dia bertanya kepada mereka, “Mengapa kamu ketakutan?” Mereka tentu saja punya alasan untuk itu—mereka akan tenggelam. Kenyataannya, Yesus dengan lembut mendiagnosis masalahnya. Dia bertanya: “Belumkah kamu percaya?” (Mrk. 4:40). Dengan kata lain, ada sumber daya yang tersedia bagi mereka di dalam perahu, seseorang yang lebih kuat daripada angin dan ombak, dan mereka telah mengabaikan-Nya—atau, lebih tepatnya, gagal untuk memercayai-Nya.

Anda naik pesawat terbang. Tas-tas tersebut dimasukkan ke dalam bagasi—dua puluh kilogram per tas untuk harga tiket ekonomi sekitar ratusan ribu rupiah. Masuklah para penumpang ke dalam kabin, masing-masing dengan berat berkilo-kilo. Anda melihat ke luar jendela ke arah mesin-mesin besar. Pernahkah Anda berpikir, “Bagaimana pesawat bisa lepas landas?” Ini bukan karena pesawat lebih ringan daripada udara atau karena hukum gravitasi sudah tidak ada lagi. Bukan. Itu karena hukum aerodinamika bekerja: daya angkat dan daya dorong mengalahkan berat dan daya tarikan. Hal yang serupa juga berlaku bagi orang Kristen. Kita dibebani dengan cobaan dan kesulitan, kebingungan, dan kesedihan yang mendalam. Menjadi seorang Kristen tidak memberikan kekebalan dari semua itu. Akan tetapi, ada hukum lain yang sedang bekerja. Kita memiliki sumber daya untuk mengatasinya di dalam Yesus Kristus.

Inilah poin yang Paulus sampaikan: “kita lebih daripada orang-orang yang menang” bukan karena kekuatan kita sendiri, tetapi “melalui Dia yang telah mengasihi kita” (Rm. 8:37).

Teguran Yesus kepada para murid tidak menyiratkan, “Murid-murid bodoh, kalian adalah nelayan yang berpengalaman dan seharusnya memercayai pengalaman kalian.” Tidak, melainkan menyiratkan, “Kamu memiliki Anak Allah di dalam perahu, Pencipta Galilea dan Penguasa angin dan ombak, tetapi kamu tidak percaya kepada-Ku.” Situasi mereka membutakan mereka terhadap kehadiran Juruselamat mereka. Mereka dipenuhi dengan rasa takut ketimbang iman.

MEMILIKI IMAN

Kita terlalu sering berpikir bahwa iman adalah sesuatu yang pasif—mungkin karena kita berbicara tentang “menerima” Kristus. Akan tetapi, ada dimensi-dimensi aktif dalam iman. Para pendahulu rohani kita yang bijaksana sering berbicara tentang “iman yang bertindak”—yaitu, mengerahkan iman, berpegang pada janji-janji Allah, mengarahkan pandangan kita kepada Kristus dan kepenuhan-Nya (Ibr. 3:1; 12:2).

Maka, perhatikanlah nasihat yang Yesus berikan kepada hati yang gelisah: “Berimanlah, percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.”

Janganlah gelisah hatimu. Pertama, karena Allah adalah keamanan Anda: “Nama TUHAN adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia selamat” (Ams. 18:10); “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (Mzm. 46:2). Tidak heran jika Martin Luther sering berkata kepada sahabatnya yang lebih muda, Philip Melanchthon, setiap kali mereka kecewa, “Mari, Philip, mari kita menyanyikan Mazmur 46!” Maka tidak heran jika parafrase dari penerapan Luther akan mazmur ini, “Allah Jadi Benteng Kukuh” menjadi lagu tema Reformasi.

Ada logika yang tersirat dalam perkataan Yesus kepada para murid: “Percayalah kepada Allah—karena itu percayalah juga kepada-Ku.” Allah akan menjadi tempat perlindungan mereka—mereka sudah tahu hal itu; mereka sudah tahu Mazmur 46 sejak mereka masih kecil. Sekarang mereka telah bersama Yesus selama tiga tahun. Mereka juga memiliki banyak alasan untuk memercayai Dia dan menemukan keamanan mereka di dalam Dia. Mereka telah melihat karya-karya ajaib yang telah mengesahkan Dia sebagai Mesias yang dijanjikan; mereka telah mendengar Dia berbicara tentang hubungan-Nya yang unik dengan Bapa-Nya di surga. Sama seperti Dia datang ke dunia untuk menyelamatkan mereka (Yoh. 3:16), Dia meninggalkan dunia untuk menyiapkan tempat bagi mereka di hadirat Bapa-Nya: “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab, Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu. Apabila Aku telah pergi dan menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat Aku berada, kamu pun berada” (14:2-3).

Ikutilah kekuatan dari logika Tuhan kita di sini—karena kekuatan iman terletak pada pemahaman akan hal tersebut:

  • Tindakan Yesus: Aku meninggalkanmu.
  • Penjelasan Yesus: Aku akan menyiapkan tempat bagimu di rumah Bapa-Ku.
  • Kesimpulan Yesus: Oleh sebab itu, Aku akan datang kembali kepadamu untuk membawamu pulang.

Paham logikanya? Apa yang para teolog sebut sebagai Kristologi (siapa Yesus dan apa yang Dia lakukan) adalah fondasi bagi soteriologi (bagaimana karya-Nya diterapkan secara menyelamatkan dalam kehidupan kita). Penting digarisbawahi bahwa kekuatan iman tidak terletak pada diri kita sendiri atau bahkan pada iman itu sendiri tetapi pada Kristus dan logika Injil. Bahkan iman yang lemah pun memiliki Kristus yang kuat ini sebagai objeknya.

Betapa sabar dan tenangnya Tuhan kita di sini dalam konteks masalah yang luar biasa besar. Sebegitu rupa kasih-Nya kepada murid-murid-Nya sehingga Dia tampaknya lebih peduli dengan kesusahan mereka daripada dengan kesusahan-Nya sendiri. Inilah alasan mengapa mereka—dan kita bersama mereka—dapat memercayai-Nya secara penuh.

Catatan editor: cuplikan diadaptasi dari Lessons from the Upper Room oleh Sinclair B. Ferguson.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Sinclair B. Ferguson
Sinclair B. Ferguson
Dr. Sinclair B. Ferguson adalah salah satu dewan pengajar Pelayanan Ligonier, vice-chairman Pelayanan Ligonier, dan Chancellor’s Professor of Systematic Theology di Reformed Theological Seminary. Dia adalah pengajar utama untuk beberapa seri pengajaran Ligonier, termasuk Union with Christ. Ia adalah penulis dari banyak buku, termasuk The Whole Christ, Maturity, dan Devoted to God's Church. Dr. Ferguson juga merupakan pembawa acara podcast Things Unseen.