Berkhotbah untuk Membujuk
20 Februari 2024
Mencintai Alkitab
27 Februari 2024
Berkhotbah untuk Membujuk
20 Februari 2024
Mencintai Alkitab
27 Februari 2024

Kesatuan Umat Manusia

Pada tahun 2020, seorang guru sekolah di Nevada memberi tahu murid-muridnya bahwa mereka harus menyatakan berbagai identitas dan karakteristik mereka, yang kemudian dinilai berdasarkan “hak istimewa” atau “penindasan” mereka. Mengidentifikasi diri sebagai orang kulit putih atau Kristen didefinisikan sebagai orang yang menindas. Para siswa diminta untuk “membatalkan dan menanggalkan keyakinan, sikap, dan perilaku” mereka “yang berasal dari penindasan”. Seorang siswa, William Clark, tahu bahwa ada sesuatu yang salah ketika disuruh “menanggalkan” agama Kristen. Namun, ia diancam dengan nilai yang buruk dan tidak lulus jika tidak mematuhinya.

Aktivitas kelas tersebut merupakan salah satu penerapan praktis dari teori ras kritis (critical race theory), yang merupakan salah satu isu yang paling diperdebatkan dalam masyarakat dan gereja saat ini. Atas nama “antirasisme”, banyak anak sekolah didorong untuk melihat segala sesuatu dalam kategori ras. Meminta anak-anak untuk melihat diri mereka sendiri dan orang lain sebagai orang yang bersalah atas hak istimewa atau korban penindasan merupakan tindakan memecah belah secara ekstrem.

Alkitab menyoroti ideologi yang memecah belah ini. Alkitab mengajarkan kesatuan umat manusia (Kej. 1:26; 7:21; 10:32; Mat. 19:4; Kis. 17:26; Rm. 5:12-21; 1 Kor. 15:21-28, 45-49). Kita semua terkait satu sama lain lebih daripada yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Tidak ada identitas mutlak “hitam” atau “putih”. Namun, mengakui kesatuan esensial kita sebagai manusia bukan berarti bahwa keragaman etnis dan budaya tidak dapat dihargai. Allah dimuliakan ketika umat manusia yang beragam berkumpul bersama untuk memuliakan Dia (Why. 5:9).

Dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, ketidakadilan, pelecehan, dan eksploitasi adalah realitas yang buruk (Pkh. 4:1; Rm. 3:9-19). Perasaan bahwa hal ini salah adalah pemberian Allah. Pencipta kita yang adil dan benar telah meletakkan hukum moral-Nya di dalam hati kita (Rm. 1:18-32; 2:14-16). Kerinduan kita akan keadilan memberi kesaksian bahwa kita telah diciptakan menurut gambar-Nya.

Sering kali, orang-orang Kristen berada di garis depan dalam menuntut agar semua orang mendapatkan pendidikan, karena semua orang harus memiliki akses kepada Firman Allah. Keyakinan alkitabiah bahwa setiap manusia harus diperlakukan dengan hormat berada di balik upaya untuk menghapus perbudakan. Kebebasan dan hak-hak yang kita hargai dalam masyarakat yang bebas didasarkan pada keyakinan bahwa semua manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, memiliki martabat yang sama.

Terlepas dari semua ini, banyak orang saat ini menganggap agama Kristen sebagai agama yang menindas. Teori ras kritis ditanamkan melalui pelatihan kepekaan, pelatihan bias bawah sadar, dan program-program keragaman, kesetaraan, dan inklusivitas. Akan tetapi, mencari keadilan berdasarkan perspektif yang menolak Allah hanya akan semakin memperburuk keadaan. Teori ras kritis adalah sebuah cabang dari teori kritis, sebuah aliran pemikiran yang bertujuan untuk menghancurkan semua klaim terhadap kebenaran transenden. Kebencian terhadap kekristenan alkitabiah dari dulu hingga sekarang merupakan bagian dari DNA-nya. Disiplin-disiplin ilmu tradisional (sains, sejarah, dll.) telah berusaha untuk memahami dunia sebagaimana adanya. Akan tetapi, teori kritis berbicara tentang bagaimana mengubah dunia untuk mencapai kesetaraan (yaitu, hasil yang sama dibanding kesempatan yang sama). Teori kritis berbicara tentang menggoyahkan masyarakat dengan membujuk orang untuk melihat semua otoritas sebagai sesuatu yang menindas, semua klaim kebenaran sebagai sesuatu yang mencurigakan, dan semua kata-kata pada akhirnya tidak ada artinya. Teori kritis meyakini bahwa penjelasan universal, aturan moral, agama, dan bahkan aturan hukum, nalar, logika, dan sains hanyalah sarana yang digunakan oleh golongan istimewa untuk melindungi posisi mereka dan membuat mereka yang tertindas tetap tertindas.

Proyek yang destruktif ini dimulai di universitas-universitas, tetapi telah menjangkiti semua institusi penting di Barat. Masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok karena orang-orang diadu satu sama lain dalam perlombaan menjadi korban. Tanggung jawab moral individu dikerdilkan karena kesalahan dilihat dalam aspek kolektif. Hak istimewa dianggap sebagai dosa yang tidak akan pernah bisa dihapuskan. Umat manusia dibagi menjadi kelompok orang yang memiliki akses terhadap pengalaman tertentu dan kelompok lain yang tidak memiliki akses tersebut sehingga tidak dapat memahami pengalaman kelompok lain. Hal ini menyangkal kapasitas kita untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini menutup kemampuan yang diberikan Allah untuk berkomunikasi dan memercayai sesama manusia. Ini adalah pembatasan yang sangat buruk pada interaksi sosial. Ini juga merupakan akibat dari penyangkalan terhadap Allah sebagai sumber kebenaran yang eksternal dan tersedia secara universal.

Alkitab mengajar kita bahwa Allah adalah pemberi kehidupan, bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar-Nya, dan bahwa ketika kita mengabaikan atau merendahkan sesama manusia, kita menghina Pencipta mereka (Ams. 14:31; 17:5). Satu-satunya jaminan yang pasti bagi kebebasan dan martabat manusia adalah kepercayaan akan penciptaan kita oleh Allah. Ide-ide evolusi ada tepat di balik “sains” eugenika yang cacat, yang kemudian berkembang menjadi ide jahat tentang supremasi ras.

Memandang orang terutama berdasarkan kelompok tempat mereka berasal mempersulit kita untuk menghargai mereka sebagaimana mereka adanya. Penghormatan universal yang seharusnya diberikan kepada semua manusia menjadi hilang. Penghormatan yang khusus kepada individu berdasarkan karakter, kebajikan, atau prestasi mereka juga turut hilang. Kebenaran Alkitab tentang penciptaan dan penebusan menunjuk pada kesatuan esensial umat manusia dan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap individu.

Alkitab mengajar kita bahwa kita semua adalah orang berdosa; kita semua bertanggung jawab secara moral; kita semua dapat diampuni. Ketika kita telah mengakui keberdosaan kita sendiri dan mengalami pengampunan Allah, kita dimampukan untuk mengampuni orang lain. Di masa polarisasi dan perpecahan sosial, kemampuan untuk menunjukkan kerendahan hati dan pengampunan adalah sesuatu yang melawan arus dan indah.

Adalah benar untuk mencari keadilan dan menentang rasisme. Namun, perspektif alkitabiah adalah satu-satunya dasar yang kokoh untuk mempertahankan martabat manusia dan keharmonisan masyarakat. Berkompromi dengan sebuah ideologi yang bertujuan untuk menghancurkan klaim kebenaran yang transenden adalah sebuah bencana besar. Kita bersukacita untuk menyatakan bahwa Allah Tritunggal kita adalah dasar dari kebenaran, keadilan, dan moralitas. Dia layak untuk dipuji oleh semua orang di setiap bangsa dan di setiap zaman (Mzm. 72:8-11).


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Sharon James
Sharon James
Dr. Sharon James adalah analis kebijakan sosial untuk Christian Institute di Inggris Raya. Ia menulis di SharonJames.org, dan merupakan penulis sejumlah buku, termasuk Gender Ideology: What Do Christians Need to Know? dan The Lies We Are Told: The Truth We Must Hold.