“Janganlah Menghakimi”
15 Februari 2024
Kesatuan Umat Manusia
22 Februari 2024
“Janganlah Menghakimi”
15 Februari 2024
Kesatuan Umat Manusia
22 Februari 2024

Berkhotbah untuk Membujuk

Para pendeta dipanggil Allah untuk memberitakan Firman Allah. Mereka harus melakukannya secara persuasif, seperti yang dilakukan Paulus dalam Kisah Para Rasul 18:4: “Setiap hari Sabat Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani.” Para pengkhotbah seharusnya bertujuan untuk membujuk para pendengarnya bukan hanya untuk mendengar dan menerima kebenaran Allah, tetapi juga untuk menerapkannya. Sayangnya, seperti yang diamati oleh Michael J. Kruger, persuasi adalah “satu hal yang sangat penting yang hilang dalam sebagian besar khotbah.” Ketika saya menawarkan tiga pemikiran tentang khotbah persuasif ini, tujuan saya adalah untuk mendorong rekan-rekan pendeta untuk berkhotbah dengan lebih persuasif.

KUASA ROH

Khotbah yang persuasif didasari oleh keyakinan akan kuasa Roh Kudus untuk mempertobatkan orang-orang berdosa. Ketika Anda berdiri di belakang mimbarmu setiap hari Minggu, ingatlah bahwa Anda sedang berkhotbah kepada jemaat yang terdiri dari domba dan kambing. Sebuah gereja lokal akan terdiri dari orang-orang percaya dan juga orang-orang yang tidak percaya. Gereja tidak sepenuhnya murni. Baik orang yang tidak percaya maupun orang percaya membutuhkan Injil: yang pertama untuk keselamatan mereka, yang kedua untuk pengudusan mereka.

Berkhotbah kepada orang-orang yang tidak percaya adalah seperti berbicara kepada orang mati. Kita melihat gambaran ini dalam Yehezkiel 37 ketika Allah mengutus nabi-Nya untuk bernubuat kepada tulang-tulang yang kering, yang melambangkan kondisi rohani “seluruh kaum Israel” (ay. 11). Seperti tulang-tulang yang kering ini, umat Israel telah mati secara rohani. Allah memerintahkan Yehezkiel untuk berkata kepada mereka, “Hai tulang-tulang yang kering, dengarlah firman TUHAN!” (ay. 4). Bagaimana Anda dapat membujuk tulang-tulang kering ini untuk mendengarkan Firman Allah di saat mereka sebenarnya sudah mati? Di sinilah Anda harus sepenuhnya yakin akan kuasa supranatural Roh Kudus untuk membuat orang-orang berdosa yang telah mati secara rohani menjadi hidup bersama dengan Kristus (Ef. 2:5).

Oleh karena itu, berkhotbahlah dengan keyakinan penuh akan kemampuan Allah untuk menyelamatkan bahkan orang-orang yang menurut Anda, dari kacamata manusia, tidak mungkin diselamatkan. Dengan keyakinan ini, bujuklah anggota gereja Anda yang sudah percaya untuk tidak menyerah membagikan Injil dan berdoa bagi pertobatan orang-orang yang mereka kasihi dan teman-teman mereka yang belum percaya.

KEDAULATAN ALLAH DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA

Khotbah persuasif merangkul baik kedaulatan Allah maupun tanggung jawab manusia. Memanggil orang-orang yang tidak percaya untuk bertobat dari dosa-dosa mereka dan percaya kepada Kristus mungkin terlihat tidak masuk akal. Lagi pula, jiwa-jiwa yang mati tidak dapat bertobat dan percaya kecuali Allah menghidupkan mereka, sehingga akan lebih masuk akal jika Allah membuka hati mereka kepada Injil terlebih dahulu sebelum kita memanggil mereka untuk bertobat dan beriman. Meskipun hal ini tampak lebih logis bagi kita, ini bukanlah pola yang Alkitabiah. Sebagai contoh, Allah memerintahkan Yehezkiel untuk memberitakan firman-Nya kepada bangsa Israel sebelum Dia melahirbarukan mereka. “Lalu aku bernubuat,” tulis sang nabi, “seperti yang diperintahkan-Nya kepadaku. Napas itu pun masuk ke dalam mereka, sehingga mereka hidup kembali” (37:10). Di sini kita belajar bagaimana Allah biasanya menggunakan pemberitaan Firman-Nya untuk melahirbarukan orang-orang berdosa. Dan meskipun orang-orang yang tidak percaya telah mati secara rohani—dan dengan demikian tidak mampu untuk percaya dalam dan dari diri mereka sendiri—mereka tetap memiliki kewajiban untuk percaya demi keselamatan mereka. Pesan Injil sangat jelas: Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus, dan engkau akan selamat (Kis.16:31). Tidak seorang pun dapat berharap untuk diselamatkan kecuali ia percaya. Bahkan, sama seperti para pendeta diperintahkan untuk mengkhotbahkan Injil, demikian pula orang-orang yang tidak percaya diperintahkan untuk percaya pada Injil.

Dengan demikian, khotbah persuasif tidak ragu-ragu untuk menawarkan Injil dengan cuma-cuma dan mendorong mereka yang belum dilahirkan kembali untuk bertobat dan percaya. Sebaliknya, khotbah yang bersifat hiper-Calvinis akan berargumen bahwa karena orang-orang yang tidak percaya tidak dapat percaya karena mereka telah mati di dalam dosa-dosa mereka, maka mereka tidak memiliki kewajiban untuk percaya kepada Yesus untuk mendapatkan keselamatan. Oleh karena itu, mengajak mereka untuk datang kepada Kristus melalui iman bukan hanya tidak rasional tetapi juga tidak alkitabiah.

Sebaliknya, khotbah persuasif berpegang pada kedaulatan Allah dan juga tanggung jawab manusia—yaitu, jika Allah tidak mengaruniakan iman kepada kita, kita tidak dapat percaya, tetapi kita bertanggung jawab untuk percaya. Roh Kudus adalah pemberi keyakinan kita yang paling utama, tetapi para pengkhotbah dipanggil untuk menjadi pembujuk. Namun, Anda mungkin bertanya, bagaimana khotbah persuasif dapat merekonsiliasi keduanya? Charles Spurgeon membahas masalah ini:

Anda meminta saya untuk merekonsiliasi keduanya. Saya menjawab, keduanya tidak ingin ada rekonsiliasi; saya tidak pernah mencoba merekonsiliasi keduanya bagi diri saya, karena saya tidak pernah melihat adanya ketidaksesuaian. . . . Keduanya benar; tidak ada dua kebenaran yang tidak konsisten satu sama lain; dan yang harus Anda lakukan adalah memercayai keduanya.

KEPALA DAN HATI

Khotbah persuasif menangani baik kepala maupun hati, dengan tujuan mendorong tangan untuk bertindak. Ketika Anda berkhotbah, berusahalah untuk menyampaikan khotbah yang bukan hanya mampu menginformasikan pikiran para pendengar Anda, tetapi juga menyentuh hati mereka dan menggerakkan tangan mereka untuk mempraktikkan apa yang telah dikhotbahkan.

Sayangnya, beberapa pendeta berkhotbah seperti reporter berita atau dosen, yang hanya tertarik untuk menyampaikan pengetahuan. Saya pernah mendengar seorang pendeta berkata, “Panggilan saya sebagai pengkhotbah hanyalah untuk mengajarkan kebenaran Allah. Penerapan kebenaran ini bukanlah pekerjaan saya melainkan pekerjaan Roh Kudus.” Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh Derek W.H. Thomas: “Khotbah adalah pengajaran plus penerapan. Mengatakan bahwa khotbah adalah penerapan merupakan pernyataan yang berlebihan, tetapi jika tidak ada komponen “lalu apa?”, maka itu belum terhitung sebagai khotbah.” Agar seorang pendeta dapat berkhotbah secara persuasif, ia harus mengenal jemaatnya dengan cukup baik untuk menjawab kebutuhan dan pergumulan rohani mereka dengan efektif.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Brian G. Najapfour
Brian G. Najapfour
Pdt. Brian G. Najapfour adalah pendeta dari Heritage Reformed Congregation di Jordan, Ontario. Dia telah melayani sebagai pendeta di Filipina dan Amerika Serikat selama lebih dari dua puluh tahun. Dia adalah penulis beberapa buku, termasuk The Gospel-Driven Tongue dan A Hearer of God's Word.