Tempat-Tempat Pemujaan (High Places)
01 November 2023
TUHAN Semesta Alam
06 November 2023
Tempat-Tempat Pemujaan (High Places)
01 November 2023
TUHAN Semesta Alam
06 November 2023

Garam

Kata “garam” terdapat di sepanjang Alkitab, dan kebanyakan orang dengan cepat mengenali kemampuannya memberi rasa pada makanan yang jika tidak akan terasa hambar. Garam juga dikenal sebagai bahan untuk mengawetkan makanan dan sarana untuk memurnikan. Nabi Elisa memakai garam untuk menyehatkan sebuah mata air dan menghilangkan kecemaran yang ditemukan dalam air tersebut (2 Raj. 2:20-21). Rujukan Yehezkiel tentang praktik membalur bayi yang baru lahir dengan garam mungkin untuk mencegah infeksi (Yeh. 16:4). Di dunia kuno garam sangat mahal, dan orang menggunakannya dengan hemat dan hati-hati. Beragam karakteristik garam sebagai berharga, penguat rasa, pengawet, dan sarana pemurni memainkan banyak peranan dalam perikop-perikop yang menyebutkannya.

Rujukan pertama untuk kata “garam” di dalam Alkitab sebagai bahan untuk membuat sesuatu terdapat di dalam Keluaran 30:35. Para ahli parfum yang meramu dupa mezbah menggabungkan rempah-rempah beraroma manis dengan kemenyan dan menambahkan garam pada campuran tersebut. Karena dupa ini tidak untuk dimakan, fungsi garam di sini bukan untuk menguatkan rasa, namun menggambarkan kemurnian dan pengawetan. Dupa yang naik ke surga dari mezbah melambangkan doa (Mzm. 141:2; Luk. 1:10; Why. 5:8). Garam yang ditambahkan ke dalam ramuan tersebut mengingatkan bangsa Israel bahwa ketika imam membakar dupa ini di atas mezbah, doa-doa mereka murni di hadapan Allah dan tidak dilupakan-Nya. Sebagai orang Kristen, kita berdoa dalam nama Yesus supaya semua kebaikan dan nilai dari penebusan-Nya memurnikan doa-doa kita. Kita juga berdoa dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak akan melupakan apa yang kita doakan (Mzm. 38:10; Why. 8:3-4).

Selain dupa, Musa juga memerintahkan bangsa Israel untuk menggarami kurban sajian mereka. Ia menyebutnya “garam perjanjian Allahmu” (Im. 2:13). Istilah serupa muncul dalam Kitab Bilangan. Persembahan kudus yang dibawa umat Allah kepada-Nya menjadi milik para imam dan keluarganya sebagai sebuah ketetapan untuk selamanya. Ini adalah “perjanjian garam di hadapan TUHAN untuk selama-lamanya” (Bil. 18:19). Ungkapan serupa muncul di dalam 2 Tawarikh 13:5, di mana dinasti yang dijanjikan Allah kepada Daud akan bertahan untuk selamanya “dengan suatu perjanjian garam”. Karena para imam memakan sebagian dari kurban sajian tersebut (Im. 6:16), garam di sini sepertinya berfungsi untuk memberi rasa.

Akan tetapi, apakah yang dimaksud Musa dengan “perjanjian garam”? Beberapa penafsir berspekulasi bahwa garam adalah komponen dari perjamuan perjanjian. Setelah menyepakati ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, pihak-pihak yang mengikat perjanjian akan merayakan kesepakatan itu dengan makan bersama. Karena garam itu mahal, seseorang hanya membagikannya dengan seorang yang dapat dipercayainya untuk menunjukkan bahwa ia menghargai ikatan di antara mereka. Meski garam mungkin merupakan bagian dari perjamuan perjanjian, namun tidak ada bukti langsung dari Alkitab yang mengatakan demikian.

Dalam tiga rujukan “garam perjanjian” atau “perjanjian garam”, kata “garam” menggambarkan atau menjelaskan perjanjian tersebut. Dengan kata lain, perjanjian tersebut adalah sebuah perjanjian yang “digarami” atau sebuah perjanjian yang dicirikan oleh garam. Sekali lagi, karakteristik tentang kemurnian dan pengawetan ditonjolkan di sini. Perjanjian itu autentik dan benar sebab Allah mengikatnya dengan umat-Nya. Perjanjian itu juga kekal. Terawetkan dengan baik, perjanjian garam bertahan untuk selamanya (Bil. 18:19; 2 Taw. 13:5).

Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mendorong murid-murid-Nya untuk memiliki garam di dalam diri mereka (Mrk. 9:50). Nasihat ini muncul di penghujung dari berbagai peringatan-Nya tentang dosa dan godaan, yang berakhir dengan sebuah pengingat serius bahwa hari penghakiman akan tiba di masa depan ketika “setiap orang akan digarami dengan api” (ay. 49). Karena itu, para pengikut Kristus harus memiliki kualitas garam yang baik dan tidak menjadi tawar (ay. 50). Api penghakiman Allah akan menggarami dan memurnikan dunia. Maka, orang-orang percaya seharusnya menjadi pengaruh yang memurnikan di dalam dunia melalui kesaksian hidup mereka yang serupa dengan Kristus. Lagipula, orang-orang percaya adalah garam dunia (Mat. 5:13).

Suatu bagian penting dari pengudusan kita melibatkan perkataan. Kata-kata kita harus penuh kasih dan “jangan hambar” (Kol. 4:6; harafiah: “digarami”). Melalui nasihat ini Paulus menekankan kemampuan garam untuk memberi rasa. Kata-kata yang memiliki rasa menyajikan kebenaran dengan menawan. Kata-kata yang dibumbui dengan garam tidak pernah berkompromi dengan kebenaran karena kata-kata itu mengawetkan dan mencerminkan kemurnian Injil, namun tanpa perlu menjadi kasar, keras, atau menyakitkan.

Garam adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari, tetapi kita mungkin tidak sering memikirkannya. Namun, ketika kita merenungkan firman Allah, kita melihat garam berperan penting dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan menantang kita untuk menjadi orang-orang kudus yang memberi rasa.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Rhett P. Dodson
Rhett P. Dodson
Dr. Rhett P. Dodson adalah pendeta senior di Grace Presbyterian Church di Hudson, Ohio. Ia adalah penulis dari beberapa buku, termasuk Marching to Zion dan With a Mighty Triumph.