Sayap Rajawali
30 Oktober 2023
Garam
03 November 2023

Tempat-Tempat Pemujaan (High Places)

Kata bamah dalam bahasa Ibrani—diterjemahkan sebagai “high place” (TB2: “tempat pemujaan” ; TB: “bukit pengorbanan”)—telah lama membingungkan para ahli bahasa. Dalam bahasa-bahasa Semitis kuno yang lain, kata-kata yang terkait dengannya merujuk kepada “sayap” atau “bagian samping” seekor binatang, dan kadang merujuk kepada daerah pedesaan terbuka di lereng gurung di mana pertempuran biasanya diadakan (baca Mzm. 18:34-35). Namun, Septuaginta—terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani—kadang menerjemahkan kata bamah dengan kata Yunani untuk “puncak gunung”. Ini selaras dengan ayat-ayat yang menggambarkan bamah sebagai sesuatu yang dinaiki (1 Sam. 9:13-14, 19) atau yang berkaitan dengan awan-awan (Yes. 14:14).

Jadi, tidak mengherankan bila bamah diterjemahkan sebagai “high place” (tempat tinggi), meski sebagian besar ahli tidak percaya bahwa yang terutama dimaksudkan para penulis Alkitab adalah perihal ketinggian. Para arkeolog memberi label bamah untuk setiap tempat pemujaan atau tempat ibadah yang ditemukan di kota-kota Israel kuno. Satu contohnya adalah tempat pemujaan  kecil yang ada di dalam benteng Arad di Yudea sebelum dihancurkan, kemungkinan sebagai bagian dari reformasi yang diadakan Hizkia (lihat 2 Raj. 17:9).

Intinya, bangsa Israel membangun tempat pemujaan, kadang di tempat terbuka (1 Raj. 14:23; 2 Raj. 16:4), kadang di kota-kota mereka (1 Raj. 13:32; 2 Raj. 23:5; 2 Taw. 28:25). Namun, apa alasan mereka membangunnya?

Beberapa tempat pemujaan merupakan hasil dari praktik penyembahan berhala dan agama kafir. Bilangan 33:51-52 mengatakan bahwa bangsa Israel harus menghancurkan berbagai implementasi dari agama Kanaan, termasuk tempat-tempat pemujaan mereka. Salomo membangun tempat pemujaan bagi ilah-ilah asing seperti Kamos dan Molokh (1 Raj. 11:7). Raja Manasye yang jahat membangun tempat-tempat pemujaan selama periode penyembahan berhalanya yang menjijikkan (2 Raj. 21:1-5). Karena itu, beberapa tempat pemujaan merupakan buah pahit dari penyelewengan.

Akan tetapi, tempat-tempat pemujaan lain dibangun bangsa Israel untuk Yahweh dengan upaya mempersembahkan ibadah yang berkenan kepada-Nya. 1 Samuel 9:11-27 menceritakan perjumpaan pertama Saul dengan Samuel. Samuel menghadiri jamuan di tempat pemujaan kota tersebut untuk memberkati persembahan korban—seharusnya persembahan bagi Tuhan. Lagi pula tepat pada waktu itu Allah berbicara tentang Saul kepada Samuel, tanpa memberi petunjuk bahwa tempat pemujaan itu adalah sesuatu yang tidak ortodoks (lihat ay. 15-17). 1 Raja-Raja 3:2 bahkan mengatakan bahwa bangsa itu masih mempersembahkan kurban di tempat-tempat pemujaan “sebab rumah untuk nama TUHAN belum didirikan sampai pada waktu itu”, meskipun ayat berikutnya memang menggambarkan bahwa kunjungan Salomo ke tempat-tempat pemujaan tersebut tidak sejalan dengan kasihnya kepada Tuhan. Ketika Hizkia meruntuhkan tempat-tempat pemujaan, rombongan Asyur mencoba memanfaatkan perbuatan itu untuk melawan dia, menuduh Hizkia meruntuhkan tempat-tempat pemujaan yang diperuntukkan bagi Allah yang ia percaya (2 Raj. 18:22; Yes. 36:7).

Kita sebaiknya menafsirkan contoh-contoh terakhir tentang tempat-tempat pemujaan tersebut sebagai tempat-tempat yang ditoleransi Yahweh pada masa-masa itu, meski Ia tidak pernah menghendakinya untuk menjadi tempat ibadah yang sejati atau tempat yang benar-benar kondusif untuk ibadah yang murni. Itu sebabnya bahkan raja-raja Yehuda yang benar dikritik dengan pernyataan “Hanya saja, tempat-tempat pemujaan tidak disingkirkan. Rakyat masih mempersembahkan kurban sembelihan dan membakar dupa di tempat-tempat itu” (misalnya, 1 Raj. 22:44; 2. Raj. 12:3; 14:4; 15:4). Itu juga sebabnya reformasi yang diadakan Hizkia dan Yosia, yang melibatkan meruntuhkan tempat-tempat pemujaan tersebut, merupakan pencapaian puncak dalam sejarah bangsa Israel. Lagipula, Musa telah memperingatkan mereka bahwa penyembahan berhala di tempat-tempat pemujaan pada akhirnya akan menyebabkan mereka dibuang (Im. 26:30).

Kisah tentang tempat-tempat pemujaan di Israel mengingatkan kita akan pentingnya menyembah Allah hanya dengan cara yang Ia telah tetapkan dalam firman-Nya. Usaha-usaha untuk melampaui firman Allah dalam beribadah tidak berakhir dengan baik. Usaha-usaha untuk “meningkatkan” ibadah menurut perasaan, selera, tujuan pragmatis, contoh di masa lalu, popularitas, atau maksud-maksud yang baik sekalipun, tidak berakhir dengan baik. Kisah tentang tempat-tempat pemujaan mengajarkan kita agar puas dengan kehendak Allah yang diwahyukan untuk ibadah, dan mengingatkan kita bahwa Ia tidak akan pernah gagal untuk memberkati kita dengan anugerah dan belas kasihan-Nya bila kita menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:24).


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
R. Andrew Compton
R. Andrew Compton
Dr. R. Andrew Compton adalah asisten professor bidang studi Perjanjian Lama, dan direktur program master of theological studies di Mid-America Reformed Seminary, serta associate pastor di Redeemer United Reformed Church di Dyer, Indiana.