Pengharapan Mesianik Orang Yahudi
12 Maret 2024
Mesias Kita yang Maha Mulia
19 Maret 2024
Pengharapan Mesianik Orang Yahudi
12 Maret 2024
Mesias Kita yang Maha Mulia
19 Maret 2024

Penerimaan terhadap Mesias Yahudi

Bagaimana orang Yahudi menerima atau menolak Yesus pada tahun-tahun awal gereja? Bagaimana reaksi orang Yahudi terhadap penghancuran Bait Suci mereka yang tragis di Yerusalem pada tahun 70 M? Bagaimana peristiwa tersebut membentuk identitas mereka pada dekade-dekade berikutnya?

KEPERCAYAAN ORANG YAHUDI DALAM GEREJA MULA-MULA

Mengabaikan atau memarginalkan kepercayaan orang Yahudi kepada Yesus dalam gereja yang baru lahir adalah kecenderungan yang umum tapi sangat disayangkan. Yesus sendiri, seorang Yahudi dari Nazaret, adalah keturunan suku Yehuda (Mat. 1:1-17; Luk. 3:23-38; Rm. 1:3). Kedua belas murid-Nya juga adalah orang Yahudi. Bahkan pergerakan Yesus selama pelayanan-Nya sangat terfokus untuk menjangkau orang Yahudi. Keempat Injil menggambarkan Yesus memprioritaskan pesan-Nya kepada orang Yahudi. Yesus bahkan mengatakan kepada murid-murid-Nya: “Janganlah menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat. 10:5-6). Kitab Kisah Para Rasul bahkan mencatat keselamatan sisa (remnant) orang Yahudi di Yerusalem dan baru kemudian keselamatan orang non-Yahudi. Rasul Paulus menyatakan bahwa “keselamatan” adalah untuk “pertama-tama orang Yahudi” (Rm. 1:16). Namun, ini tidak berarti bahwa orang non-Yahudi adalah warga kelas dua, karena baik orang Yahudi maupun non-Yahudi membentuk Israel yang sejati dan menggenapi janji-janji pemulihan di akhir zaman dari Perjanjian Lama (lihat, misalnya, Ef. 3:1-13; 1 Ptr. 2:9-11).

KETIDAKPERCAYAAN ORANG YAHUDI PADA ABAD PERTAMA DAN KEDUA

Namun, sejak awal, mayoritas orang Yahudi tetap memusuhi Yesus. “Ia datang kepada milik-Nya, tetapi orang-orang milik-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:11). Kegagalan mereka untuk memercayai-Nya terjadi karena berbagai alasan: pembacaan yang salah terhadap Perjanjian Lama (Luk. 24:25-27; Yoh. 5:38-47); penyembahan berhala, atau penyembahan terhadap tradisi manusia di atas Allah (Mrk. 4:10-12; 7:13; Yoh. 12:37-42); dan penganiayaan yang terus-menerus terhadap para nabi yang benar dari Allah (Mrk. 12:1-12). Karena bangsa Israel memakukan Mesiasnya, Anak Allah yang ilahi, di kayu salib, Allah dengan tegas mencurahkan murka-Nya kepada mereka dalam penghancuran Bait Suci di Yerusalem pada tahun 70 M.

PENGHANCURAN BAIT SUCI

Penghancuran Bait Suci, sebuah peristiwa yang dinubuatkan oleh Yesus (Mrk. 13:24-31), terjadi pada tahun 70 M. Penghancuran Yerusalem dan penghancuran pusat penting Israel tidak terjadi dalam semalam. Pemberontakan Yahudi pertama terjadi pada kurun waktu 66-70 M dan memuncak pada penghancuran Yerusalem. Pada musim gugur tahun 66 M, prokurator Roma, Florus, mengambil emas dari Bait Suci, yang semakin menyulut konflik dengan orang Yahudi. Orang Kristen di Yerusalem kemungkinan melarikan diri ke utara ke Pella, sebuah kota yang berjarak dua puluh mil di selatan Galilea. Selama beberapa tahun berikutnya, hubungan Roma dengan orang Yahudi terus memburuk. Pada musim panas tahun 69 M, Vespasianus menjadi kaisar Roma, dan ia menunjuk putranya, Titus, untuk memimpin pasukan Romawi dalam penyerbuan ke Yerusalem. Setahun kemudian, Titus mendobrak salah satu tembok Yerusalem, dan pada bulan Agustus 70 M, kota Yerusalem jatuh. Tentara Romawi menjarah kota, menajiskan Bait Suci, membunuh ribuan orang Yahudi, dan mendeportasi banyak orang ke Roma.

PEMBENTUKAN YUDAISME RABINIK

Runtuhnya Bait Suci sangat membentuk budaya dan kepemimpinan Yahudi. Sanhedrin, badan penguasa yang kuat di Yerusalem yang mengatur bangsa itu, dengan sendirinya berakhir. Semua kecuali satu dari berbagai faksi Yudaisme—orang Farisi, Saduki, Eseni, Zelot, dan Herodian—tidak ada lagi. Orang Farisi adalah satu-satunya kelompok Yahudi yang tersisa. Teolog David Instone-Brewer merangkum situasi ini dengan baik: “Orang Saduki kehilangan pusat kegiatan mereka [Bait Suci], orang Eseni kehilangan alasan untuk pemberontakan mereka, dan upaya orang Farisi untuk meniru kegiatan Bait Suci di rumah, sinagoge, dan sekolah rumah menjadi satu-satunya cara untuk mengekspresikan ritual Yahudi.” Penghancuran Bait Suci adalah katalisator untuk kembali pada perenungan baru terhadap Alkitab Israel. Tidak seperti para rasul yang memandang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus sebagai pusat dari Alkitab, para penafsir Yahudi ini memandang bangsa Israel sebagai pusatnya.

Menurut beberapa aliran tradisi Yahudi, Rabi Yohanan ben Zakkai, seorang pemimpin aliran Hillel tentang hukum Yahudi, diselundupkan keluar dari Yerusalem dalam sebuah peti mati sebelum kehancuran Yerusalem. Dia kemudian mengunjungi Vespasianus dan meramalkan bahwa dia akan segera menjadi kaisar Roma. Sebagai balasannya, Vespasianus mengizinkannya untuk mendirikan sebuah sekolah di Yavneh atau Jamnia di pantai Mediterania Israel. Di sini, jenis Yudaisme baru akan mulai berkembang. Orang-orang Hillel berkumpul di Yavneh, dan para pengikut rabinik mereka akan menghasilkan literatur dalam jumlah besar.

Literatur rabinik secara garis besar terdiri dari dua genre: halakhik (hukum) dan aggadik (non-hukum). Di dalam materi halakhik, Mishnah dan Tosefta menduduki tempat yang paling penting. Mishnah, yang akhirnya dikompilasi sekitar tahun 200 M, adalah kitab yang lebih awal dari kedua kitab tersebut dan berisi perdebatan dan keputusan hukum Yahudi yang dikategorikan ke dalam enam topik. Setiap topik kemudian dibagi menjadi beberapa traktat, dengan total enam puluh tiga traktat. Tradisi lisan dari Mishnah dapat ditelusuri balik hingga ke awal abad pertama Masehi, dan beberapa perdebatan bahkan muncul di dalam Injil (misalnya, Mat. 19:1-12). Kedua kitab Talmud, Babilonia dan Yerusalem—keduanya disusun sekitar tahun 400-600 M—mengomentari dan menjelaskan enam topik Mishnah. Penjelasan ini, yang disebut gemara, sangat mengacu pada Alkitab dan kisah-kisah pribadi para rabi. Bahan-bahan rabinik lainnya termasuk, antara lain, midrashim dan targumim.

PEMBERONTAKAN ORANG YAHUDI YANG KEDUA

Meskipun para ahli tidak yakin apa yang sebenarnya menyebabkan pemberontakan Bar Kokhba (132-35 M), paling tidak, pemberontakan itu tampaknya dipicu oleh Roma. Simon ben Kosiba (disebut Bar Kokhba atau “putra bintang” oleh para pengagumnya; lihat Bil. 24:17) menggunakan padang gurun Yudea sebagai pangkalan operasinya, dengan memanfaatkan gua-gua dan terowongan-terowongan yang terhubung ke daerah itu. Karena kurangnya catatan sejarah yang detail, kita hanya tahu sedikit tentang pemberontakan itu sendiri. Meskipun tentara Romawi mengalami kerugian besar, mereka akhirnya memusnahkan para pejuang Yahudi tersebut. Bangsa Romawi secara resmi menjadikan Yerusalem menjadi kota Romawi yang dinamai Aelia Capitolina, diambil dari nama kaisarnya, membuat orang Yahudi tidak lagi memiliki tempat untuk disebut sebagai rumah.

KESIMPULAN

Umat Allah dimulai di taman Eden dan terus berlanjut hingga langit dan bumi yang baru. Orang-orang yang percaya kepada Kristus dari etnis Yahudi dan juga non-Yahudi membentuk Israel Allah yang sejati ini. Mayoritas etnis Yahudi menolak Yesus sebagai Anak Allah yang ilahi, yang mengakibatkan lahirnya Yudaisme rabinik, bentuk Yudaisme yang masih ada hingga hari ini. Namun, di dalam komunitas perjanjian yang sejati, Allah selalu memelihara suatu sisa orang Yahudi yang percaya, suatu sisa yang masih ada sampai hari ini (Rm. 9-11). Orang Kristen harus bertekad untuk membagikan kabar baik tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus yang menggantikan kita kepada orang Yahudi yang tidak percaya karena, dalam perkataan Paulus, orang Yahudi “dipercayakan firman Allah” (Rm. 3:2).


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Benjamin L. Gladd
Benjamin L. Gladd
Dr. Benjamin L. Gladd adalah profesor bidang Perjanjian Baru di Reformed Theological Seminary di Jackson, Mississippi. Ia adalah penulis atau penulis bersama dari beberapa buku tentang teologi biblika dan New Testament Use of the Old Testament.