Kasih, Keadilan, dan Murka
13 Desember 2023
Kemahakuasaan
18 Desember 2023
Kasih, Keadilan, dan Murka
13 Desember 2023
Kemahakuasaan
18 Desember 2023

Kemahahadiran

Kemahahadiran Allah merupakan hal mendasar dalam cara kita mengalami Dia. Kemahahadiran adalah cara kita mempersepsikan keberadaan Allah yang tidak terbatas. Tidak terbatas berarti tidak memiliki batasan, dan tidak memiliki batasan berarti “mahahadir” dalam persepsi kita. Kita dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi di dalam keterbatasan itu kita dapat mengetahui kehadiran Allah bersama kita. Keadaan kita berubah, tetapi kita dapat merasakan bahwa Dia selalu dekat. Ini adalah pengajaran dari Mazmur 139:7-10; Yeremia 23:23-24; dan Roma 8:38-39. Tidak ada apa pun di surga atau di bumi yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah, dan di mana kasih-Nya berada, di situ Dia berada. Dalam hal perjalanan sehari-hari kita dengan Allah, kita dapat memahami pentingnya hal ini. Jika Allah tidak hadir dan tidak ada saat kita membutuhkan-Nya, janji-Nya untuk menyelamatkan dan membela kita akan terdengar dangkal dan akan ada sesuatu yang kurang dalam hubungan kita. Bagaimana kita dapat mengandalkan Dia jika kita tidak tahu di mana Dia berada? Benar bahwa beberapa orang Kristen bertanya-tanya di mana Allah di tengah penderitaan, dan banyak yang berbicara tentang “malam gelap bagi jiwa” ketika rasanya Allah begitu jauh dan telah melupakan kita. Ini adalah pengalaman rohani yang nyata, dan kita tidak boleh mengabaikannya atau meremehkan signifikansinya.

Namun, Alkitab mengatakan kepada kita bahwa ketika kita merasa bahwa Allah jauh dari kita, masalahnya ada pada diri kita sendiri dan bukan pada Dia. Kita mungkin telah menutup pikiran kita terhadap-Nya. Dia mungkin tidak lagi berbicara kepada kita, karena alasan-alasan yang hanya Dia ketahui. Kita berjalan dengan iman, bukan dengan penglihatan, dan ada kalanya iman kita diuji sampai batasnya. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa Allah tidak hadir di dalam dan di antara kita. Allah mungkin sedang bekerja secara mendalam dalam hidup kita yang tidak kita sadari. Dia membentuk kita dan mengarahkan kita pada tingkat keberadaan kita yang melampaui pemahaman kita, dan mungkin baru belakangan kita menyadari bahwa Dia telah bekerja di dalam diri kita walau kita tidak menghendakinya. Bahkan Yesus merasa ditinggalkan pada waktu di salib (Mat. 27:46; Mrk. 15:34), tetapi kita tahu bahwa Bapa-Nya ada di sana bersama-Nya, dan bahwa di akhir penderitaan-Nya, Yesus menyerahkan diri-Nya ke dalam pemeliharaan Bapa-Nya yang penuh kasih (Luk. 23:46). Apa yang berlaku bagi kehadiran Allah bersama Dia juga berlaku bagi kehadiran Allah bersama kita, meskipun kita tidak dapat memahaminya pada saat itu.

Bagaimana sebenarnya cara kerja kemahahadiran Allah? Sebagian orang berpikir bahwa Dia hadir dalam segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu dalam cara tertentu adalah bagian dari-Nya. Ini dapat disebut panteisme, yaitu klaim bahwa segala sesuatu itu ilahi, atau lebih halus lagi, panenteisme, yaitu keyakinan bahwa Allah mengisi segala sesuatu tanpa keberadaan tersebut menjadi perpanjangan dari keberadaan-Nya sendiri. Mirip dengan ini adalah keyakinan, yang dipegang oleh beberapa orang, bahwa Allah itu seperti udara, atau sejenis gas, yang menyebar di dunia dan yang kehadirannya dapat dirasakan, bahkan jika hal itu tidak dapat dijelaskan atau ditangkap oleh indera kita.

Masalah mendasar dari pendekatan semacam ini adalah bahwa mereka tidak memahami atau memperhitungkan perbedaan antara keberadaan Allah dan natur dari ciptaan-Nya. Allah tidak menciptakan dunia sebagai perpanjangan dari diri-Nya, dan Dia tidak menyebar di dunia dengan cara tertentu. Sang Pencipta sama sekali berbeda dengan apa pun yang telah Ia ciptakan, dan natur-Nya tidak sama dengan natur ciptaan-Nya. Bahkan ciptaan-ciptaan rohani (malaikat dan setan), yang lebih menyerupai Allah daripada alam semesta material, adalah terbatas, dan sampai sejauh itu cukup berbeda dengan-Nya. Sebagai manusia, kita memiliki hubungan dengan Allah bukan karena penciptaan kita, tetapi karena kita telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26-27), yang membedakan kita dengan semua ciptaan lainnya. Kita terpaksa menggunakan konsep-konsep yang terbatas untuk berbicara tentang Dia karena pikiran kita terbatas, tetapi kita tahu bahwa ketika kita melakukannya, kita berbicara dengan analogi. Dalam batasan kerangka konseptual kita, kita dapat mengatakan bahwa Allah itu seperti ini atau itu, tetapi pada analisis akhir, Dia cukup berbeda—dan secara tidak terbatas lebih unggul—dari apa pun yang dapat kita bayangkan.

Yang lebih bermasalah adalah banyaknya pernyataan dalam Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Lama, yang menyatakan bahwa Allah telah menempatkan nama-Nya di suatu tempat, yang menyiratkan bahwa Dia entah bagaimana hadir di sana dalam derajat yang lebih tinggi daripada di tempat lain. Kita menemukan klaim-klaim ini bukan hanya dalam Pentateuk (Kel. 20:24; Ul. 12:5), tetapi juga dalam Kitab Sejarah (2 Taw. 6:6) dan Kitab Nabi-nabi (Hab. 2:20). Sering kali, klaim-klaim tersebut merujuk kepada Yerusalem, kota di mana Allah menaruh nama-Nya, dan lebih khusus lagi kepada Bait Suci. Habakuk, misalnya, menyatakan dengan cukup jelas bahwa Tuhan ada di dalam bait-Nya yang kudus, dan bahwa seluruh bumi harus berdiam diri di hadapan-Nya.

Bagaimana seharusnya kita memahami hal ini? Yesaya 66:1 mengingatkan kita bahwa Bait Suci tidak dapat menampung Allah, sehingga jika kita berpikir dalam istilah tersebut, hal itu akan bertentangan dengan Habakuk. Penafsirannya pastilah bahwa Allah menetapkan tempat-tempat tertentu, dan terutama Bait Suci, sebagai tempat-tempat di mana kehadiran-Nya yang penuh berkat secara khusus akan berdiam, di mana Dia seharusnya disembah oleh umat-Nya dan di mana Dia akan merespons mereka. Hal ini bukan karena Dia tidak hadir di tempat lain dengan kehadiran yang sama tetapi karena umat-Nya perlu memiliki suatu tempat untuk berkumpul dan memusatkan penyembahan mereka. Hal ini masih berlaku hingga saat ini. Kita berkumpul di gereja bukan karena Allah hadir di sana dan tidak hadir di tempat lain, tetapi karena kita perlu memiliki sebuah tempat yang setiap orang kenali sebagai tempat yang didedikasikan untuk penyembahan kepada Allah. Hal ini demi kebaikan kita dan untuk menjadi saksi bagi orang-orang di sekitar kita bahwa kita melakukan hal ini, bukan karena Allah hadir di satu tempat dan tidak hadir di tempat lain.

Kata-kata yang kita gunakan mencerminkan kemampuan konseptual pikiran kita yang terbatas, bukan realitas dari keberadaan Allah. Dia nampak mahahadir bagi kita dalam dimensi ruang dan waktu karena Dia tidak terbatas dalam diri-Nya yang transenden secara kekal. Kemahahadiran-Nya (seperti yang kita pahami) adalah ekspresi luar dan praktis dari ketidakterbatasan-Nya, yang dirancang supaya masuk akal bagi kita tanpa mengurangi keberadaan Allah yang tak terpahami.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Gerald Bray
Gerald Bray
Dr. Gerald Bray adalah profesor riset di Beeson Divinity School di Birmingham, Alabama. Ia adalah penulis dari beberapa buku, termasuk Augustine on the Christian Life dan The Doctrine of God.