Impasibilitas
11 Desember 2023
Kemahahadiran
15 Desember 2023
Impasibilitas
11 Desember 2023
Kemahahadiran
15 Desember 2023

Kasih, Keadilan, dan Murka

Francis Schaeffer pernah mengajak kami untuk membayangkan berjalan menyusuri jalan dan bertemu dengan seorang preman muda yang sedang memukuli seorang wanita tua. Dia memukulnya berulang kali sementara wanita itu memegang tas yang ingin dirampasnya. Schaeffer bertanya, “Apa artinya mengasihi sesamaku dalam situasi seperti itu?” Tidak diragukan lagi, mengasihi sesama berarti saya menggunakan kekuatan (murka yang benar) yang diperlukan untuk menaklukkan preman (yang jahat) dan menyelamatkan (mengasihi) wanita tua (yang tidak bersalah). Kasih dan keadilan, kebaikan dan kekudusan, anugerah dan murka tidaklah berlawanan, melainkan saling melengkapi, dan pada akhirnya, semuanya saling bergantung. Kasih tanpa keadilan hanyalah sentimentalisme belaka. Keadilan tanpa kasih adalah pembalasan belaka. Akan tetapi, di dalam Allah, “Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman” (Mzm. 85:11). Kasih mencari keadilan bagi mereka yang dikasihi. Keadilan melindungi, membalas, dan membenarkan mereka yang dikasihi. Salib Kristus adalah ekspresi sempurna dari kasih Allah yang menyelamatkan orang-orang berdosa yang tidak layak dan keadilan Allah yang menuntut pembayaran yang adil untuk keselamatan.

SIMPLISITAS ALLAH

Ada keselarasan yang sempurna antara apa yang kita anggap sebagai ketegangan di antara berbagai atribut Allah. Sesungguhnya, tidak ada banyak atribut melainkan hanya ada satu esensi ilahi yang mulia. Para teolog klasik sering kali menempatkan simplisitas ilahi sebagai yang pertama dalam pembahasan mereka tentang atribut-atribut, dengan alasan bahwa pemahaman yang benar tentang simplisitas sangat penting bagi pemahaman yang benar tentang semua atribut. Allah itu simple (sederhana). Ia adalah roh, tidak terbagi, tunggal, tidak terdiri dari bagian. Dia adalah Satu, tanpa tubuh, bagian, atau hasrat. Ketika kita mempelajari atribut-atribut Allah, kita tidak sedang merenungkan bagian-bagian yang berbeda dari Allah. Kita memikirkan setiap atribut secara terpisah karena keterbatasan daya nalar kita. “Tidak ada banyak atribut dalam diri Allah, tetapi hanya satu saja,” kata Lewis Bayly, seorang Puritan, menyuarakan pandangan teisme klasik, “yang tidak lain adalah Esensi Ilahi itu sendiri, apa pun sebutannya.” Atribut-atribut ilahi (attributa devina) Allah tidak dapat dipisahkan dari esensi ilahi-Nya (His essentia Dei).

Mengingat kesatuan esensial dari atribut-atribut ilahi, apa yang dapat kita katakan mengenai hubungan antara apa yang kita anggap sebagai ekspresi yang lebih lembut dan yang lebih keras dari karakter-Nya, antara kasih dan murka, antara belas kasihan dan keadilan? Mungkin akan sangat membantu jika kita menjawab pertanyaan ini dengan berfokus pada kasih, atribut yang menjadi pusat diskusi dan kontroversi. “Allah adalah kasih,” demikianlah Alkitab dan pendapat populer sepakat. Lalu, bagaimana kita memahami keadilan dan murka-Nya?

LEBIH DARI KASIH

Pertama, Allah adalah kasih, tetapi lebih dari kasih. Kasih diperlakukan oleh para teolog yang lebih awal sebagai bagian dari kebaikan. Kebaikan Allah—apa yang disebut oleh Stephen Charnock sebagai “atribut utama”—adalah genus yang spesiesnya adalah kasih, anugerah, belas kasihan, kemurahan hati, dan kesabaran. Metode klasifikasi ini sendiri menyiratkan bahwa “Allah adalah kasih” tidak berarti bahwa Allah adalah kasih dengan mengesampingkan atribut-atribut-Nya yang lain (1 Yoh. 4:8). Rasul Yohanes tidak menulis bahwa “kasih adalah Allah.” Persamaan tersebut tidak dapat dibalik. Alkitab juga mengatakan bahwa Allah adalah “terang” (1 Yoh. 1:5), dan bahwa Allah adalah “api yang menghanguskan” (Ibr. 12:29). Konstruksi tata bahasa yang sama digunakan dalam semua kasus ini. Allah yang adalah kasih juga adalah “setia” dan “adil,” demikian pula Yohanes memberi tahu kita (1 Yoh. 1:9). “Meskipun Allah itu baik secara tak terhingga,” kata J.W. Alexander, seorang Presbiterian dari abad ke-19, “kebaikan yang tak terhingga bukanlah keseluruhan dari Allah.” Kasih Allah adalah kasih yang adil, dan keadilan-Nya adalah keadilan yang penuh kasih. Kita tidak boleh membiarkan satu atribut menguasai dan meniadakan atribut lainnya. Charles Spurgeon mengatakannya seperti ini: “Allah adalah … begitu adil seolah-olah Dia tidak memiliki kasih, tetapi juga begitu intens mengasihi seolah-olah Dia tidak memiliki keadilan.”

MENDEFINISIKAN KASIH

Kedua, Alkitab harus diizinkan untuk mendefinisikan kasih. Tidak jarang, kasih Allah telah dipahami sedemikian rupa sehingga menyangkal kualitas moral Allah. “Saya percaya kepada Allah yang adalah kasih,” seseorang mungkin berkata ketika ia hendak meniadakan hari penghakiman dan memadamkan api neraka. Kategori-kategori moral dibuang semua atas nama kasih. “Allah yang mengasihi tidak akan pernah,” demikian pernyataan yang bermaksud baik ini dimulai, dan kemudian diikuti dengan daftar gaya hidup yang berbeda atau tuntutan moral yang Allah, katanya, tidak akan pernah buat. Dia tidak akan pernah mengecam saya, atau ingin saya tidak bahagia, atau tidak menyetujui perilaku saya, atau mempertanyakan identitas yang saya pilih. Mengapa Dia tidak akan melakukannya? Karena, demikianlah klaimnya, Dia hanya dan selalu menerima semua orang dan semua hal. Allah telah didefinisikan ulang oleh sebuah pemahaman yang tidak jelas tentang kasih, ide-ide yang jauh dari kekudusan dan Kitab Suci itu sendiri. Ketika para Rasul berkata bahwa Allah adalah kasih, yang mereka maksudkan adalah bahwa Ia adalah agap, bukan ers, caritas, bukan amor—kasih yang memberi diri dan berkorban, bukan kasih romantis, bukan kasih erotis, bukan kasih yang hangat dan sentimental, dan bukan kasih yang menerima tanpa syarat. Kasih Allah adalah kasih yang membedakan, mengoreksi, dan benar.

Alkitab mewahyukan Allah yang baik sekaligus adil. Dia “penyayang dan pengasih,” tetapi Dia “sekali-kali tidak membebaskan orang bersalah” (Kel. 34:6-7). “Perhatikanlah kemurahan Allah dan juga tindakan-Nya yang keras,” kata Rasul Paulus (Rm. 11:22, penekanan ditambahkan). Jika Dia tidak adil, Dia tidak akan baik. Jika Dia bermain mata dengan dosa, jika Dia mengabaikan kejahatan, jika Dia menoleransi ketidakadilan, jika Dia membiarkan nasib orang yang tidak bersalah berada dalam tangan orang fasik–tidak diselamatkan, tidak dibalaskan, tidak dibenarkan, dan secara kekal tidak dibedakan dengan orang fasik, berbagi tempat yang sama, akhir yang sama, upah yang sama, dan hukuman yang sama—Allah bukanlah Allah yang baik atau murah hati atau benar atau kudus atau adil. “Kasih-Nya bukan dan tidak mungkin buta dan memanjakan,” kata Ian Hamilton, “sama seperti keadilan dan kekudusan-Nya bukan dan tidak mungkin dingin dan tidak beraturan.” Sekali lagi, kasih membutuhkan keadilan.

CENDERUNG UNTUK MENGASIHI

Ketiga, Allah cenderung untuk mengasihi. Meskipun kita tidak boleh membiarkan kasih menutupi semua atribut Allah yang lain, akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa kasih, dan bersama kasih kebaikan-Nya, secara lebih umum, dalam arti tertentu, lebih “alamiah” bagi Allah dibanding murka-Nya. Dia lebih memilih untuk mengasihi daripada ekspresi-ekspresi karakter-Nya yang lebih keras. Kita melenturkan bahasa di titik ini karena atribut-atribut Allah, seperti yang telah disebutkan, merupakan satu kesatuan yang harmonis. Kasih dan keadilan tidak saling bertentangan dalam natur atau kesadaran Allah. Namun Alkitab mengajarkan bahwa Allah “berkenan” kepada “kasih yang tidak berubah” (NASB) atau “kasih setia” (Ibrani hesed), sementara Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Ia berkenan menunjukkan murka (Mik. 7:18). “Allah lebih cenderung pada belas kasihan daripada murka,” kata Thomas Watson. “Tindakan kekerasan dilakukan-Nya dengan agak terpaksa.” Alkitab mengajarkan bahwa “Tidak dengan rela hati Ia menindas,” tetapi Ia mengasihi dengan sukarela dan antusias (Rat. 3:33; lihat Ul. 7:6-7). Ia “lambat menjadi murka” (LAI: “panjang sabar”) sementara Ia cepat mengampuni dan “berlimpah kasih setia” (Mzm. 103:8; lihat Kel. 34:6). Yesaya menyebut penghakiman Allah sebagai “perbuatan-Nya yang ganjil” (Yes. 28:21) atau apa yang oleh para teolog sebut sebagai opera aliena, tugas-Nya yang asing. Dia adalah seorang hakim yang enggan. Allah lebih cenderung untuk mengasihi—untuk menunjukkan kemurahan, anugerah, dan belas kasihan—daripada menunjukkan kemarahan, murka, dan penghakiman. Ekspresi kasih lebih merupakan pengungkapkan kecenderungan-Nya atau arah natur-Nya, lebih merupakan manifestasi dari preferensi-Nya, daripada ekspresi murka-Nya. Sungguh, kasih Allah, kata seorang Puritan bernama William Gurnall, “membuat semua atribut-atribut-Nya yang lain bekerja.”

Artikulasi kita tentang atribut-atribut Allah harus selalu diungkapkan dengan kerendahan hati. Sebanyak apa pun yang telah kita katakan, selalu ada lebih banyak lagi yang perlu diungkapkan. Yang terbatas tidak dapat mengetahui yang tidak terbatas secara menyeluruh atau tuntas. Namun, kita dapat mengenal Allah dengan benar, dan kita dapat menyatakan di mana Alkitab menyatakan, karena Alkitab menyingkapkan Allah yang adalah kasih sekaligus adil, yang monumennya kita miliki di Kalvari.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Terry L. Johnson
Terry L. Johnson
Pendeta Terry L. Johnson adalah pendeta senior di Independent Presbyterian Church di Savannah, Georgia. Ia adalah penulis buku The Case for Traditional Protestantism dan Reformed Worship.