Manusia Terdiri Dari Tubuh dan Jiwa
18 Januari 2024
Manusia sebagai Pelanggar Perjanjian dan Penyandang Gambar yang Dipulihkan
25 Januari 2024
Manusia Terdiri Dari Tubuh dan Jiwa
18 Januari 2024
Manusia sebagai Pelanggar Perjanjian dan Penyandang Gambar yang Dipulihkan
25 Januari 2024

Manusia dalam Relasi Perjanjian dengan Allah

Sejak Allah menciptakan Adam dan Hawa, mereka berada dalam relasi perjanjian dengan-Nya. Sama seperti ikan hidup di dalam air untuk memenuhi perannya yang diberikan Allah, manusia hidup dalam relasi perjanjian dengan Allah supaya mereka dapat memenuhi peran yang telah Allah berikan kepada mereka. Meskipun kata perjanjian tidak muncul dalam Kejadian 1-3, elemen-elemen dari sebuah perjanjian ada di sana. Sama seperti kata perjanjian tidak muncul dalam ikatan perjanjian Daud dalam 2 Samuel 7, tetapi Mazmur 89 dan 132 menyebutnya sebagai sebuah relasi perjanjian, demikian pula Hosea 6:7 menyebut relasi Allah dengan Adam sebagai sebuah perjanjian. Pengakuan Iman Westminster 7.1 berbicara tentang jarak antara Allah sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya yang begitu jauh sehingga Allah secara sukarela merendahkan diri-Nya untuk masuk ke dalam sebuah relasi perjanjian. Ungkapan ini bukan berarti bahwa tidak ada relasi yang natural antara Sang Pencipta dan ciptaan terlepas dari relasi perjanjian, melainkan bahwa perjanjian diperlukan supaya ada relasi yang bermanfaat antara Allah dan ciptaan-Nya. Tindakan Allah merendahkan diri dengan sukarela mengacu pada kemurahan-Nya dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ciptaan-Nya untuk berkembang. Jadi, meskipun kita berhutang ketaatan kepada-Nya sebagai Pencipta kita, Allah menyediakan sebuah perjanjian sebagai ekspresi yang paling penuh bagi relasi yang penuh berkat dengan-Nya.

Berkat-berkat Allah kepada Adam dan Hawa terlihat jelas dalam Kejadian 1-2. Dia menyediakan segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk memenuhi mandat yang Dia berikan kepada mereka untuk beranak cucu, bertambah banyak, memenuhi bumi, dan menaklukkannya (Kej. 1:28). Dia memberi mereka makanan dan air, tempat yang indah untuk ditinggali, pekerjaan yang bermakna, pendamping dalam pernikahan, dan persekutuan yang rutin dengan-Nya. Dia juga masuk dalam relasi perjanjian dengan mereka yang dapat menuntun pada berkat yang lebih besar.

Beberapa elemen dari perjanjian tersebut tercermin dalam Kejadian 1-3. Allah berinisiatif untuk menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan Adam dan Hawa, dan Dia menetapkan syarat-syarat perjanjian. Dia memberi mereka perintah yang melarang mereka makan dari salah satu pohon di taman, yaitu Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat. Perintah itu disertai dengan hukuman mati jika mereka melanggarnya. Di hadapan mereka juga terdapat Pohon Kehidupan sebagai hadiah untuk ketaatan. Ini adalah elemen-elemen umum dari sebuah relasi perjanjian di mana berkat dijanjikan untuk ketaatan dan kutukan untuk ketidaktaatan. Ini adalah ujian percobaan yang dapat menuntun pada berkat kehidupan yang lebih besar atau hukuman kematian. Adam dan Hawa mampu menaati perintah ini dalam ketaatan kepada Allah. Mereka telah diciptakan dalam keadaan kudus yang positif dan tidak berada di bawah hukum maut, tetapi kemungkinan untuk berbuat dosa tetap ada. Jika mereka lulus dari ujian tersebut, mereka akan diberi upah hidup kekal, yang membuat mereka tidak mungkin berbuat dosa.

Relasi perjanjian didasarkan pada prinsip perwakilan. Adam adalah perwakilan perjanjian sehingga tindakannya memengaruhi orang-orang yang diwakilinya. Kata adam dalam bahasa Ibrani bukan hanya merupakan nama pribadi Adam tetapi juga merupakan nama generik bagi umat manusia (digunakan dalam Kej. 1:26-28). Adam diciptakan pertama (1 Tim. 2:13-14), dan ketika Allah menegur Adam dan Hawa di taman karena dosa mereka, Dia berbicara kepada Adam terlebih dahulu meskipun Hawa yang lebih dulu tidak taat kepada Allah sebelum dia memberikan buah itu kepada suaminya. Adam bertanggung jawab atas ketidaktaatan mereka. Dosanya berdampak pada dirinya sendiri (Kej. 3:7), relasinya dengan Hawa (ay. 16), relasinya dengan Allah (ay. 8), ciptaan (ay. 17-19), anak-anaknya (4:1-11), dan semua orang yang secara natural adalah keturunannya, seperti yang terlihat dalam pengulangan “lalu ia mati” dalam silsilah di Kejadian 5 dan tersebarnya kejahatan di bumi sebelum air bah (Kej. 6:5).

Pengakuan Iman Westminster dan Katekismus menyebut perjanjian dengan Adam sebagai perjanjian kerja (covenant of works) dan perjanjian kehidupan. Orang lain menyebutnya perjanjian penciptaan. Istilah perjanjian penciptaan mengungkapkan isu-isu yang lebih luas yang berkaitan dengan mandat yang Allah berikan kepada manusia dalam Kejadian 1:26-28. Masuknya dosa telah menghambat kemampuan manusia untuk memenuhi mandat tersebut, tetapi mandat itu masih berlaku. Istilah perjanjian kehidupan menekankan berkat kehidupan yang akan menjadi hasil dari ketaatan Adam. Istilah perjanjian kerja menekankan apa yang menjadi inti dari ujian percobaan yang Allah berikan kepada Adam. Meskipun beberapa orang bereaksi negatif terhadap istilah kerja karena istilah ini bersifat legal dan bagi mereka terkesan dingin, kata ini adalah kata yang penting yang mengungkapkan pengharapan utama kita akan keselamatan.

Ketika Adam tidak menaati Allah, perjanjian kerja secara resmi berakhir. Adam dan Hawa dilarang untuk mengambil buah Pohon Kehidupan dan diusir dari taman (3:23-24). Namun, tuntutan dari perjanjian kerja untuk menaati hukum Allah dengan sempurna masih terus berlaku. Jika hukuman atas pelanggaran perjanjian kerja berlaku atas seluruh keturunan Adam, maka demikian pula dengan kewajiban untuk menaati hukum dengan sempurna, yang tidak dapat dilakukan oleh orang-orang berdosa. Tidak akan ada pengharapan akan keselamatan kecuali jika Allah bertindak untuk mengembalikan ciptaan-Nya yang telah jatuh ke dalam dosa kepada diri-Nya.

Allah menunjukkan anugerah penebusan kepada Adam karena dosanya telah membawa kutukan maut ke dalam dunia. Allah membuatkan pakaian dari kulit untuk Adam dan Hawa untuk menggantikan usaha mereka membalut diri mereka sendiri dengan daun ara. Pemeliharaan ini merupakan bayang-bayang bagi perlunya penumpahan darah, sebuah korban pengganti untuk membayar dosa. Allah tidak hanya mengutuk ular tetapi juga berjanji untuk mengutus seseorang dari keturunan perempuan untuk mengalahkan ular. Sampai saat itu, ada permusuhan peperangan antara kedua keturunan tersebut. Rincian mengenai Dia yang akan datang dari keturunan perempuan dikembangkan di sepanjang Perjanjian Lama, menuju kepada kedatangan Kristus, Sang Pengantara kita. Perjanjian anugerah adalah permulaan dari anugerah penebusan Allah, yang ditanggapi oleh Adam dengan iman dengan menamai istrinya Hawa karena ia adalah ibu dari semua yang hidup (3:20). Adam menyatakan imannya kepada janji-janji dan pemeliharaan Allah bahwa kehidupan akan terus berlanjut dan bahwa Allah akan melakukan apa yang telah dijanjikan-Nya.

Dalam perjanjian baru, Yesus Kristus menggenapi semua janji dari perjanjian anugerah yang telah Allah nyatakan dalam perjanjian-perjanjian individual dalam Perjanjian Lama (dengan Nuh, Abraham, Musa, dan Daud), dan Dia juga menggenapi kewajiban perjanjian kerja untuk melaksanakan hukum Allah dengan sempurna. Paulus menunjukkan dalam Roma 5:12-21 bagaimana Kristus menggenapi perjanjian kerja yang telah dilanggar oleh Adam. Adam dan Kristus bukan bertindak hanya bagi diri mereka sendiri melainkan tindakan mereka berimplikasi pada orang-orang yang mereka wakili. Presentasi Paulus tentang Adam dan Kristus sebagai kepala (perjanjian) federal mendukung pandangan bahwa relasi Allah dengan Adam dalam Kejadian 1-3 adalah relasi perjanjian. Ketidaktaatan Adam melanggar perjanjian kerja dan membawa konsekuensi dosa ke dalam ciptaan Allah yang baik, termasuk kematian. Pelanggaran Adam mengakibatkan penghukuman atas semua orang yang secara natural merupakan keturunannya (Rm. 5:18) karena dosanya diperhitungkan kepada mereka. Seperti yang Paulus katakan, oleh ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa (ay. 19). Ketidaktaatan Adam sebagai perwakilan kita memengaruhi kedudukan hukum/legal kita. Dosanya diperhitungkan kepada kita dalam arti bahwa dosa itu dibebankan kepada kita secara legal (yaitu diimputasikan). Akan tetapi, kita juga dihukum karena kita tidak dapat memenuhi kewajiban yang masih berlaku untuk menaati hukum Allah dengan sempurna. Kerja/perbuatan kita sendiri tidak dapat menjadi dasar bagi keselamatan.

Iman dalam kerja/perbuatan kita sendiri akan membawa kita kepada keputusasaan karena kita terus melanggar hukum Allah. Keindahan Injil adalah bahwa Allah telah memberikan Anak-Nya sendiri sebagai Pengantara perjanjian yang telah menggenapi segala kebenaran. Dia telah menaati hukum dengan sempurna, dan berdasarkan ketaatan-Nya, kita dapat dinyatakan benar melalui iman kepada-Nya saja. Paulus menekankan bahwa ini adalah pemberian cuma-cuma yang diberikan oleh anugerah Yesus Kristus (Rm. 5:15) yang menghasilkan pembenaran (Rm. 5:16). Di mana Adam gagal, di situ Kristus telah berhasil. Dosa Adam diimputasikan kepada semua keturunannya yang dilahirkan secara natural; kebenaran Kristus diimputasikan kepada semua orang yang beriman kepada-Nya. Ketika kita merenungkan kerja/karya Juruselamat kita bagi kita dan mengetahui dampak dari ketaatan-Nya bagi pembenaran kita, bagaimana mungkin hati kita tidak dihangatkan oleh keindahan dan kemuliaan dari apa yang telah Kristus lakukan bagi kita? Kita diselamatkan oleh kerja/perbuatan—bukan perbuatan kita sendiri melainkan perbuatan Kristus. Merenungkan kerja/karya Kristus seharusnya memberi kita penghiburan yang besar, baik dalam kehidupan maupun kematian.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Richard P. Belcher Jr.
Richard P. Belcher Jr.
Dr. Richard P. Belcher Jr. adalah Profesor John D. dan Frances M. Gwin bidang Perjanjian Lama dan dekan akademis di Reformed Theological Seminary di Charlotte, North Carolina, serta penatua pengajar di Presbyterian Church in America. Ia adalah penulis dari beberapa buku, termasuk The Fulfillment of the Promises of God: An Explanation of Covenant Theology.