Apa Itu Penatalayanan?
30 Mei 2023
Apakah Iman yang Menyelamatkan Itu?
06 Juni 2023
Apa Itu Penatalayanan?
30 Mei 2023
Apakah Iman yang Menyelamatkan Itu?
06 Juni 2023

Pada Mulanya …

Kalimat pertama di dalam Kitab Suci menetapkan sebuah penegasan yang di atasnya semua hal yang lain dibangun: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Tiga poin mendasar ditegaskan dalam kalimat pertama Alkitab tersebut: (1) Ada sebuah permulaan; (2) Ada Allah; dan (3) Ada penciptaan. Kita mungkin berpikir bahwa jika poin yang pertama telah dibangun dengan tegas, maka dua poin yang lain akan mengikuti sebagai keharusan logis. Dengan kata lain, jika permulaan alam semesta benar-benar ada, maka pastilah ada sesuatu atau seseorang yang bertanggung jawab atas permulaan tersebut: dan jika ada sebuah permulaan, maka pastilah ada semacam penciptaan.

Sebagian besar, meski tidak secara universal, mereka yang menganut paham Sekularisme mengakui bahwa alam semesta memiliki permulaan dalam sejarah. Para pendukung teori Big Bang, misalnya, mengatakan bahwa 15-18 miliar tahun yang lalu, alam semesta bermula sebagai akibat dari suatu ledakan yang mahadahsyat. Namun, jika alam semesta meledak menjadi ada, ledakan itu dari apa? Apakah itu meledak dari ketidakberadaan? Itu pemikiran yang absurd. Adalah sebuah ironi bahwa kebanyakan orang sekuler percaya bahwa alam semesta memiliki permulaan tetapi mereka menolak ide tentang penciptaan dan keberadaan Allah.

Hampir semua orang setuju bahwa ada yang namanya alam semesta. Beberapa orang mungkin menyarankan bahwa alam semesta atau realitas yang eksternal—bahkan kesadaran diri kita—hanyalah sebuah ilusi, tetapi hanya solipsis yang paling keras kepala saja yang mencoba berpendapat bahwa tidak ada yang ada. Seseorang harus ada dahulu sebelum dapat berpendapat bahwa tidak ada yang ada. Dengan kenyataan bahwa sesuatu itu ada, dan alam semesta itu ada, para filsuf dan teolog di sepanjang sejarah telah mengajukan pertanyaan, “Mengapa sesuatu ada dan bukannya tidak ada?” Ini mungkin adalah pertanyaan yang tertua dari semua pertanyaan filosofis. Mereka yang telah berusaha mencari jawabannya menyadari bahwa hanya ada tiga pilihan dasar untuk menjelaskan realitas sebagaimana yang kita jumpai di dalam hidup kita.

Pilihan pertama adalah bahwa alam semesta itu eksis dengan sendirinya dan kekal. Kita telah melihat bahwa sebagian besar orang sekuler percaya bahwa alam semesta memiliki permulaan dan tidak kekal. Pilihan kedua adalah bahwa dunia materi ini eksis dengan sendirinya dan kekal. Ada orang-orang tertentu, baik di masa lalu dan bahkan saat ini, yang mengusulkan pendapat ini. Kedua pilihan ini memiliki satu elemen penting yang sama: keduanya berpendapat bahwa ada sesuatu yang eksis dengan sendirinya dan kekal.

Pilihan ketiga adalah bahwa alam semesta mencipta dirinya sendiri. Mereka yang memegang pilihan ini percaya bahwa alam semesta menjadi ada secara tiba-tiba dan dramatis oleh kekuatannya sendiri, meski para pendukung pandangan ini tidak memakai istilah penciptaan diri sendiri karena mereka memahami bahwa konsep ini adalah sebuah absurditas logis. Agar sesuatu dapat mencipta dirinya sendiri, ia harus menjadi pencipta atas dirinya sendiri, yang berarti bahwa ia harus ada sebelum ia ada, yang berarti ia harus ada dan tidak ada pada waktu yang sama dan dalam hubungan yang sama. Ini melanggar hukum logika yang paling mendasar, yaitu hukum non-kontradiksi. Karena itu, konsep penciptaan diri sendiri itu jelas absurd, kontradiktif, dan tidak rasional. Pandangan demikian adalah sebuah teologi yang buruk, serta filsafat dan sains  yang sama buruknya, sebab baik filsafat maupun sains bersandar pada hukum logika yang ketat.

Salah satu aspek utama dari zaman Pencerahan abad 18 adalah asumsi bahwa “hipotesis Allah” telah menjadi cara yang tidak diperlukan untuk menjelaskan kehadiran alam semesta yang eksternal. Sampai pada masa itu, gereja dihormati di dalam ranah filsafat. Sepanjang Abad Pertengahan, para filsuf tidak dapat membantah keharusan rasional akan penyebab pertama yang kekal. Namun, pada zaman Pencerahan, sains berkembang demikian pesat sehingga penjelasan alternatif dapat dipakai untuk menjelaskan kehadiran alam semesta tanpa harus merujuk kepada penyebab pertama yang transenden, yang eksis dengan sendirinya, yang kekal, atau kepada Allah.

Teori tersebut adalah generasi spontan—ide bahwa dunia muncul menjadi ada dengan sendirinya. Namun, ini tidak ada bedanya dengan istilah “penciptaan diri sendiri” yang merupakan bahasa yang kontradiktif dengan diri sendiri. Maka, ketika teori “generasi spontan” tereduksi menjadi pemikiran yang absurd dalam dunia sains, konsep-konsep alternatif bermunculan. Sebuah esai yang ditulis oleh fisikawan pemenang Hadiah Nobel mengakui bahwa meski generasi spontan adalah sebuah kemustahilan filosofis, namun tidak demikian halnya dengan teori generasi spontan secara bertahap. Ia mengusulkan sebuah teori bahwa bila diberi waktu yang cukup, ketiadaan entah bagaimana akan menghasilkan kekuatan untuk membuat sesuatu menjadi ada.

Istilah yang biasanya dipakai untuk menggantikan “penciptaan diri sendiri” adalah “penciptaan secara peluang”. Di sini memunculkan sebuah kekeliruan logis lainnya, yaitu “kekeliruan penyamaan”. Kekeliruan penyamaan terjadi ketika, kadang secara halus, kata-kata kunci dalam sebuah argumentasi berubah maknanya. Ini terjadi pada kata “peluang” (chance). Kata ini berguna dalam penyelidikan sains karena menggambarkan kemungkinan matematis. Jika ada lima puluh ribu lalat dalam sebuah ruangan tertutup, maka peluang statistik dapat dipakai untuk menunjukkan kemungkinan jumlah tertentu lalat ada dalam satu inci persegi yang mana pun dalam ruangan itu pada waktu apa pun. Jadi, dalam usaha memprediksi hal-hal tertentu secara sains, membuat rumus yang rumit tentang kemungkinan quotient adalah sebuah pekerjaan yang penting dan sah.

Akan tetapi, memakai istilah “peluang” untuk menjelaskan kemungkinan matematis adalah satu hal, mengalihkan istilah yang sama untuk merujuk kepada sesuatu yang memiliki kekuatan mencipta yang aktual adalah hal yang sama sekali berbeda. Agar sebuah “peluang” (chance) bisa menghasilkan apa pun di dunia, peluang itu harus merupakan benda yang memiliki kekuatan, namun peluang bukanlah sebuah benda. Peluang hanyalah sebuah konsep pikiran yang menggambarkan kemungkinan matematis. Karena peluang tidak memiliki keberadaan, maka tidak memiliki kekuatan. Maka, mengatakan bahwa alam semesta menjadi ada oleh peluang —bahwa peluang itu memakai kekuatannya untuk membuat alam semesta menjadi ada—ini hanya membawa kita kembali kepada ide penciptaan diri sendiri, sebab peluang itu tidak memiliki keberadaan.

Jika kita dapat menghilangkan pemikiran tersebut—dan logika menuntut kita untuk melakukannya—maka yang tersisa hanyalah salah satu dari dua pilihan pertama: yaitu bahwa alam semesta eksis dengan sendirinya dan kekal atau bahwa dunia materi eksis dengan sendirinya dan kekal. Kedua pilihan ini, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, sama-sama setuju bahwa jika sesuatu ada saat ini, maka sesuatu itu di suatu tempat haruslah eksis dengan sendirinya. Jika tidak demikian, maka tidak ada yang ada saat ini. Sebuah hukum sains yang mutlak berbunyi ex nihilo nihil fit, yang berarti “keluar dari yang tidak ada, tidak ada yang ada”. Jika yang kita miliki adalah ketiadaan, maka itulah yang akan pernah kita miliki, sebab ketiadaan tidak dapat menghasilkan sesuatu. Jika ada masa ketika sama sekali tidak ada apa-apa, maka kita bisa yakin secara mutlak bahwa hari ini, saat ini, tetap tidak ada apa-apa secara mutlak. Sesuatu haruslah eksis dengan sendirinya, sesuatu harus memiliki kuasa keberadaan di dalam dirinya, jika ada sesuatu apa pun yang eksis.

Kedua pilihan ini memunculkan banyak persoalan. Sebagaimana yang telah kita lihat, hampir semua orang setuju bahwa alam semesta tidak eksis secara kekal. Jadi, pilihan yang pertama tidak dapat dipertahankan. Begitu pula, karena hampir segala sesuatu yang kita amati di dunia materi ini menunjukkan kontinjensi dan mutasi, para filsuf enggan mengatakan bahwa dalam aspek ini, alam semesta ini eksis dengan sendirinya dan kekal, sebab apa yang eksis dengan sendirinya dan kekal tidak dapat bermutasi atau berubah. Jadi, sebuah argumen diajukan bahwa di suatu tempat di dasar alam semesta terdapat sebuah inti atau suplai daya, yang tersembunyi dan berdenyut, yang eksis dengan sendirinya dan kekal, dan segala sesuatu di alam semesta memiliki keberadaan karenanya. Pada titik ini, para penganut materialisme berpendapat bahwa tidak dibutuhkan Allah yang transenden untuk menjelaskan keberadaan dunia materi sebab inti keberadaan yang kekal dan berdenyut itu dapat ditemukan di alam semesta, bukan di luarnya, di dalam great beyond.

Inilah titik terjadinya kesalahan linguistik. Ketika Alkitab mengatakan bahwa Allah itu transenden, itu tidak menjelaskan lokasi Allah. Alkitab tidak mengatakan bahwa Allah tinggal di suatu tempat “di atas sana” atau “di luar sana”. Ketika kita mengatakan bahwa Allah di atas dan melampaui (beyond) alam semesta, kita mengatakan bahwa Ia di atas dan melampaui alam semesta dalam arti keberadaan-Nya. Ia transenden secara ontologis. Apa pun yang memiliki kuasa keberadaan di dalam dirinya sendiri, dan eksis dengan sendirinya, harus dibedakan dari semua yang lain yang berasal dari sesuatu dan tidak mandiri. Jadi, jika ada sesuatu yang eksis dengan sendirinya di pusat alam semesta, maka secara hakikatnya itu melampaui semua yang lain. Kita tidak peduli di mana Allah tinggal. Kita peduli akan hakikat-Nya, keberadaan-Nya yang kekal, dan kebergantungan segala sesuatu lainnya di alam semesta pada-Nya.

Pandangan klasik agama Kristen tentang penciptaan adalah bahwa Allah menciptakan dunia ini secara ex nihilo, yaitu “keluar dari yang tidak ada”. Ini seolah-olah bertentangan dengan hukum mutlak ex nihilo nihil fit, yaitu “keluar dari yang tidak ada, tidak ada yang ada”. Ada orang yang menentang pandangan penciptaan secara ex nihilo persis atas dasar itu. Namun, ketika para teolog Kristen berkata bahwa Allah menciptakan dunia secara ex nihilo, itu tidak sama dengan mengatakan bahwa suatu waktu tidak ada apa-apa dan kemudian, keluar dari yang tidak ada apa-apa itu, muncullah sesuatu. Pandangan orang Kristen adalah, “Pada mulanya, Allah …” Allah bukanlah ketiadaan. Allah adalah sesuatu. Allah eksis dengan sendiri-Nya dan kekal dalam keberadaan-Nya. Hanya Ia yang mampu menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada. Allah dapat memanggil dunia menjadi ada. Inilah kuasa penciptaan dalam artinya yang mutlak, dan hanya Allah yang memilikinya. Ia saja yang mampu menciptakan materi, bukan sekadar membentuknya dari materi yang sudah ada sebelumnya.

Seorang artis dapat mengambil sebongkah batu marmer dan membentuknya menjadi patung yang indah, atau mengambil selembar kanvas polos dan mengubahnya menjadi pola yang indah dengan menebar zat-zat warna di atasnya. Namun, bukan begitu cara Allah menciptakan alam semesta. Allah memanggil dunia menjadi ada, dan penciptaan yang dilakukan-Nya bersifat mutlak, dalam arti Ia tidak sekadar membentuk ulang benda-benda yang sudah ada. Alkitab hanya memberi gambaran paling singkat tentang bagaimana Ia melakukannya. Kita menemukan di dalamnya “perintah ilahi” atau “keputusan ilahi”, di mana Allah menciptakan dengan kuasa dan otoritas perintah-Nya. Allah berfirman, “Jadilah …”, maka itu pun terjadi. Inilah perintah ilahi. Tidak ada yang dapat menolak perintah Allah, yang menyebabkan dunia dan segala isinya menjadi ada.

Cuplikan ini diambil dari Everyone’s A Theologian oleh R.C. Sproul.


Artikel ini awalnya diterbitkan dalam Blog Pelayanan Ligonier.
R.C. Sproul
R.C. Sproul
Dr. R.C. Sproul mendedikasikan hidupnya untuk menolong orang bertumbuh dalam pengenalan mereka akan Allah dan kekudusan-Nya. Sepanjang pelayanannya, Dr. R.C. Sproul membuat teologi dapat diakses dengan menerapkan kebenaran mendalam dari iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Ia terus dikenal di seluruh dunia untuk pembelaannya yang jelas terhadap ineransi Alkitab dan kebutuhan umat Allah untuk berdiri dengan keyakinan atas Firman-Nya.