Apakah Allah Menghukum Kita karena Dosa Orang Tua Kita?
20 Juli 2023
Apakah TULIP Itu?
27 Juli 2023
Apakah Allah Menghukum Kita karena Dosa Orang Tua Kita?
20 Juli 2023
Apakah TULIP Itu?
27 Juli 2023

Konteks-Konteks yang Penting untuk Memahami Teologi Reformed

Sebagian besar orang Kristen memahami pentingnya konteks dalam menafsirkan Alkitab secara tepat. Kita menyadari bahwa kitab-kitab yang ada di dalam Alkitab ditulis ribuan tahun yang lalu dalam budaya-budaya yang sangat berbeda dari budaya kita, dan dalam bahasa yang bukan bahasa ibu kita. Hal-hal yang merupakan kenyataan hidup sehari-hari bagi para penulis Alkitab, dan pendengar pertamanya, adalah sesuatu yang harus kita pelajari dan selidiki. Kita tahu bahwa jika kita mempelajari Perjanjian Lama, kita harus belajar bahasa Ibrani dan Aram—atau percaya saja kepada para penerjemah yang telah mempelajari bahasa-bahasa tersebut. Kita harus mempelajari sejarah, geografi, budaya, dan praktik-praktik Timur Dekat Kuno untuk memahami apa yang dikatakan oleh para penulis Alkitab. Jika kita mempelajari Perjanjian Baru, kita harus belajar bahasa Yunani. Kita harus mempelajari dunia abad pertama di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Semua hal ini adalah bagian dari hakikat penafsiran gramatikal-historis.

Konteks juga adalah hal yang penting jika kita ingin secara tepat memahami teologi Reformed. Teologi Reformed adalah buah dari Reformasi Protestan abad 16, dan reformasi tersebut terjadi dalam konteks sejarah dan budaya tertentu. Para penulis pada zaman itu menulis dalam konteks filosofis dan teologis tertentu. Memahami beragam konteks ini adalah hal yang penting untuk memahami teologi Reformed. Saya akan menjelaskan secara singkat tiga konteks yang saya maksud: konteks historis, filosofis, dan teologis.

Konteks Historis

Reformasi Protestan tidak terjadi pada suatu sore karena sekelompok biarawan Katolik Roma merasa bosan dan memutuskan menyelenggarakan sebuah pesta yang kemudian menjadi tidak terkendali. Reformasi adalah puncak dari berbagai peristiwa historis yang dimulai sejak beberapa abad sebelumnya. Pertikaian antara gereja dengan berbagai entitas politik (kekaisaran maupun yang lebih lokal), selain berbagai pertikaian di antara entitas-entitas politik itu sendiri, memainkan perannya. Pertikaian di dalam internal gereja, yang dipicu oleh kemerosotan moral dan berbagai usaha mereformasi, juga berperan. Perubahan budaya, termasuk perubahan ekonomi dan teknologi, juga berperan.

Kita dapat melihat kaitan langsung konteks historis ketika, misalnya, kita membaca tulisan Martin Luther yang berjudul To the Christian Nobility of the German Nation atau Babylonian Captivity of the Church—dua tulisan Protestan yang terpenting pada masa awal Reformasi. Kita dapat melihat relevansinya ketika membaca tulisan John Calvin, Prefatory Address to King Francis I of France, pada permulaan buku Institutes yang ditulisnya. Bagian Prakata tersebut adalah konteks yang penting untuk memahami seluruh isi buku Institutes.

Selain itu, banyak konfesi Reformed membahas isu-isu yang memperkirakan kondisi historis tertentu, atau untuk menanggapi kondisi historis yang tertentu. Contoh yang paling jelas dari dampak konteks historis terhadap isi teologi Reformed dapat dilihat pada perbedaan antara Pengakuan Iman Westminster yang asli dengan versi revisi Amerikanya menyangkut topik pemerintahan sipil dan hubungan antara gereja dan negara. Kita harus mengerti bahwa konteks historis itu penting untuk memahami teologi Reformed. Jika seorang percaya ingin memahami teologi Reformed dengan lebih baik, ia harus meluangkan waktu untuk mempelajari sejarah abad 14 dan 15—periode dua ratus tahun persis sebelum Reformasi—lalu mempelajari sejarah abad 16 dan 17 itu sendiri. Teologi tidak hadir dalam vakum historis.

Konteks Filosofis

Untuk memahami pentingnya konteks filosofis teologi Reformed, kita harus mengingat bingkai waktu sejarah Reformasi. Reformasi Protestan mulai pada awal abad 16 dengan karya Martin Luther. Edisi Latin pertama buku Institutes karya John Calvin diterbitkan pada tahun 1536, dan edisi Latin terakhir pada tahun 1559. Tulisan-tulisan utama dari para teolog Reformed seperti Zwingli, Musculus, Vermigli, Bullinger, Beza, Zanchius, dan Ursinus diterbitkan pada abad 16. Semua karya para teolog skolastis Reformed dalam periode Ortodoksi Awal, dan sebagian besar karya yang terbit dalam periode Ortodoksi Tinggi, diterbitkan sebelum akhir abad 17. Ini mencakup karya para teolog Reformed seperti Polanus, Ames, Wollebius, Maccovius, Witsius, Turretin, dan Mastricht.

Presuposisi filosofis kita memengaruhi pemahaman kita akan prinsip-prinsip realitas dan pengetahuan yang paling mendasar.

Semua konfesi dan katekismus utama Reformed juga terbit dalam periode dua abad tersebut. Sebagai contoh, Konfesi Tetrapolitan (1530), Konfesi Helvetia Pertama (1536), Konfesi Perancis (1559), Konfesi Skotlandia (1560), Konfesi Belgia (1561), Katekismus Heidelberg (1563), Konfesi Helvetia Kedua (1566), Kanon Dordt (1618-19), Pengakuan Iman Westminster (1646), Katekismus Besar Westminster (1647), dan Katekismus Kecil Westminster (1647); semua ditulis pada abad 16 sampai paruh pertama abad 17.

Kenyataan ini penting sebab itu berarti karya-karya teologis yang agung dari para teolog Reformed klasik, dan konfesi-konfesi Reformed yang mereka hasilkan, semuanya terbit pada hari-hari terakhir dari konteks filosofis Pra-Pencerahan. Dengan kata lain, para teolog ini menulis sebelum “peralihan ke subjek” (turn to the subject) dalam Pencerahan. Ingat bahwa yang disebut bapak filsafat modern, René Descartes, lahir pada tahun 1596, yaitu penghujung abad 16. Karya filsafatnya yang terpenting belum ditulis sampai akhir dekade 1630-an dan awal 1640-an, sudah jauh masuk ke abad 17. Dan, perlu banyak waktu hingga pengaruh buku-buku tersebut terasa di universitas-universitas dan di antara para teolog.

Bukan berarti konteks filosofis Pra-Pencerahan adalah monolitik. Bukan pula berarti tidak ada filsafat pendahulu sebelum menjadi filsafat modern. Sebagai contoh, ada hal dari filsafat nominalisme maupun skeptisisme Yunani kuno yang ditemukan ulang dalam masa Renaisans. Artinya, presuposisi-presuposisi filosofis teologi Reformed klasik memiliki lebih banyak kesamaan dengan presuposisi-presuposisi filosofis umum para teolog Abad Pertengahan daripada presuposisi apa pun dalam era pasca-Kartesian. Secara umum, para teolog itu berkarya dalam konteks yang tidak mempertanyakan keberadaan dunia eksternal yang terpisah dari pikiran manusia atau dari kemampuan kita untuk memiliki pengetahuan sejati tentang dunia melalui pancaindra dan kemampuan akal budi kita yang diberikan Allah. Lebih lagi, mereka bekerja dalam sebuah konteks filosofis yang, dengan beberapa pengecualian (seperti nominalisme), mengakui bahwa benda-benda memiliki hakikat yang nyata.

Konteks filosofis umum teologi Reformed ini secara perlahan menghilang ketika pandangan-pandangan Pencerahan akhirnya mengalir ke bawah dan mulai memengaruhi pemikiran para teolog. Ini membuat bencana bagi teologi Reformed. Sebagaimana dijelaskan oleh Richard Muller–yang memakai frasa “Aristotelianisme Kristen” untuk menggambarkan filsafat Pra-Pencerahan:

Maka, kemerosotan dari ortodoksi Protestan ini bersamaan dengan kemerosotan fenomena intelektual dari metode skolastik dan Aristotelianisme Kristen yang saling terkait. Pada akhirnya, filsafat rasionalis tidak dapat menjadi dayang-dayang yang sesuai, dan sebaliknya menuntut agar filsafat, bukan teologi, yang menjadi ratu ilmu pengetahuan. Tanpa struktur filosofis yang melengkapi doktrinnya, dan yang sejalan dengan metode skolastisnya, ortodoksi Protestan berakhir. 1

Dengan kata lain, jika kita ingin tahu mengapa begitu banyak teolog raksasa Reformed pada abad 16 dan 17, dan relatif lebih sedikit setelahnya, ini terutama berkaitan dengan teolog-teolog berikutnya mengadopsi berbagai bentuk filsafat Pencerahan, dan menolak konteks filosofis Pra-Pencerahan. Ketika teologi Reformed diadaptasi ke dalam presuposisi-presuposisi filosofis Pencerahan, teologi itu menjadi layu dan mati.

Presuposisi-presuposisi filosofis kita memengaruhi pemahaman kita akan prinsip-prinsip realitas dan pengetahuan yang paling dasar. Kebanyakan pembaca teologi Reformed hari ini tanpa sadar dibesarkan dengan menyerap prinsip-prinsip filosofis Pasca-Pencerahan karena itu adalah udara intelektual yang kita hirup. Ini dengan mudah membawa kita kepada kesalahpahaman atas doktrin-doktrin Reformed tradisional jika kita membaca doktrin-doktrin tersebut melalui lensa pasca-Pencerahan. Lebih parah lagi, banyak teolog Reformed kontemporer, secara sadar atau tidak sadar, mengadopsi satu atau bentuk lain dari filsafat pasca-Pencerahan. Filsafat pasca-Pencerahan ini berdampak sangat besar terhadap pemahaman kita akan Allah, manusia, dosa, dan semuanya.

Ketika seorang teolog Reformed kontemporer, yang telah mengadopsi satu atau bentuk lain dari filsafat pasca-Pencerahan, juga meyakini sebuah konfesi Reformed—yang semuanya ditulis oleh para teolog yang berpikir dalam konteks filosofis pra-Pencerahan—konflik internal tidak terelakkan. Godaan untuk secara radikal merevisi atau menolak ajaran konfesi tersebut akan selalu ada. Revisi dan penolakan yang sedemikian radikal terhadap doktrin-doktrin Reformed dalam konfesi tersebut sudah mulai muncul. Kita melihatnya paling jelas dalam tulisan-tulisan para teolog Reformed kontemporer, yang menolak doktrin tentang Allah yang diajarkan dalam konfesi-konfesi Reformed (misalnya, Pengakuan Iman Westminster, pasal 2).

Konteks Teologis

Jika seseorang ingin mempelajari teologi yang terkandung dalam Kanon Dordt, kita umumnya menyadari bahwa kita harus lebih dahulu memahami kontroversial Arminian dan teologi Remonstran, sebab Kanon Dordt ditulis untuk menanggapi doktrin-doktrin tertentu dari Arminian Remonstran. Prinsip yang sama berlaku pada teologi Reformed klasik secara umum. Teologi Reformed ditulis untuk menanggapi dan membentuk ulang (re-forming) sesuatu yang telah ada, yaitu teologi Katolik Roma pada akhir Abad Pertengahan.

Asumsi konteks teologis ini dapat dilihat di keseluruhan tulisan-tulisan para teolog Reformed awal dan keseluruhan konfesi-konfesi Reformed. Berulang kali kita melihat para teolog Reformed dan konfesi-konfesi Reformed menanggapi berbagai doktrin dan praktik tertentu Katolik Roma. Terkadang mereka mengoreksi doktrin dan praktik-praktik tersebut; terkadang mereka menolaknya sama sekali. Kecuali kita memiliki sebagian pemahaman akan doktrin dan praktik-praktik Katolik Roma tersebut, kita akan sulit memahami apa yang dimaksudkan oleh para teolog dan konfesi-konfesi Reformed kita tersebut.

Para teolog Reformed abad 16 dan 17 memahami teologi Katolik pada akhir Abad Pertengahan dan mereka mungkin menganggap sebagian besar pembaca mereka—para teolog dan pendeta yang lain—juga cukup memahaminya. Banyak, kalau tidak sebagian besar, pembaca kontemporer teologi Reformed tidak memiliki pengetahuan dasar akan doktrin dan praktik Katolik Roma seperti yang dimiliki oleh para teolog dan pembaca Reformed awal. Mereka tidak memiliki pemahaman yang sama akan sistem gereja-keimaman-keselamatan yang memayungi teologi Katolik Roma. Mereka mungkin mendengar hal-hal seperti pembenaran atau hubungan antara Alkitab dan tradisi secara sepotong-sepotong dan secara terpisah, tetapi sebagian besar dari mereka tidak memahami hakikat dari keseluruhan sistem teologi Katolik Roma yang mencakup segalanya, dan bagaimana setiap potongannya saling terkait satu sama lain.

Hal ini menyebabkan para pembaca kontemporer teologi Reformed berada dalam posisi yang mirip dengan para pembaca Kanon Dordt, yang tidak memahami teologi Arminian yang ditanggapi oleh Kanon tersebut. Kita dapat memahami sebagian dari teologi Reformed tanpa pengetahuan tersebut, tetapi tanpa konteks teologis tersebut, pemahaman yang terbatas itu mudah berubah menjadi kesalahpahaman. Sebagai contoh, berapa banyak orang Kristen Reformed yang memahami betapa pentingnya pemahaman Roma atas keadaan Adam sebelum jatuh ke dalam dosa, dan kaitan antara hakikat manusia dan anugerah pada waktu itu bagi pemahaman Roma atas dosa, anugerah, dan pembenaran? Pengetahuan ini adalah konteks yang penting untuk memahami teologi Reformed mengenai dosa, anugerah, dan pembenaran.

Kesimpulan

Teologi Reformed klasik tidak jatuh dari langit begitu saja tanpa konteks. Teologi itu dikembangkan dalam sejarah manusia yang nyata dengan konteks historis, budaya, politik, filosofis, dan teologis yang terjadi. Kita terpisah sejauh lima ratus tahun dari konteks-konteks tersebut. Konteks historis, filosofis, dan teologis abad 21 kita sangat berbeda dari konteks abad 16 dan 17. Jika kita tidak menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan, mudah bagi kita untuk memasukkan konteks kontemporer kita ke dalam tulisan-tulisan dari abad-abad tersebut. Jika kita menyadari perbedaan-perbedaan tersebut, tetapi tetap tidak mengetahui konteks abad 16 dan 17, kita bisa dengan mudah kehilangan pengajaran utama dari beberapa ajaran mereka. Singkatnya, usaha yang sama yang kita kerahkan untuk mempelajari konteks tulisan Alkitab seharusnya juga dikerahkan untuk mempelajari konteks teologi Reformed klasik.

1. Richard Muller, Post-Reformation Reformed Dogmatics, Vol. 1 (Ada, Michigan: Baker Pub Group, 1987), 84.


Artikel ini awalnya diterbitkan dalam Blog Pelayanan Ligonier.
Keith A. Mathison
Keith A. Mathison
Dr. Keith A. Mathison adalah profesor teologi sistematika di Reformation Bible College di Sanford, Florida. Ia adalah penulis dari banyak buku, termasuk The Lord’s Supper: Answers to Common Questions.