Hadiah Terbesar
05 Januari 2024
Simul Justus et Peccator (Orang Benar Sekaligus Orang Berdosa)
11 Januari 2024
Hadiah Terbesar
05 Januari 2024
Simul Justus et Peccator (Orang Benar Sekaligus Orang Berdosa)
11 Januari 2024

Apakah Karunia-Karunia Pewahyuan Telah Berakhir?

Apakah masih ada karunia-karunia pewahyuan dari Roh Kudus pada masa kini? Dengan kata lain, apakah Allah masih memberikan kepada orang-orang tertentu kemampuan unik untuk bernubuat dan berbahasa lidah untuk memberikan wahyu yang baru?

Terhadap pertanyaan apakah karunia-karunia tanda pewahyuan berhenti dengan berakhirnya zaman Kerasulan, jawabannya secara alkitabiah, teologis, dan historis adalah ya.

Secara alkitabiah, Ibrani 1:1-2 menekankan finalitas wahyu dalam Yesus Kristus sebagai kelanjutan dari pelayanan para nabi dan sebagai yang dicatat dalam Perjanjian Baru oleh para Rasul. Isu nubuat dan hubungannya dengan Alkitab merupakan hal mendasar bagi orang Kristen. Ada konteks perjanjian dari wahyu dan nubuat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang harus membentuk bagaimana kita memandang pertanyaan ini. Sepanjang Alkitab, nubuat dikaitkan dengan pelayanan publik dan akuntabel terhadap Firman Allah.

Secara teologis, bahwa Anak adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya” (Ibr. 1:3) tidak meninggalkan keraguan bahwa puncak nubuat berakhir pada pribadi dan karya Kristus. Tidak ada lagi nubuat yang lebih besar untuk ditambahkan, tidak ada lagi wahyu khusus tambahan, sesuai peringatan dalam Wahyu 22:18-19. Yesus Kristus berkata menjelang akhir pelayanan-Nya di bumi bahwa Roh Kudus adalah Penolong “yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku,” yang “akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26). Di sini kita melihat bahwa karya Roh Kudus di antara umat Allah adalah dengan menerapkan manfaat dari karya Kristus yang telah selesai bagi kita di dalam pemahaman dan kehidupan kita. Karya Roh Kudus di antara umat Allah melibatkan melahirbarukan dan memanggil mereka dalam respons terhadap Injil melalui iman kepada Kristus, sebanyak yang telah diberikan oleh Bapa kepada Anak. Di dalam diri masing-masing orang percaya, dari karya Roh Kudus yang melahirbarukan ini, timbul penghiburan dan keberanian dari kesaksian dalam diri bahwa Firman Allah itu benar, bahwa karya Kristus adalah demi mereka, dan bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan mereka atau meninggalkan janji-janji-Nya.

Sekarang, apa hubungannya hal ini dengan karunia pewahyuan atau karunia tanda? Dalam banyak hal. Dalam perdebatan tentang kontinuasionisme (continuationism) dan sesasionisme (cessationism), orang mungkin lupa akan fakta bahwa semua orang Kristen percaya Roh Kudus aktif sekarang, menciptakan iman dalam diri semua orang yang telah Tuhan panggil kepada diri-Nya melalui pelayanan Injil. Tidak ada perdebatan di antara orang-orang percaya mengenai apakah Roh Kudus sedang bekerja; pertanyaannya adalah bagaimana caranya. Poin ini tidak boleh dilupakan, bahkan ketika orang-orang Kristen dan gereja-gereja berbeda pendapat.

Mengingat Pentakostalisme adalah salah satu gerakan terbesar dalam kekristenan pada abad ke-20 dan ke-21, ditemukan di seluruh cabang Protestan dan Katolik Roma, dan merupakan isu tak terhindarkan dalam misi global, jawaban negatif saya atas pertanyaan di atas mungkin mengejutkan. Ada spektrum yang lebar di antara orang-orang Kristen kontemporer yang mencakupi semua mulai dari bentuk kontinuasionisme sampai sesasionisme. Kontinuasionisme dalam pandangannya yang paling kuat adalah klaim bahwa karunia-karunia tanda pewahyuan adalah tanda-tanda kehadiran Roh Kudus yang penting, konstitutif, dan masih berlangsung di dalam gereja dan di dalam diri masing-masing orang percaya. Dalam pandangan kontinuasionis yang kuat ini, gereja-gereja, dan bahkan orang-orang yang mengaku Kristen yang tidak memiliki setidaknya sebagian dari karunia-karunia tanda ini, bisa jadi adalah gereja-gereja palsu dan orang-orang Kristen palsu. Atau untuk menyatakannya secara positif, kaum kontinuasionis menekankan bahwa hidupnya gereja dibuktikan oleh karya Roh Kudus yang terus berlangsung yang dimanifestasikan di dalam diri individu-individu yang memiliki karunia-karunia pewahyuan seperti berbahasa lidah dan nubuat yang terus berlanjut.

Ketika berbicara tentang spektrum pandangan kontinuasionis, telah menjadi hal yang umum, jika bukan populer di kalangan Kristen saat ini, untuk mengakui sebuah kontinuasionisme ringan yang pada prinsipnya mendukung keseluruhan spektrum kontinuasionisme di mimbar dan jemaat. Meskipun mungkin masih ada keberatan di dalam gereja-gereja kontinuasionis ringan terhadap praktik penuh dari pandangan Pantekosta tentang karunia-karunia pewahyuan dalam ibadah umum, keberatan itu bukan secara prinsip melainkan hanya berdasarkan alasan-alasan pragmatis atau kehati-hatian mengenai apa yang terbaik bagi ibadah umum.

Di sisi lain, sesasionisme adalah pandangan bahwa karunia-karunia tanda pewahyuan adalah untuk zaman para Rasul selama masa hidup mereka dan berhenti dengan ditutupnya kanon Alkitab. Dengan demikian, bagi kaum sesasionis, penekanan utamanya adalah pada kelengkapan Kitab Suci dengan selesainya Perjanjian Baru. Lebih lanjut, di dalam Alkitab, seruan “firman dari Tuhan” atau mengucapkan “perkataan nubuat dalam nama Tuhan” tidak mengizinkan ruang bagi kesalahan. Sebagai contoh, Ulangan 18:21-22 dengan jelas menyatakan:

Mungkin saja kamu berkata dalam hatimu, “Bagaimana kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN?” Apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak terwujud, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN. Nabi itu telah menyampaikannya dengan lancang; jangan gentar kepadanya.

Poin ini sangat sangat penting. Nabi-nabi Tuhan yang sejati dan firman-Nya melalui mereka tidak mengakui adanya nubuat yang salah. Selain finalitas wahyu Allah di dalam Kristus secara alkitabiah dan teologis yang telah disebutkan sebelumnya, penting untuk dicatat bahwa bersamaan dengan doktrin yang kuat tentang ineransi dan infalibilitas Alkitab, posisi sesasionis berpegang pada persyaratan yang sama tingginya akan kebenaran, akurasi, dan infalibilitas dari nubuat yang sejati.

Kaum kontinuasionis, meskipun mengklaim karya Roh yang lebih penuh di dalam Perjanjian Baru, harus berpegang pada pandangan nubuat yang tidak sepenuh atau lebih rendah daripada apa yang terjadi di dalam Perjanjian Lama. Beberapa penganut kontinuasionisme yang sangat kuat—tetapi tentu saja tidak semua kontinuasionis—mungkin berargumen untuk kesetaraan wahyu pribadi mereka dengan Alkitab, bahkan menyebut diri mereka sendiri sebagai rasul-rasul masa kini. Harus diakui, pernyataan seperti itu membuat sebagian besar kaum kontinuasionis, baik yang memegang pandangan yang dimodifikasi maupun yang ringan, gelisah, dan memang seharusnya demikian. Mengapa? Pertama, sebagian besar kaum kontinuasionis ingin membuat perbedaan yang kritis antara level dan prioritas dari inspirasi kerasulan dengan nubuat paska kerasulan. Kaum kontinuasionis mungkin mengizinkan karunia kenabian dan pewahyuan dari Roh Kudus yang bisa salah paska kerasulan. Coba renungkan sejenak: di antara mereka yang berada di kalangan kharismatik, tidak setiap perkataan dari Tuhan yang diberikan oleh seorang dengan karunia nubuat paska kerasulan merupakan sesuatu yang sesungguhnya benar atau diharapkan benar secara mutlak. Mungkin saja sebagian besar nubuat tersebut adalah benar. Mungkin saja nubuat itu terjadi. Mungkin nubuat itu tidak terjadi sama sekali. Mungkin nubuat itu hanya mencerminkan sebuah kesan ekstasi yang dimaksudkan sebagai benar, akan tetapi tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang benar secara absolut sejauh yang terlihat. Implikasinya, tanda kehadiran sejati Roh Kudus yang berkelanjutan di dalam gereja, dan dengan perpanjangannya di dalam diri orang-orang percaya, direduksi menjadi tanda yang bisa salah dan bersifat kemungkinan. Mungkinkah nubuat yang sejati dari Roh Kudus bisa salah? Tentu saja tidak. Jika praktik “nubuat” yang bisa salah muncul dalam praktik gereja, bukankah hal ini akan cenderung mengarah, dalam praktik dan prinsip, pada pandangan yang lebih rendah terhadap Alkitab?

Di samping perdebatan mengenai karunia-karunia tanda dalam Perjanjian Baru, saya percaya bahwa akan jauh lebih bermanfaat untuk membahas apa yang sering disebut sebagai iluminasi. Harus dinyatakan bahwa iluminasi bukanlah hal yang sama dengan wahyu. Wahyu adalah kebenaran objektif yang menunjuk kepada Allah. Di antara para teolog Reformed klasik sejak abad keenam belas dan seterusnya, inspirasi paling sering didefinisikan dalam kaitannya dengan inspirasi nabi atau Rasul dan dalam kaitannya dengan inspirasi Alkitab. Di dalam ranah inilah diskusi tentang nubuat sebagai wahyu khusus menjadi paling tepat dan sesuai. Iluminasi adalah konfirmasi oleh Roh Kudus kepada seseorang tentang kebenaran Kitab Suci. Bagi orang percaya yang baru dilahirkan kembali, Kristus dipegang dengan iman di dalam hati dan pengertian di dalam pikiran. Bagi orang percaya yang sudah dewasa, karya iluminasi Roh Kudus membangun iman dan pengertian terhadap Kitab Suci dengan tujuan kedewasaan dan kekudusan Kristen. Doktrin iluminasi di antara kaum Reformed adalah pandangan bahwa dibutuhkan karya Roh Kudus untuk memahami Alkitab dengan cara yang membuahkan keselamatan, bahwa orang-orang pilihan dipanggil ke dalam kehidupan kekal. Sesungguhnya, iluminasi bukanlah wahyu. Doktrin iluminasi berusaha untuk menjelaskan bagaimana Roh Kudus menerapkan Alkitab di dalam hati orang percaya untuk menghasilkan kesadaran akan dosa, pertobatan, iman, dan hati untuk sebuah ketaatan baru. Kesaksian internal dari Roh Kudus adalah aspek yang luar biasa penting dalam kehidupan Kristen ketika kita menyadari dalam terang Firman Allah, misalnya, bahwa kita memiliki kepastian tentang karya Roh Kudus yang mendorong hati kita untuk percaya kepada-Nya, bahwa kita telah diadopsi ke dalam keluarga Allah, dan bahwa kita memiliki akses kepada Allah melalui Kristus untuk berdoa dengan berani dan bebas. Doktrin iluminasi berarti bahwa kita dapat dan harus berdoa agar Roh Kudus yang sama yang menginspirasi Alkitab akan menyinari hati kita untuk mengerti Alkitab dan mengenal Allah sebagaimana Dia harus dikenal—sebagai Allah kita yang setia, sebagai Juruselamat kita, sebagai Abba Bapa, sebagai Raja dan Tuhan kita, sebagai sumber dan pusat dari segala sukacita kita. Kemudian sementara kita merindukan dan mendambakan penyembahan yang lebih agung dan lebih penuh kepada Allah bersama dengan semua umat Allah di surga, di sini di dalam kehidupan ini kita diberi Alkitab yang cukup dan berotoritas untuk melatih, menuntun, dan mengontrol hati dan pikiran kita kepada Allah.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Todd M. Rester
Todd M. Rester
Dr. Todd M. Rester adalah associate professor bidang sejarah gereja di Westminster Theological Seminary. Ia adalah penerjemah buku Petrus Van Mastricht’s Theoretical-Practical Theology.