


3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Pengkhotbah
27 Mei 2024


3 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Injil Matius
31 Mei 20243 Hal yang Perlu Anda Tahu tentang Kitab Kidung Agung


Kitab Kidung Agung adalah karya hikmat puitis dalam tradisi Salomo (Kid. 1:1), bersama dengan karya-karya lain seperti Pengkhotbah dan Amsal. Tata bahasa dalam judul kidung ini di dalam bahasa Ibrani (“Kidung segala Kidung”) adalah superlatif, yang berarti “kidung terbaik”, sama seperti “Raja segala raja” atau “Tuhan segala tuan”. Sebutan yang superlatif ini sangat mengesankan mengingat Salomo menggubah 1.005 nyanyian/kidung (1Raj. 4:32). Sepertinya, kitab ini berisi kumpulan kidung terbaiknya. Namun, gereja bergumul untuk sepenuhnya menghargai pesan kitab ini karena isinya yang berkaitan dengan hubungan intim, bahkan seksual. Berikut ini adalah tiga hal yang perlu Anda tahu tentang kidung terbaik Salomo ini.
1. Kunci untuk memahami Kidung Agung terdapat di bagian akhir
Fitur ini muncul dalam karya-karya hikmat lainnya di dalam Perjanjian Lama. Sebagai contoh, di akhir kitab Pengkhotbah, penulis akhirnya menyimpulkan segala sesuatu yang telah disampaikan sebelumnya dalam sudut pandang yang tepat: “Akhir kata dari segala yang didengar ialah takutlah akan Allah dan peliharalah perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” (Pkh. 12:13). Serupa dengan itu, begitu kita membaca pasal terakhir dari kitab Ayub, kita kemudian telah diperlengkapi untuk kembali dan memahami alasan atas segala sesuatu yang terjadi. Metode instruksi yang sama berlaku pada kitab Kidung Agung.
Kunci untuk mempelajari kidung ini terdapat dalam Kidung Agung 8:6-10. Dengan memakai rangkuman, kidung tersebut mengajarkan bahwa perjanjian pernikahan seharusnya melibatkan komitmen (Kid. 8:6a) dan keintiman (Kid. 8:6b). Pernikahan yang berkomitmen untuk mempertahankan kedua realitas itu akan lebih tahan dalam menghadapi kesukaran hidup (Kid. 8:7a), menolak godaan (Kid. 8:7b), dan mendorong keutuhan (shalom) dalam konteks relasi tersebut (Kid. 8:10). Dunia menyukai bagian keintiman tersebut tetapi sering kali menolak keutuhan dari komitmen yang teguh. Di sisi lain, gereja secara antusias menegaskan komitmen teguh seumur hidup tetapi jarang mendorong kebaikan dari keintiman seksual dalam konteks hubungan pernikahan Kejadian 2. Kita seharusnya berkomitmen mendorong keduanya.
2. Kitab Kidung Agung menggambarkan pernikahan dan juga hubungan Allah dengan umat-Nya
Kitab Kidung Agung tidak hanya berbicara tentang komitmen dan keintiman dalam konteks pernikahan, tetapi juga tentang jenis relasi yang Allah inginkan dengan umat-Nya. Namun, Kidung Agung bukan sebuah alegori yang tidak realistis yang menggambarkan hubungan antara Allah dengan bangsa Israel atau antara Yesus dengan Gereja. Tanpa harus merasa malu, kitab ini adalah kidung hikmat yang berbicara tentang komitmen dan keintiman dalam konteks pernikahan. Namun, Alkitab jelas mengajarkan bahwa perjanjian pernikahan dalam Kejadian 2 memang dirancang untuk menunjuk kepada sesuatu yang melampaui dirinya, yaitu pernikahan eskatologis di dalam Wahyu 19-22.
Itulah maksud Paulus pada bagian akhir Efesus 5, ketika ia mengutip Kejadian 2 yang mengatakan: “Sebab itu, laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Ef. 5:31-32). Semua kebaikan yang diciptakan Allah di dalam pernikahan akan diperkuat dan disempurnakan di dalam langit dan bumi yang baru. Selain itu, semua kesedihan dan kehilangan dalam pernikahan yang disebabkan oleh dosa akan dihapuskan. Pernikahan adalah sebuah topik yang penting di dalam Alkitab. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa pernikahan membingkai Alkitab dari awal sampai akhir. Dengan demikian, kiranya perjanjian pernikahan ini mengingatkan kita akan harapan yang menanti kita pada akhirnya.
3. Kitab Kidung Agung penuh dengan bahasa kiasan
Puisi memakai bahasa yang artistik lebih dari narasi atau prosa yang standar. Ungkapan-ungkapan kiasan dalam bahasa yang lain dan dari budaya kuno mungkin tidak secara tepat berpadanan dengan konteks budaya dan linguistik kita. Sebagai contoh, saya tidak akan memuji istri saya dengan berkata, “Rambutmu bagaikan kawanan kambing“ (Kid. 4:1) atau “Bagaikan belahan buah delima pelipismu” (Kid. 4:3). Di dalam Kidung Agung 4:2 dikatakan:
Gigimu bagaikan kawanan domba yang baru saja dicukur;
yang keluar dari tempat pembasuhan,
yang beranak kembar semuanya,
dan tiada yang tak beranak.
Saya tidak pernah menyaksikan peristiwa seperti itu, atau berpengalaman soal domba, sehingga saya harus berusaha keras memahami bahwa perempuan yang digambarkan di sini memiliki gigi yang putih dan tidak ada yang hilang. Perhatikan bahasa di dalam Kidung Agung 4:11, di mana perempuan itu digambarkan diinginkan secara romantis. Dikatakan:
Bibirmu meneteskan madu murni, pengantinku,
madu dan susu ada di bawah lidahmu,
dan aroma pakaianmu seperti Gunung Libanon
Madu, susu, dan aroma pegunungan Libanon tidak cocok dengan gambaran modern tentang hasrat, tetapi kita dapat menghargai ungkapan kuno tersebut karena itu berpadanan dengan hal-hal seperti anggur merah, parfum, atau kelopak bunga mawar dalam konteks kita.
Kitab Kidung Agung juga menggunakan bahasa metafora. Kita membaca, misalnya:
Putra-putra ibuku marah kepadaku,
dan menjadikan aku penjaga kebun-kebun anggur;
kebun anggurku sendiri tak kujaga. (Kid. 1:6)
Perempuan itu menjelaskan bahwa kulitnya menjadi hitam karena saudara-saudaranya memaksanya bekerja di kebun anggur keluarganya. Itu berarti, ia tidak memiliki cukup waktu untuk merawat kebun anggurnya sendiri, yaitu tubuhnya. Pengaturan metaforis seperti ini muncul sekali lagi pada bagian akhir Kidung Agung, di mana kebun anggur Salomo muncul bersama dengan kebun anggur perempuan itu sendiri; sekali lagi, tubuhnya (Kid. 8:11).
Terakhir, kitab Kidung Agung menerapkan gaya bahasa eufemisme untuk sedikit menutupi topik-topik yang sulit atau yang menuntut pertimbangan kesopanan. Sebagai contoh, sang kekasih diundang “datang ke kebunnya dan makan buah-buahnya yang lezat” sebagai undangan untuk menikmati keintiman seksual (Kid. 4:16). Serupa dengan itu kita membaca, “Aku ingin memanjat pohon kurma itu, dan memegang gugusan-gugusan buahnya” (Kid. 7:8). Eufemisme yang kerap dilewatkan terdapat pada pasal 3 di mana enam puluh pejuang di sekitar “tandu” Salomo digambarkan “membawa pedang” (Kid. 3:8), tetapi teks bahasa Ibraninya berkata, “dirampas oleh pedang”. Dengan kata lain, mereka adalah para kasim. Bahasa kiasan di dalam kitab Kidung Agung adalah salah satu hal yang menjadikannya kidung terbaik. Para pembaca akan beroleh manfaat bila mencermati aspek tersebut di dalam kitab ini.