Anugerah dan Belas Kasihan yang Tanpa Akhir, Tanpa Ujung, Tanpa Batasan
23 Juli 2024Apa itu Pengertian?
29 Juli 2024Ajarlah Kami Menghitung Hari-Hari Kami
Ajarlah kami menghitung hari-hari kami, supaya kami beroleh hati yang bijaksana. (Mzm. 90:12)
Ayat ini sering kali digunakan seolah-olah merupakan pepatah yang berarti, “Hidup ini singkat, jadi hiduplah dengan bijak.” Namun dalam konteks keseluruhan mazmur, ayat ini memiliki arti jauh lebih dari itu, seperti yang akan kita lihat. Ayat ini merupakan bagian penting dalam perenungan tentang Allah dan tentang bagaimana menjalankan hidup sebagai umat Allah.
Dalam bahasa Ibrani, ayat 12 dimulai dengan kata-kata “menghitung hari-hari kami.” Frasa ini melanjutkan tema tentang waktu yang begitu banyak tersebar dalam mazmur ini. Sebuah refleksi tentang waktu menuntun kita untuk melihat betapa lemahnya kita dan betapa singkatnya hidup kita: “Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata, ‘Kembalilah, hai anak-anak manusia!’ … Engkau menghanyutkan manusia dalam tidurnya, di pagi hari mereka seperti rumput yang akan binasa, di waktu pagi bersemi dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu. … Masa hidup kami tujuh puluh tahun, jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya hanyalah kesukaran dan penderitaan; ya, sungguh cepat kami melayang lenyap” (ay. 3, 5-6, 10). Di sini, Mazmur 90 memperlihatkan hubungannya dengan keprihatinan Mazmur 89 tentang kerapuhan manusia: “Ingatlah seperti apa umur hidupku ini, betapa sia-sia Kauciptakan semua anak manusia! Siapakah yang dapat tetap hidup dan tidak mengalami kematian, yang dapat meluputkan nyawanya dari kuasa dunia orang mati?” (Mzm. 89:48-49). Kesadaran demikian tentang kelemahan kita adalah dasar yang penting untuk hikmat apa pun yang sejati. “Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku menyadari betapa fananya aku!” (Mzm. 39:5).
Singkat dan lemahnya kehidupan manusia adalah buah dari dosa dan penghakiman dalam dunia ini. Pemazmur mengakui dosa tersebut dengan terus-terang, dengan mengatakan, “Engkau menaruh kesalahan kami di hadapan-Mu, bahkan yang tersembunyi pun dalam cahaya wajah-Mu” (Mzm. 90:8). Ia tahu bahwa Allahnya yang kudus menjatuhkan penghakiman-Nya atas orang-orang berdosa. “Sungguh, segala hari kami berlalu karena geram-Mu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh. … Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan menyadari geram-Mu sehingga takut kepada-Mu?” (ay. 9, 11). Sungguh menakutkan ketika menyadari bahwa murka Allah akan sebesar semua ketaatan yang seharusnya kita berikan kepada-Nya.
Meskipun hidup ini singkat dan murka Allah sangat menakutkan, belas kasihan dan perlindungan Allah bagi umat-Nya sangatlah besar. Allah adalah rumah bagi umat-Nya: “Tuhan, Engkaulah perteduhan kami turun-temurun” (ay. 1). Sepanjang keberadaan semua generasi umat-Nya, bahkan ke belakang sampai ke masa penciptaan, Allah selalu memelihara dan melindungi umat-Nya. Bahkan di Taman Eden, Dia berjanji bahwa Dia akan menebus milik-Nya (Kej. 3:15). Allah tetap merupakan rumah bagi umat-Nya karena Dia adalah Allah yang menebus.
Musa mengingatkan kita bahwa meskipun kehidupan manusia itu rapuh dan singkat, Allah itu kekal. “Sebelum gunung-gunung dilahirkan, bumi dan dunia diperanakkan, dari dahulu kala sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (ay. 2). Musa membawa kita kembali ke masa sebelum Allah menciptakan bumi untuk mengingatkan kita bahwa Allah kita ada sebelum dan melampaui waktu dan dunia ini. Dia selalu ada, dan Dia cukup pada diri-Nya sendiri tanpa kita. Musa menyatakan hal ini dengan cara lain dalam ayat 4: “Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin yang telah berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam.” Waktu tidak memiliki arti yang sama bagi Allah seperti halnya bagi kita. Bagi kita, seribu tahun adalah waktu yang begitu lama hingga kita tidak dapat benar-benar membayangkan bagaimana menjalankannya. Bagi Allah, seribu tahun tidak ada bedanya dengan waktu yang sangat singkat. Dia kekal, melampaui waktu yang Dia ciptakan.
Allah yang kekal ini mengatur jalannya sejarah dengan kuasa-Nya yang tak terbatas. Musa, yang telah melihat kuasa Allah yang sering kali diperlihatkan dalam pembebasan bangsa Israel dari Mesir, melanjutkan berdoa agar kemuliaan karya Allah tetap ada di depan mata umat-Nya: “Biarlah perbuatan-Mu terlihat oleh hamba-hamba-Mu, dan semarak-Mu oleh anak-anak mereka” (ay. 16). Sebagaimana Allah telah mendatangkan penderitaan dengan kuasa-Nya, maka Musa berdoa agar Allah mengirimkan berkat: “Buatlah kami bersukacita seimbang dengan hari-hari Engkau menindas kami, seimbang dengan tahun-tahun kami mengalami sengsara” (ay. 15). Jika kebutuhan kita adalah menghitung hari-hari kita dengan membandingkan singkatnya hari-hari kita dengan sifat kekal Allah, maka doa kita kepada Allah adalah agar Dia mengajar kita: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami.” Kita tidak akan pernah memahami pelajaran itu dengan kekuatan kita sendiri. Kita bukan hanya tidak tahu apa-apa jika dibiarkan sendiri, tetapi kita juga menindas kebenaran dengan kelaliman (Rm. 1:18). Kita meyakinkan diri kita sendiri bahwa kita memiliki waktu yang panjang untuk hidup, dan selama kita sehat, kita sungguh-sungguh percaya bahwa kita akan hidup selamanya di dalam tubuh ini. Kita membutuhkan seorang guru, dan satu-satunya guru yang dapat menyelamatkan kita dari diri kita sendiri adalah Allah.
Telah dipublikasikan sebelumnya dalam Learning to Love the Psalms oleh W. Robert Godfrey.