Percaya untuk Taat
19 September 2023
Melawan Keputusasaan
26 September 2023
Percaya untuk Taat
19 September 2023
Melawan Keputusasaan
26 September 2023

Anak Allah yang Puas

Pengakuan raja Daud dalam Mazmur 131 adalah bahwa ia tidak mengejar “hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku” (ay. 1). Ini mungkin terdengar seperti sebuah pengakuan yang aneh dari seorang raja; lagi pula, bukankah itu adalah panggilannya? Lebih dari semua orang lain, bukankah seorang raja harus menyadari hal-hal yang besar, menganalisisnya, lalu merancangkan suatu tindakan yang bijak bagi bangsanya? Jika Anda melanjutkan membaca seluruh Mazmur 131, Anda mungkin memiliki pertanyaan yang lain. Mengapa Daud mengaku, “Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan menentramkan jiwaku; seperti anak yang disapih dekat ibunya” (ay. 2)?

Untuk memahami kesaksian Daud tersebut, kita harus menyadari bahwa jiwa Daud pastilah pernah bergejolak pada titik tertentu sebelumnya. Jika tidak demikian, ia tidak mungkin akan mengalami proses penenangan dan penentraman. Salah satu hal yang menyebabkan banyak orang gelisah adalah ketika mereka berusaha memahami hal-hal di luar jangkauan kita. Kita mungkin tidak bisa tidur ketika berusaha menganalisis peristiwa yang sedang terjadi, menjelaskan tragedi, atau mencari jawaban pertanyaan yang membingungkan. Bila kita memikirkannya terlalu jauh, kita memperlihatkan kesombongan kita. Kita berusaha memahami apa yang hanya diketahui oleh Allah. Kita tidak pernah diciptakan untuk menjadi mahatahu. Kita tidak diperlengkapi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dunia. Hanya Kristus yang dapat melakukannya.

Kesaksian kuno Daud yang melepaskan dorongan untuk menganalisis terlalu jauh masih relevan dengan zaman kita. Kita hidup dalam era informasi di mana kita dibanjiri dengan “hal-hal besar” dari seluruh dunia. Kebanyakan orang memiliki akses pada platform media sosial di mana kita diharapkan untuk ikut menanggapi peristiwa-peristiwa terbaru. Meski kesadaran tentang apa yang terjadi mungkin baik, kita tidak seharusnya mencoba untuk memikul semua persoalan dunia di pundak kita. Kita tidak akan pernah dapat memahami setiap persoalan, apalagi menemukan solusinya. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa berakhir dengan mencoba memahami apa yang hanya diketahui oleh Allah, termasuk cobaan-cobaan pribadi. Ada cara yang lebih baik, dan Tuhan memberi ilham kepada Daud untuk memberikan kesaksiannya.

Perbandingan Daud akan dirinya dengan seorang anak yang disapih merupakan sebuah gambaran yang menolong. Pada zaman kuno, anak-anak sering kali disapih dari ibunya pada usia yang lebih tua daripada yang umum terjadi pada masa kini dalam banyak budaya kita. Itu berarti anak tersebut memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada anak bayi, dan karenanya penyapihan anak menjadi periode yang penuh tantangan. Namun, akan tiba hari ketika anak-anak harus beradaptasi dengan makanan keras, dan meninggalkan rasa frustrasi mereka di belakang. Inilah kesaksian Daud: setelah melalui berbagai cobaan dalam hidup, dan terkadang meronta-ronta melawan apa yang telah ditetapkan, ia harus belajar menerima jalan-jalan Allah. Ia sekarang seperti seorang anak yang disapih, yang puas berada dekat ibunya tanpa mendambakan susu.

Akan tetapi, ada lebih banyak hal dari kesaksian Daud daripada sekadar “melepaskan” hal tertentu. Ia mengajarkan hal ini ketika ia berseru kepada rakyatnya, “Berharaplah pada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!” (ay. 3). Ketika kita berharap pada Tuhan, kita memiliki pengetahuan yang pasti bahwa Ia mengetahui segala sesuatu dan bahwa Ia berdaulat atas segala sesuatu. Marilah kita percaya bahwa Ia turut bekerja dalam segala sesuatu demi kebaikan umat-Nya.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Robert VanDoodewaard
Robert VanDoodewaard
Rev. Robert VanDoodewaard adalah pendeta di Hope Reformed Church di Powassan, Ontario.