Anak Allah yang Puas
21 September 2023
Pelayanan di Gereja yang Kelihatan
28 September 2023
Anak Allah yang Puas
21 September 2023
Pelayanan di Gereja yang Kelihatan
28 September 2023

Melawan Keputusasaan

Di suatu tempat di sebelah selatan Anchorage, Alaska, di jalan raya Seward, seorang teman saya tersesat dan membutuhkan petunjuk menuju Hope, Alaska, yaitu sebuah desa nelayan terpencil di Semenanjung Kenai. Ia bertanya kepada seorang pria tua di pom bensin, “Bagaimana caranya saya bisa sampai di Hope?” “Pergilah ke gereja dan berdoalah”, jawab pria tua itu sambil tersenyum, mengucapkan kata-kata yang sudah dipersiapkan itu, seolah-olah ia seorang aktor pemenang Oscar.

Nasihat tersebut baik untuk kita ikuti. Begitu banyak orang tersesat dalam perjalanan menuju harapan. Keputusasaan dan kesinisan telah menjadi epidemi dalam budaya kita dan di gereja. Keputusasaan adalah sebuah perasaan tanpa harapan dan takut. Keputusasaan berkaitan dengan bunuh diri, depresi, menyakiti diri sendiri, dan menganggap diri tidak diinginkan masyarakat. Keputusasaan adalah guru yang tak pernah mengenal lelah.

Pelajaran yang kita dapatkan dari beberapa tahun terakhir ini adalah bahwa pemerintah, ekonomi, politik, dan kesadaran sosial tidak akan menjamin masa depan kita. Jadi, bagaimana kita bisa sampai kepada harapan? Seperti apa jalan menuju harapan itu? Seperti setiap perjalanan, jalan menuju harapan dimulai dengan mengetahui di mana kita berada. Apabila Anda membaca tulisan ini dan merasa begitu putus asa sehingga Anda berpikir untuk melukai diri sendiri, maka panggillah pendeta, sahabat, atau anggota keluarga Anda. Seiring keputusasaan mendapatkan suaranya, Anda akan ingin mengurung diri dan menarik diri dari Allah dan dari orang lain. Bunuh diri, mengurung diri, atau menyakiti diri sendiri tidak pernah menjadi keinginan Allah untuk Anda. Secara jujur melihat pada kondisi Anda mungkin terdengar berisiko dalam budaya kita yang menekankan “bersikaplah positif” dan “berusahalah lebih keras”.

Keputusasaan datang ketika harapan kita adalah pada sesuatu yang tidak dapat diandalkan atau tidak mampu memenuhi kerinduan kita yang terdalam. Jalan yang tak terduga menuju harapan dimulai dengan menyadari bahwa rencana-rencana kita tidak berhasil dan tidak mampu menghapuskan kesedihan dari dunia yang telah jatuh ke dalam dosa ini. Ironisnya, keputusasaan adalah langkah pertama dalam menemukan harapan yang sejati. Allah tidak pernah menginginkan kita sepenuhnya dipuaskan oleh apa yang ada dalam hidup ini. Ia tidak menginginkan ilah-ilah yang lebih rendah membuat sibuk anak-anak-Nya. Kita diciptakan untuk berelasi dengan Allah, dan karenanya, kita merindukan hubungan yang dipulihkan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan diri kita sendiri. Setelah kita tidak mengharapkan pasangan kita, anak-anak kita, pekerjaan kita, atau pemerintah kita untuk memenuhi kerinduan-kerinduan kita yang terdalam, barulah kita dapat mulai menikmati mereka untuk apa yang dapat mereka berikan. Kita tidak akan pernah dapat memiliki harapan jika kita percaya bahwa sekadar mengubah situasi adalah solusinya.

Alkitab sering kali berbicara tentang bagaimana situasi saat ini tidak menentukan harapan kita. Hidup dengan setia di tempat pembuangan merupakan sebuah undangan untuk melihat gambaran yang lebih besar yang melampaui harapan kecil akan kebahagiaan yang sementara. Jalan menuju harapan dimulai dengan berhenti berharap pada diri kita sendiri ataupun upaya kita untuk menjadikan hidup kita sempurna. Terlepas dari berbagai rintangan dan kekecewaan, kita bisa hidup demi tujuan yang lebih besar dan memiliki harapan yang ultima. 

Dalam Alkitab, umat Allah hidup di tempat pembuangan, tetapi Allah menjanjikan harapan kepada mereka. Paulus menulis tentang harapan dan penghiburan dari dalam penjara. Gereja bertumbuh di tengah-tengah penganiayaan, sebab harapannya bukan pada situasi tetapi pada Allah saja. Perjalanan menuju harapan dimulai ketika kita berhenti berharap pada diri kita sendiri dan berfokus pada identitas kita di dalam Kristus sebagai penyandang gambar Allah alih-alih pada situasi saja.

Kita tidak akan pernah dapat mencapai harapan yang sejati dengan menipu diri sendiri dengan merasa puas dengan tujuan-tujuan yang kecil yang dapat dicapai. Harapan kita tidak ditemukan pada pemikiran yang kecil dan mementingkan diri sendiri. Melangkah maju menuju harapan menuntut kita merangkul kebenaran. Kebenarannya adalah bahwa kita dirancang Allah untuk menghidupi kisah tentang kemuliaan-Nya. Orang yang putus asa tidak berpikir terlalu besar; sebaliknya, ia berpikir terlalu kecil. Jadi, seiring jalan menuju harapan terbuka lebar di hadapan Anda, sadarilah bahwa Anda memiliki sebuah tujuan di dalam hidup Anda. Di dalam Kristus, Anda adalah anak pilihan Allah, dan karenanya, Anda adalah bagian dari keluarga Allah.

Begitu kita melangkah melampaui situasi hidup kita dan memahami tujuan agung yang dirancang Allah bagi kita, melihat ke belakang dapat menolong. Ingat bagaimana Allah telah setia di masa lalu Anda. Baca dan pelajari perikop-perikop Alkitab yang menunjukkan kesetiaan-Nya. Lihat sekeliling Anda—Anda akan melihat bahwa Anda tidak sendiri. Hidup ini tidak dirancang untuk dijalani sendiri. Kita harus menyadari bahwa ada orang lain beserta kita, mereka pun bergumul dan membutuhkan pertolongan dan penghiburan kita di sepanjang perjalanan. Lihat lebih cermat lagi dan kita akan melihat Pendamping sejati kita: Kristus di dalam kita dan Roh Kudus memberi kekuatan kepada kita.

Sejalan dengan fokus yang baru, tujuan yang agung, sahabat-sahabat di setiap sisi kita, dan Kristus sebagai kekuatan kita, jalan menuju harapan menuntut rasa syukur dan doa. Tidak mungkin kita memiliki rasa syukur dan keputusasaan pada saat yang sama. Untuk melanjutkan perjalanan menuju harapan, kita perlu sering-sering bersyukur kepada Allah dalam doa-doa kita.

Pada titik ini dalam perjalanan menuju harapan, kita akan menghadapi beberapa hambatan. Keputusasaan adalah seorang penipu yang berusaha mencegah kita dari mengasihi, berupaya, dan bermimpi—dengan cara yang aneh, keputusasaan dapat merupakan kenyamanan bagi kita. Kita menginginkan harapan, tetapi kita juga ingin memegang kendali. Kita menginginkan harapan, tetapi kita ingin membenarkan diri yang tidak mengasihi orang lain dan Allah. Dalam Kitab Yesaya, Allah mengundang anak-anak-Nya untuk berpartisipasi dalam rencana-Nya, untuk percaya dan hidup dalam perjanjian-Nya, dan menantikan pemeliharaan-Nya. “Mengapa kamu belanjakan uang untuk yang bukan makanan, dan upah jerih payahmu untuk yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku, maka kamu akan memakan yang baik dan menikmati sajian yang paling lezat” (Yes. 55:2).

Seiring kita berjalan menuju harapan, marilah kita ingat untuk menjaga perspektif dan fokus kita pada-Nya. Janganlah kita menyia-nyiakan hidup dengan tujuan-tujuan yang tidak akan memuaskan kita. Pria tua itu benar, “Berdoalah dan pergilah ke gereja” Di sana kita sekali lagi akan diingatkan di mana harapan yang sejati dan kekal itu berada.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
James Coffield
James Coffield
Dr. James Coffield adalah direktur pelayanan kaum dewasa di Christ Covenant Church di Knoxville, Tennessee, dan dosen tamu di bidang Konseling di Reformed Theological Seminary.