Menggembalakan Domba-Domba
13 Februari 2024
Berkhotbah untuk Membujuk
20 Februari 2024
Menggembalakan Domba-Domba
13 Februari 2024
Berkhotbah untuk Membujuk
20 Februari 2024

“Janganlah Menghakimi”

Matius 7:1 adalah salah satu pernyataan yang paling dibutuhkan sekaligus paling sering disalahgunakan dalam Alkitab. Tidak jarang kita bertemu dengan orang-orang yang tampaknya hanya mengetahui tiga ayat dari Alkitab: “Janganlah menghakimi” (Mat. 7:1), “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:16), dan “Siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu …” (Yoh. 8:7). Orang-orang ini—baik yang mengaku Kristen maupun tidak—tidak benar-benar tertarik untuk memahami Alkitab sesuai makna aslinya. Mereka senang membuat slogan-slogan Alkitab jika itu sesuai dengan tujuan mereka.

Namun, hanya karena orang dapat menyalahgunakan sebuah ayat tidak menjadi alasan bagi kita untuk membuang ayat tersebut. Faktanya, Mat. 7:1 adalah koreksi yang perlu didengar oleh banyak orang Kristen. Jika kita pertama-tama dapat meluruskan klaim-klaim yang keliru, kita akan siap membiarkan Mat. 7:1 membentuk kita sesuai dengan yang Yesus kehendaki.

PERINTAH YANG DISALAHGUNAKAN

Jadi, apa yang tidak dimaksudkan oleh ayat ini? Pertama, “janganlah menghakimi” bukan berarti kita menghentikan aturan hukum. Allah telah menetapkan para pejabat di dalam negara (Rm. 13:1-2) dan di dalam gereja (Mat. 18:15-17; 1 Kor. 5:9-13) untuk melaksanakan penghakiman ketika anggota-anggota di dalam masing-masing institusi gagal melakukan apa yang benar. Kita tidak menghakimi dalam arti main hakim sendiri karena kita percaya bahwa Allah akan menjalankan keadilan-Nya melalui otoritas yang tepat (Rm. 12:17-21).

Kedua, “janganlah menghakimi” bukan berarti kita tidak memakai otak kita. Di bagian lain dalam Alkitab, kita diperingatkan untuk tidak memercayai setiap roh (1 Yoh. 4:1). Kita harus menjadi orang yang berhikmat, yang menghakimi dengan penilaian yang benar (Yoh. 7:24). Kita tidak mungkin bisa membaca Alkitab dan menyimpulkan bahwa kesalehan mengharuskan kita untuk menerima segala sesuatu setiap saat dan setuju dengan semua orang tanpa syarat. Yesus yang sama yang berkhotbah tentang janganlah menghakimi juga mencela jemaat di Tiatira karena membiarkan guru-guru palsu dan perzinaan (Why. 2:20).

Ketiga, “janganlah menghakimi” bukan berarti kita menghentikan semua penilaian moral. Khotbah di Bukit tidak melarang evaluasi teologis dan etis. Yesus tidak melarang kritik yang keras ketika diperlukan. Pikirkanlah: Khotbah di Bukit penuh dengan penghakiman moral. Yesus menyebut orang yang hadir sebagai orang munafik (Mat. 7:5). Dia mengatakan kepada orang-orang untuk waspada terhadap nabi-nabi palsu (ay. 15). Yesus menghendaki kita untuk memahami (dan membedakan) bahwa beberapa orang adalah anjing dan babi (ay. 6) hanya beberapa kalimat setelah perintah “janganlah menghakimi”. Seolah-olah Yesus berkata, “Aku tidak ingin kamu menjadi orang yang suka mengkritik, tetapi Aku juga tidak ingin kamu menjadi orang yang bodoh.”

PERINTAH YANG DIPERLUKAN

Meskipun penting untuk tidak menyalahgunakan Matius 7:1, kita harus berhati-hati agar kewaspadaan kita tidak membuat perintah Yesus menjadi terlalu lunak. Perintah untuk tidak menghakimi adalah peringatan yang diperlukan bagi kita semua, tak terkecuali bagi orang beragama yang dapat mudah tergoda untuk meremehkan orang-orang yang terlihat kurang religius. Jadi sebenarnya apa maksud dari ayat ini?

Pertama, “janganlah menghakimi” berarti kita harus mengukur orang lain sebagaimana kita ingin diukur. Tidak seorang pun ingin timbangan yang diperberat dipakai terhadap mereka, atau tongkat pengukur yang curang yang terlalu pendek atau terlalu panjang. Kita semua ingin dievaluasi secara adil dan konsisten. Inilah poin yang Yesus sampaikan dalam ayat 2. “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Jangan berasumsi yang terburuk tentang orang lain berdasarkan warna kulit mereka, cara mereka berpakaian, di mana mereka tinggal, atau siapa orang tua mereka. Jangan terburu-buru menghakimi sebelum mendengar dari semua pihak.

Di era pemisahan berdasarkan suku dan penghakiman melalui internet, salah satu hal yang paling berpengaruh yang dapat kita lakukan sebagai orang Kristen adalah memikirkan ukuran yang kita inginkan untuk diri kita sendiri dan kemudian menggunakan ukuran itu kepada orang lain. Bagaimana saya ingin orang lain menilai saya? Saya ingin orang melihat dari berbagai sisi dan tidak cepat percaya pada hal yang terburuk tentang saya. Saya ingin orang melihat fakta, bukan gosip atau spekulasi. Saya ingin orang memberi saya kesempatan untuk berbicara dan terbuka untuk mengubah pikiran mereka. Saya ingin orang berbicara dengan hormat kepada saya dan tentang saya. Bukankah itu cara Anda ingin orang lain mengukur Anda? Apakah itu ukuran yang Anda dan saya gunakan untuk orang lain?

Kedua, “janganlah menghakimi” berarti kita harus memeriksa diri kita sendiri terlebih dahulu. Yesus tidak melarang kita untuk mengoreksi atau mengatakan kebenaran. Akan tetapi, Ia ingin kita pertama-tama mengoreksi hati kita sendiri dan mengatakan kebenaran kepada diri kita sendiri (ay. 3-5). Kritik moral dan teologis dapat dibenarkan, asalkan disertai dengan kritik diri yang serius. Kita cenderung membesar-besarkan kesalahan orang lain dan mengecilkan kesalahan kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh John Calvin, “Hampir tidak ada orang yang tidak tergelitik oleh keinginan untuk mencari tahu kesalahan orang lain.” Merendahkan orang lain adalah cara murahan untuk mencapai superioritas moral. Kita mungkin dapat melihat kebenaran dengan jelas, tetapi apa gunanya penilaian tentang orang lain itu jika kita tidak pertama-tama menerapkannya dalam kehidupan kita sendiri?

Ketiga, “janganlah menghakimi” berarti kita harus mengingat siapa diri kita. Yesus ingin kita mengingat bahwa Dia adalah Hakim dan kita adalah orang-orang yang dihakimi. Lebih dari itu, ketika berbicara tentang orang Kristen di gereja, kita adalah keluarga. Perhatikan bahasa eksplisit “saudara” dalam ayat 3. Yesus bersikap realistis terhadap keluarga Allah. Pasti akan ada konflik. Pasti ada serpihan kayu yang harus dikeluarkan dan juga balok. Intinya, Yesus pada dasarnya berkata, “Kamu akan tergoda untuk bersikap kasar dan tidak sabaran. Akan tetapi, mari Aku tunjukkan kepadamu jalan yang lebih baik. Dapatkah kamu mengasihi seperti Aku telah mengasihi?”

Beri penghakiman berdasarkan Firman Allah, tetapi jangan pernah memanjakan diri dalam sikap merasa diri benar, munafik, hiperkritis, berprasangka, dan menghakimi tanpa belas kasihan. Itu tidak pernah merupakan cara Kristus, dan seharusnya juga bukan cara orang Kristen.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Kevin DeYoung
Kevin DeYoung
Dr. Kevin DeYoung adalah pendeta senior di Christ Covenant Church di Matthews, North Carolina, dan asisten professor bidang teologi sistematika di Reformed Theological Seminary di Charlotte, North Carolina. Ia adalah penulis banyak buku, termasuk Taking God at His Word dan Just Do Something.