Imutabilitas
08 Desember 2023
Kasih, Keadilan, dan Murka
13 Desember 2023
Imutabilitas
08 Desember 2023
Kasih, Keadilan, dan Murka
13 Desember 2023

Impasibilitas

Sebuah tradisi kehidupan bergereja yang sudah berlangsung lama dan dicintai adalah potluck atau makan bersama. Makanan berlimpah, dan semua orang menikmati hidangan yang melimpah. Ketika Anda berjalan menyusuri makanan dan makanan penutup dengan piring Anda, Anda memilih makanan tertentu dan melewatkan makanan lainnya. Mengapa demikian? Mengapa Anda memilih sebagian dan tidak memilih yang lain? Kenyataannya adalah bahwa setiap makanan atau makanan penutup yang Anda lihat di hadapan Anda melakukan tindakan pada Anda, memberikan pengaruh pada Anda, dan mempengaruhi Anda. Bagaimana bisa? Anda menganggap setiap makanan itu baik atau buruk, dan kemudian Anda tertarik pada yang baik dan menolak yang buruk. Ketika Anda bergerak untuk mengambil yang baik dan menjauhi dari mengambil yang buruk, Anda telah diubah, digerakkan, dan dipengaruhi oleh makanan-makanan itu dan persepsi Anda terhadapnya. Ini adalah kehidupan dari makhluk yang pasibel.

Menjadi pasibel berarti bahwa Anda mampu mengalami tindakan oleh pengaruh dari luar. Anda mampu menjadi pasien dari suatu agen. Kata pasien dan pasibel berasal dari akar kata yang sama, pati-, yang berarti “menderita atau menjalani/mengalami.” Seorang pasien adalah orang yang menderita atau mengalami tindakan dari suatu agen. Jadi, menjadi pasibel berarti menjadi dapat atau mampu menjadi pasien dari suatu agen.

Ketika Anda melewati barisan potluck dan meletakkan makanan tertentu di piring Anda sementara menghindari yang lain, Anda menjalani perubahan, gerakan, dan pergerakan ke arah apa yang Anda anggap sebagai baik dan menjauhi apa yang Anda anggap sebagai buruk. Makanan adalah agen yang menggerakkan Anda, si pasien, melalui kebaikan atau keburukannya (menurut anggapan Anda).

Gerakan-gerakan menuju kebaikan dan menjauhi keburukan ini, “perjalanan-perjalanan” ini, adalah hasrat. Kita menamai hasrat ini dengan nama-nama seperti kasih dan benci, kegembiraan dan kesedihan, percaya diri dan rasa takut, belas kasihan dan pembalasan. Seperti yang Paulus katakan dalam Efesus 2:3, “Kita hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kita.”

Hasrat adalah pelaksanaan dari keinginan tubuh dan jiwa manusia, gerakan menuju apa yang kita anggap sebagai baik atau menjauh dari apa yang kita anggap sebagai buruk. Paulus memerintahkan orang-orang Kristen dalam Kolose 3:2 untuk “Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi.” Terjemahan yang lebih tua mengatakan, “Arahkanlah afeksimu [yaitu hasrat] pada hal-hal yang di atas,” yang berarti “Tertariklah kepada yang baik seperti yang didefinisikan oleh Allah dan tolaklah yang jahat seperti yang didefinisikan oleh Allah, bukan seperti yang didefinisikan oleh manusia yang telah jatuh dan natur berdosanya.”

Kehidupan ciptaan yang pasibel, pengalaman dari hasrat, adalah aliran pergeseran yang konstan dari pergerakan dan gerakan, naik dan turun, perubahan yang disebabkan oleh berbagai jenis kekuatan dari luar. Lampu hijau membuat kita senang sesaat; kemudian lampu merah mengubah total suasana hati kita. Sebuah poin yang dicetak oleh tim olahraga favorit kita memberikan kita kepuasan dan keyakinan besar; kemudian sebuah poin yang dicetak oleh tim lawan memicu frustrasi dan rasa takut.

Setelah kita memahami apa artinya menjadi pasibel, kita dapat bersukacita dan menyembah Allah kita yang impasibel. Impasibilitas adalah sebuah negasi. Jadi ketika kita berkata bahwa Allah “tanpa hasrat” atau bahwa Allah adalah impasibel, kita menyangkal bahwa hasrat yang telah kita jelaskan di atas ada di dalam Allah. Allah tidak pernah menjadi pasien dari suatu agen. Allah tidak pernah digerakkan oleh sesuatu yang dapat memprovokasi perubahan dalam diri-Nya. Ciptaan tidak dapat menggunakan kekuatan pada Sang Pencipta dengan mengubah Dia dan menyebabkan Dia bergerak menuju suatu hal yang dianggap baik atau menjauh dari suatu hal yang dianggap buruk.

Sebaliknya, Allah “terpuji sampai selama-lamanya” (Rm. 1:25; 2 Kor. 11:31), dan kebenaran atau kejahatan kita tidak mengubah Allah (Ayub 35:5–8). Ini adalah berita yang luar biasa, karena ini berarti bahwa kasih dan belas kasihan Allah, misalnya, bukanlah hasrat seperti yang ada pada ciptaan melainkan kesempurnaan. Maksudnya adalah bahwa Allah tidak tergerak untuk mengasihi atau tergerak untuk berbelas kasihan melainkan Ia mengasihi dan menunjukkan belas kasihan dari kepenuhan kebaikan-Nya sendiri yang tak terbatas. Allah tidak digerakkan untuk mengasihi; “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:8), dan karena kasih Allah bukanlah hasrat, maka Ia tidak dapat berhenti menjadi kasih sebagaimana Ia tidak dapat berhenti dari keberadaan.

Jika kasih Allah merupakan hasrat seperti hasrat kita, maka kasih itu akan berubah secara konstan berdasarkan kebaikan dan keburukan kita. Perubahan kita akan menyebabkan perubahan pada Allah. Bahkan, seluruh ciptaan akan terus-menerus menjadi penyebab perubahan pada diri Allah yang Mahatahu dan Mahahadir. Akan tetapi, Allah berhubungan dengan ciptaan dan mengasihi umat-Nya dengan kasih yang selama-lamanya persis karena Allah mengasihi kita dari kepenuhan-Nya sendiri yang tak terbatas dan bukan berdasarkan kebaikan yang dianggap ada di dalam diri kita. Sesungguhnya, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh. 4:19). Biarlah umat Allah menyatakan, “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Sesungguhnya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” (Mzm. 136:1).

Demikian pula, Allah tidak tergerak untuk berbelas kasihan oleh sesuatu yang Dia anggap ada di dalam diri kita. Belas kasihan kita bergantung pada perasaan hati kita yang ditarik kepada seseorang atau sesuatu. Banyak pemberian amal bergantung pada menggerakkan orang untuk berbelas kasihan. Meskipun mungkin ada kerusakan dalam sistem seperti itu, kita harus mengakui dengan rasa malu bahwa kita mengabaikan penderitaan yang nyata dari banyak orang. Kita melakukan hal ini karena kita harus digerakkan untuk berbelas kasihan. Namun, belas kasihan Allah bukanlah suatu hasrat. Allah menolong orang-orang yang tak berdaya dari kepenuhan kebaikan-Nya sendiri yang tak terbatas, bukan dari gerakan yang tulus atau manipulasi emosi. Oleh karena itu, orang-orang yang tak berdaya dapat selalu berseru kepada Allah, karena mengetahui bahwa Dia bukan berbelas kasihan tetapi adalah belas kasihan itu sendiri. Allah tidak digerakkan untuk berbelas kasihan; Dia adalah belas kasihan. Marilah kita menyembah dan memuji Allah kita dan berkata, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu!” (Rat. 3:22–23).

Karena impasibilitas adalah sebuah negasi, maka hal ini lebih mudah dipahami dalam kontras dengan pasibilitas manusia. Hasrat kita adalah gerakan dari tubuh dan pikiran, perubahan ditimbulkan saat kita menjadi pasien dari segala jenis agen. Namun, kasih dan belas kasihan Allah, dan lainnya, bukanlah hasrat atau gerakan, perubahan atau keadaan. Sebaliknya, semua itu adalah Allah sendiri, sempurna, tak terbatas, kekal, dan tidak dapat diubah, mencurahkan kebaikan-Nya kepada ciptaan-Nya. Pujilah Tuhan, karena “TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya. Segala yang Kaujadikan akan bersyukur kepada-Mu, ya TUHAN, dan orang-orang yang Kaukasihi akan memuji Engkau.” (Mzm. 145:9–10).


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Samuel D. Renihan
Samuel D. Renihan
Dr. Samuel D. Renihan adalah pendeta dari Trinity Reformed Baptist Church di La Mirada, California. Ia adalah penulis buku God without Passions dan The Mystery of Christ, His Covenant, and His Kingdom.