Aseitas dan Simplisitas
06 Desember 2023
Impasibilitas
11 Desember 2023
Aseitas dan Simplisitas
06 Desember 2023
Impasibilitas
11 Desember 2023

Imutabilitas

Ungkapan “imutabilitas Allah” berarti bahwa Allah tidak berubah dan tidak dapat diubah (Bil. 23:19; 1 Sam. 15:29; Mzm. 102:27-28; Mal. 3:6; Ibr. 6:13-20; Pengakuan Iman Westminster 2.1; Katekismus Besar Westminster 7; Katekismus Kecil Westminster 4). Hal ini berlaku untuk ketiga pribadi – Bapa, Anak, dan Roh Kudus – karena Allah adalah satu yang tidak terpisahkan dan identik dengan atribut-atribut-Nya. Hal ini memang harus demikian – tidak bisa tidak – oleh karena keniscayaan natur-Nya.

Imutabilitas terkait dengan simplisitas (Allah tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian) dan impasibilitas (Dia tidak dibatasi oleh kekuatan eksternal). Karena tidak ada kekuatan atau entitas ciptaan yang dapat mempengaruhi Allah, Dia tetap adalah Dia sejak kekal. Jika Allah berubah, maka itu akan melibatkan suatu pergerakan menuju atau dari sesuatu yang lebih baik, yang menyiratkan pada tahap tertentu ada suatu keadaan yang lebih rendah dari keadaan terbaik. Kemungkinan lainnya, suatu kekuatan atau entitas eksternal akan memiliki kuasa atas-Nya. Tidak satu pun dari ide-ide tersebut yang mungkin valid.

KRITIK

1. Beberapa orang berpendapat bahwa imutabilitas mengandaikan bahwa Allah itu statis, seperti balok beton. Sejak masa G.W.F. Hegel (1770-1831) dan seterusnya, semakin banyak pendapat yang menyatakan bahwa Allah berada dalam keadaan menjadi, dinamis, dan dapat berubah. Allah dan ciptaan secara efektif saling bergantung, dibawa bersama dalam sebuah proses kosmik. Hal ini asing bagi Alkitab dan mengaburkan atau menghapus perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan.

Selain itu, imutabilitas Allah tidak mencakup atau menuntut pengertian statis ini. Di dalam Tritunggal, kelahiran dari Anak dan keluarnya Roh Kudus dalam kekekalan menunjukkan bahwa Allah adalah kehidupan itu sendiri, dinamis yang tidak berubah. Imutabilitas semata-mata menegaskan bahwa Allah selama-lamanya bertindak sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Ia adalah kehidupan itu sendiri dan tetap demikian adanya selama-lamanya. Herman Bavinck mengatakannya dengan baik: “Sudah menjadi natur [Allah] untuk menghasilkan dan berbuah.”

2. Telah diungkapkan ketidaknyamanan mengenai penggunaan Thomas Aquinas atas ide Aristoteles tentang “sang penggerak yang tidak digerakkan” (the unmoved mover). Namun, Thomas mengacu pada hal ini untuk menyatakan bahwa semua entitas yang diciptakan digerakkan dengan mendapatkan tindakan dari suatu entitas lain. Akan tetapi, Allah bertindak atas semua entitas sebagai pencipta dan pemelihara mereka, sedangkan Dia sendiri tidak dipengaruhi oleh kekuatan yang dicipta atau batasan eksternal. Dia tidak digerakkan. Hal ini terkait dengan kemahakuasaan dan kedaulatan-Nya dan juga pada penciptaan ex nihilo, karena semua entitas lain diciptakan dan kontingen/bergantung (semua ini mungkin saja tidak ada; sepenuhnya bergantung pada kehendak-Nya; dan dapat Dia akhiri). Seorang pengamat mengatakan bahwa keberatan ini mengandaikan bahwa Allah adalah “sesuatu yang bukan penggerak yang paling banyak digerakkan” (a most moved unmover).

3. Sejumlah pernyataan Alkitab berbicara tentang Allah mengubah pikiran-Nya atau mengekspresikan emosi seperti penyesalan (misalnya, Kej. 6:6; 1 Sam. 15:11, 35; Yun. 3:10; 4:2). Tetapi dalam setiap keadaan ini, menurut Steven J. Duby, “adalah tepat untuk mengatakan bahwa Allah tidak berubah dalam hubungannya dengan ciptaan-Nya, sebaliknya, ciptaan-Nya berubah dalam hubungannya dengan Dia,” dan hal ini diungkapkan dalam bahasa antropomorfis, yang disesuaikan dengan pemahaman kita.

4. Para penganut teisme terbuka “Injili” berpendapat bahwa Allah yang dapat berubah menghasilkan hubungan timbal balik yang menggairahkan dalam doa, di mana kita dapat memberi masukan dalam keputusan Allah. Akan tetapi, klaim semacam itu mengandung kemungkinan bahwa tujuan kekal Allah dapat digagalkan oleh entitas yang telah Dia ciptakan, dengan Dia sebagai pengamat yang lemah dan tak berdaya. Sekali lagi, hal ini bertentangan dengan Alkitab.

FAKTOR-FAKTOR BIBLIS DAN TEOLOGIS

Allah adalah Allah yang hidup, kehidupan itu sendiri. Pemberian-Nya kepada ciptaan-Nya yang berupa kehidupan yang terbatas dan kontingen adalah keputusan yang bebas dan berdaulat yang didasarkan pada natur-Nya yang tidak berubah. Seperti yang ditulis oleh Bavinck, jika Bapa tidak dapat melahirkan Anak atau (bersama Anak) menghembuskan Roh Kudus, Dia tidak akan dapat dengan bebas memberi keberadaan pada ciptaan. Aktivitas-aktivitas kekal ini tidak mengimplikasikan bahwa Allah berubah; Ia adalah (is) seperti ini secara kekal dan keadaan-Nya sejak kekal tidak (is not) disebabkan oleh kekuatan apa pun dari luar, yang sebenarnya tidak ada.

Imutabilitas berarti bahwa Allah sejatinya tidak berubah terhadap diri-Nya sendiri dan dengan demikian terhadap tujuan dan janji-janji-Nya (Mal. 3:6). Dia berdaulat dan tidak dipengaruhi oleh agen atau kekuatan eksternal. Oleh sebab itu, karakter-Nya tidak akan dan tidak dapat berubah. Ini adalah landasan bagi semua karya penciptaan, pemeliharaan, dan anugerah-Nya yang eksternal. Ini adalah dasar dari iman dan keyakinan kita (Ibr. 6:13-20).

Sebagian orang berpendapat bahwa inkarnasi adalah sesuatu yang baru bagi Allah. Inkarnasi melibatkan Anak, salah satu anggota Trinitas, yang mengambil bagi diri-Nya sendiri, persatuan pribadi dengan natur manusia yang permanen dan selama-lamanya, yang dalam tindakan itu natur manusia-Nya terbentuk. Dari sudut pandang sejarah, ini adalah sebuah peristiwa nyata di dunia kita yang terjadi baru lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Sebelum itu, hal ini belum terjadi; setelah itu, hal ini telah terjadi.

Akan tetapi, adalah keputusan utama Allah untuk berinkarnasi di dalam Yesus Kristus sejak saat itu dan untuk selama-lamanya, sebagai dasar dari pemilihan dan persatuan kita dengan-Nya (Ef. 1:4). Selain itu, dalam inkarnasi, Allah sendiri tidak berubah. Sang Anak tidak menjadi manusia dalam arti berubah menjadi manusia. Ia tidak meningkatkan diri-Nya atau menambahkan sesuatu pada keberadaan-Nya yang selalu sama dulu dan sekarang, yang jika demikian bukanlah inkarnasi melainkan metamorfosis. Sebaliknya, Sang Anak, dengan mengambil natur manusia ke dalam persatuan yang permanen, sehingga natur manusia itu menjadi natur manusia-Nya (Flp. 2:6-7), menjadi manusia sedemikian rupa sehingga Ia berlanjut, sebagai Anak atau Logos, menjadi subjek dari semua pengalaman Yesus dari Nazaret, sambil tetap menjadi diri-Nya yang sama, dulu dan sekarang (Yoh. 1:1-4, 14-18; Ibr. 13:8), mengalaminya sebagai manusia. Dari situ, proses kehidupan manusia di dunia ini, termasuk penderitaan, kematian, penguburan, dan kebangkitan, dikenal oleh Allah dari sudut pandang manusia. Imutabilitas Allah menjamin hal ini.

IMPLIKASI DAN KONSEKUENSI

Imutabilitas (bersama dengan simplisitas dan impasibilitas) adalah dasar bagi seluruh teologi. Ini memberikan landasan bagi karya penebusan, karena Allah senantiasa setia kepada perjanjian-Nya dan janji-janji-Nya. Ini adalah benteng yang sangat penting bagi keyakinan kita (Ibr. 6:13-20), karena “kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang yang takut akan Dia” (Mzm. 103:17).


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Robert Letham
Robert Letham
Dr. Robert Letham adalah profesor teologi sistematika dan historika di Union School of Theology di Wales. Ia adalah penulis dari berbagai buku, termasuk The Holy Trinity, The Work of Christ, dan Union with Christ.