Teologi Menuntun kepada Doksologi
05 Desember 2023
Imutabilitas
08 Desember 2023
Teologi Menuntun kepada Doksologi
05 Desember 2023
Imutabilitas
08 Desember 2023

Aseitas dan Simplisitas

Orang Kristen menyembah Allah yang sejati, yang nama-Nya adalah “AKU” (Kel. 3:14). Sebagian orang mungkin menganggap ini sebagai nama yang tidak berbobot dan terlalu lemah untuk Allah. Lagipula, bukankah kita dapat menyebut “itu” untuk segala sesuatu yang nyata, dari gajah hingga elektron? Lalu bagaimana nama “AKU” menjadi nama yang unik dan bermakna bagi Allah yang kita sembah dan yang kepada-Nya kita bergantung untuk hidup, napas, dan segala sesuatu (Kis. 17:25)? Konteks pengungkapan Allah sendiri yang luar biasa tentang nama-Nya kepada Musa dalam Keluaran 3 adalah janji-Nya untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Musa mengakui ketidakcukupan dirinya untuk karya penebusan ini (Kel. 3:11). Untuk meyakinkan Musa dan umat Israel bahwa Dia cukup secara sempurna untuk penyelamatan yang hampir tak terbayangkan ini, Allah mengidentifikasi diri-Nya dengan nama yang tidak biasa ini. Nama ini menunjukkan alasan keandalan yang sempurna dari Allah.

Para teolog telah lama memahami nama ini sebagai tanda kecukupan diri (self-sufficiency) yang total dan kelimpahan keberadaan yang tak terbatas dari Allah. Allah tidak berkata kepada Musa “AKU adalah ini” atau “AKU adalah itu”, tetapi hanya “AKU adalah AKU.” Dia tidak merinci atau membatasi tindakan keberadaan-Nya pada sesuatu yang khusus, dan dengan demikian mengungkapkan kepada kita kebenaran yang tidak dapat dipahami bahwa Dia semata-mata adalah milik-Nya sendiri, alasan keberadaan-Nya sendiri. Inilah persis mengapa kita dapat bergantung kepada-Nya sepenuhnya dan tanpa kuatir—karena Dia tidak bergantung kepada apa pun, bahkan tidak pada tindakan eksistensi yang benar-benar berbeda dari diri-Nya sendiri. Jika Allah dalam satu cara saja adalah makhluk yang dependen/tidak mandiri, maka semua keyakinan kita kepada-Nya harus didasarkan pada sesuatu yang lebih mendasar dalam realitas daripada Allah. Namun, Kitab Suci sangat jelas bahwa tidak ada yang lebih mendasar dan absolut dalam keberadaan selain Allah. Dia adalah Pribadi yang segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia (Rm. 11:36). Kita dapat menelusuri penjelasan sebab-akibat dari semua keberadaan non-ilahi dan peristiwa kepada Allah sendiri pada akhirnya. Dan jika kita bertanya, “Mengapa Allah?” jawabannya hanyalah “Allah.” Sebagai “AKU,” Allah semata-mata sang Adalah yang karenanya Dia ada. Sesungguhnya, Allah tidak “memiliki” eksistensi melainkan “adalah” eksistensi itu sendiri yang berada, seperti yang telah ditegaskan oleh para teolog Kristen ortodoks sepanjang abad. Eksistensi-Nya mencakupi di dalamnya semua realitas yang kita nyatakan kepada-Nya—kebijaksanaan, kuasa, kebaikan, keadilan, kasih, kebenaran-Nya, dan seterusnya. Adalah-nya Allah harus dimengerti sebagai kepenuhan keberadaan yang tidak terbatas dan bukan sebagai konsep paling minim dari sekadar “ada di sana.”

Sebutan yang diberikan kepada doktrin kecukupan diri Allah yang independen (mandiri) ini adalah aseitas. Sebutan ini diadaptasi dari bahasa Latin a se, yang berarti “dari diri-Nya sendiri.” Mungkin akan membantu jika memikirkan doktrin ini sebagai doktrin of-Himself-ness (ke-dari-diri-sendiri-an) Allah. Teolog Reformed Belanda Herman Bavinck mengatakan bahwa “ketika Allah menyatakan atribut aseitas ini kepada diri-Nya sendiri di dalam Alkitab, Ia membuat diri-Nya dikenal sebagai keberadaan yang absolut, sebagai Dia yang adalah dalam pengertian yang absolut.” Bavinck menambahkan, “Dengan kesempurnaan ini, Ia sekaligus secara esensial dan absolut berbeda dari semua ciptaan.” Ciptaan, hanya karena mereka adalah ciptaan, bergantung pada penyebab keberadaan mereka untuk bisa eksis, untuk memiliki sifat-sifat tertentu yang mereka miliki, untuk beroperasi seperti yang mereka lakukan, dan seterusnya. Tetapi Allah tidak eksis atau beroperasi dengan ketergantungan yang demikian pada penyebab. Dia memberi kepada semua tetapi tidak menerima dari siapa pun. Seperti yang Allah tanyakan kepada Ayub dalam Ayub 41:2: “Siapakah yang lebih dahulu memberi kepada-Ku sehingga Aku harus membayar kembali? Apa yang ada di seluruh kolong langit adalah kepunyaan-Ku” (ESV Job 41:11 – ada perbedaan ayat dengan LAI).

Kesalahpahaman terkadang dapat muncul mengenai aseitas dan independen/kemandirian Allah. Pertama, perlu diperhatikan bahwa aseitas tidak berarti Allah adalah penyebab dari diri-Nya sendiri. Ia adalah dari diri-Nya sendiri dalam arti Ia adalah alasan yang secara sempurna memadai untuk eksistensi, esensi, dan tindakan-Nya sendiri. Ini tidak sama dengan mengatakan Ia menyebabkan diri-Nya sendiri. Sebagai penyebab pertama yang absolut dari segala sesuatu yang diciptakan, Allah tidak termasuk di antara hal-hal yang disebabkan menjadi ada. Jika Ia demikian, Ia tidak akan menjadi penyebab pertama yang absolut; ada sesuatu yang mendahului-Nya dalam keberadaan. Perlu juga diperhatikan bahwa sesuatu tidak dapat menjadi penyebab bagi dirinya sendiri dalam pengertian yang ketat karena menyebabkan adalah sebuah tindakan yang membutuhkan eksistensi operator sebagai prasyarat yang diperlukan. Seseorang tidak dapat melakukan jika seseorang itu tidak ada.

Kedua, aseitas ilahi bukan berarti bahwa Allah tidak bergantung pada penyebab eksternal, meskipun Ia entah bagaimana berada dalam ketergantungan pada penyebab internal. Beberapa teolog modern menyatakan bahwa aseitas hanya berarti bahwa Allah tidak bergantung pada penyebab di luar diri-Nya, sementara membuka kemungkinan bahwa Ia terdiri dari bagian-bagian dan dengan demikian entah bagaimana bergantung pada bagian-bagian dari diri-Nya. Cukup dengan mengatakan, jika Allah terdiri dari bagian-bagian internal, Dia masih membutuhkan agen eksternal tertentu untuk menyatukan bagian-bagian tersebut, dan dengan demikian masalah ketergantungan eksternal tidak terhindarkan. Aseitas berarti bahwa Allah independen/mandiri dari segala penyebab, baik dari dalam (sebagai bagian) maupun dari luar (sebagai perancang atau penyebab yang efisien).

Terakhir, orang mungkin khawatir bahwa aseitas ilahi entah bagaimana memisahkan Allah dari hubungan yang bermakna dan intim dengan ciptaan-Nya. Jika Allah sungguh-sungguh independen dalam setiap aspek keberadaan dan kehidupan-Nya, bagaimana hal itu tidak menghasilkan allah Deisme yang jauh? Orang Kristen tentu tidak boleh berpikir bahwa Allah itu terasing atau jauh dari ciptaan-Nya. Di dalam Dia kita hidup, bergerak, dan memiliki keberadaan kita (Kis. 17:28). Aseitas berarti kebalikannya tidaklah demikian. Allah tidak hidup, bergerak, atau memiliki keberadaan-Nya di dalam atau dari ciptaan-Nya. Dia begitu dekat dengan masing-masing kita sedekat tindakan keberadaan yang persis karenanya kita eksis karena Dia adalah penyebab langsung dari tindakan tersebut. Akan tetapi, Dia tidak dekat dengan kita dalam cara yang sedemikian rupa sehingga Dia mendapatkan sesuatu dari kita. Oleh karena Dia adalah “AKU”, dan dengan demikian a se, maka Dia dapat menyediakan segala sesuatu bagi kita – eksistensi, esensi, dan aktivitas. Semua ini diberikan kepada kita dari kesempurnaan keberadaan Allah sendiri yang melimpah. Dengan demikian, bukannya menjauhkan Allah dari kita, aseitas-Nya adalah alasan persisnya Dia bisa begitu dekat dengan kita dalam kelimpahan dan pemeliharaan yang begitu luar biasa. Dia dekat dengan kita sebagai Pemberi, bukan sebagai Penerima.

Doktrin simplisitas ilahi sering kali dipasangkan dengan aseitas Allah. Dalam satu arti, simplisitas hanyalah sebuah mekanisme untuk mempertahankan kebenaran akan aseitas dan kemandirian Allah. Doktrin ini menyatakan bahwa Allah tidak terdiri dari bagian. Ajaran ini dapat ditemukan dalam tulisan bapa-bapa gereja, para skolastik abad pertengahan, dan generasi awal teolog Protestan. Ajaran ini juga diajarkan dalam beberapa pengakuan iman Reformed yang lebih dikenal. Sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian bergantung pada bagian-bagiannya untuk beberapa aspek keberadaannya. Terlebih lagi, bagian-bagiannya benar-benar berbeda dari keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian tersebut. Sebuah setir bukanlah sebuah mobil. Sebuah kelopak bunga bukanlah bunga. Bentuk berupa anjing bukanlah seekor anjing. Sebuah tubuh material bukanlah seorang manusia. Dan seterusnya. Setiap bagian ini diperlukan untuk aspek tertentu dari keberadaan keseluruhan di mana bagian ini tergabung. Dan meskipun keseluruhan gabungan itu lebih besar keberadaannya daripada salah satu dari bagian-bagiannya, bagaimanapun juga keseluruhan itu bergantung pada bagian-bagiannya untuk keberadaannya. Jika Allah adalah penyebab pertama yang absolut dari keberadaan, Dia yang adalah “AKU” dalam segala kekayaan eksistensial dari nama tersebut, maka Dia tidak dapat eksis seperti keberadaan yang bergantung pada bagian-bagiannya.

Simplisitas ilahi memiliki implikasi teologis yang mendalam. Ini berarti bahwa Allah tidak memiliki eksistensi, esensi, atau atribut-Nya sebagai komponen-komponen yang darinya Ia memperoleh kesatuan keberadaan-Nya. Sebaliknya, Allah semata-mata adalah eksistensi, esensi, dan atribut-Nya. Kesatuan keberadaan-Nya bukanlah konsekuensi dari sesuatu yang lebih mendasar daripada diri-Nya sendiri. Ini juga berarti bahwa atribut-atribut Allah, meskipun berbeda dalam pengertian kita dan dalam pembicaraan kita tentang Allah, tidak eksis di dalam Allah sebagai sekumpulan sifat-sifat yang benar-benar berbeda. John Owen, seorang Puritan, menulis, “Atribut-atribut Allah, yang masing-masing kelihatannya merupakan hal-hal yang berbeda di dalam esensi Allah, semua pada dasarnya adalah sama antara satu dengan yang lain, dan setiap atribut adalah sama dengan esensi Allah itu sendiri” (penekanan ditambahkan). Ini berarti bahwa Allah semata adalah kasih yang dengannya Dia mengasihi, kebijaksanaan yang dengannya Dia bertindak bijaksana, kuasa yang dengannya Dia berkuasa, dan seterusnya. Dan setiap sifat ilahi ini tidak lain adalah keilahian itu sendiri, persis ke-allah-an Allah itu sendiri. Simplisitas ilahi tidak sekadar menegaskan keselarasan di antara atribut-atribut Allah – seperti yang dapat dikatakan tentang atribut-atribut para malaikat kudus – melainkan mengeklaim bahwa setiap atribut, meskipun diungkapkan dan dipahami secara berbeda oleh kita, sebenarnya tidak lain adalah Allah yang simple itu sendiri.

Untuk semua misteri yang ada dalam doktrin aseitas dan simplisitas, seharusnya jelas bahwa Allah hanya akan menjadi Allah jika Ia cukup pada diri-Nya sendiri secara sempurna dan tidak terdiri dari bagian-bagian. Karena Allah tidak terdiri dari bagian-bagian, Dia tidak dapat hancur berantakan di hadapan kita. Tidak ada bagian Dia yang karenanya Ia dapat hancur. Karena Dia adalah a se dan simple maka kita dapat menyerahkan diri kita kepada-Nya dan Firman-Nya sepenuhnya dan tanpa kuatir.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
James E. Dolezal
James E. Dolezal
Dr. James E. Dolezal adalah direktur dan profesor teologi di Radius Theological Institute di Bakersfield, California, dan juga mengajar di School of Divinity di Cairn University di Langhorne, Pennsylvania. Ia adalah penulis dari All That Is in God dan God without Parts.