
Mengapa Saya Seharusnya Pergi ke Gereja?
28 Agustus 2025Bagaimana Saya Bisa Menjadi Seorang Ayah yang Saleh?

Alkitab penuh dengan perintah-perintah ilahi menyangkut apa yang harus dilakukan sebagai seorang ayah—dan juga apa yang tidak boleh dilakukan—sebagaimana ditunjukkan oleh perintah ganda Paulus “Hai Bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef. 6:4). Sejalan dengan perintah tersebut, Alkitab memberi banyak contoh keayahan yang positif maupun negatif. Contoh yang negatif sepertinya secara khusus memilukan, khususnya ketika kita membaca tentang pria-pria saleh yang anak-anaknya tidak mengikuti cara hidup mereka atau mengalami kegagalan besar. Banyaknya contoh tersebut menunjukkan pola yang harus diperhatikan oleh para ayah. Sebuah dosa yang sering dan merusak yang dilakukan seorang anak, andai ditegur oleh ayahnya, mungkin tidak akan berakhir sebagaimana yang telah terjadi.
Kisah-kisah Perjanjian Lama berikut ini diberikan Allah untuk memperlihatkan lebih dari sekadar perintah kepada orang tua, tetapi pada saat yang sama juga tidak kurang dari itu. Karena itu, kisah-kisah ini memberi kepada kita peringatan dan kesempatan untuk belajar cara terbaik menuntun anak-anak kita (dan diri kita sendiri) kepada kesalehan. Kita jelas tidak dapat menjadi juru selamat anak kita. Namun, karena anugerah Allah, kita sebagai ayah dapat secara proaktif mengarahkan mereka kepada Yesus Kristus, yang tidak hanya menyelamatkan kita dari dosa-dosa yang kita lakukan, tetapi juga dari dosa-dosa dan akibat-akibat lebih besar yang mungkin dapat dicegah. Simaklah beberapa adegan berikut ini dari Kitab Kejadian.
Adam: Amarah Kain.
Tidak butuh waktu lama bagi dosa Adam dan Hawa di dalam Kejadian 3 untuk memperlihatkan dampaknya terhadap keluarga pertama tersebut. Anak-anak lelaki mereka, Kain dan Habel, baru saja diperkenalkan ketika kita melihat konflik dalam rumah tangga terjadi. Kain marah terhadap perkenanan Allah atas persembahan adiknya daripada persembahannya sendiri. Meskipun Allah telah berbicara secara langsung dengan Kain (Kej. 4:6), itu tidak cukup untuk mengalihkan dia dari amarahnya, yang kemudian dilampiaskannya secara penuh dengan membunuh adiknya, Habel. Kain lalu ditetapkan sebagai buron dan pengembara selama sisa hidupnya. Adakah tanda-tanda sebelumnya untuk temperamental dan kemarahan yang seperti ini pada Kain yang bisa saja telah ditangani? Apakah Adam menengahi, atau apakah ia hanya duduk-duduk saja sebagaimana yang dahulu ia lakukan ketika Hawa ditipu oleh si ular?
Ishak: Sifat Impulsif Esau dan Sifat Penipu Yakub.
Alkitab mengatakan bahwa Esau yang berbulu lebat adalah “seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang” (Kej. 25:27), tetapi ia sepertinya sama impulsifnya dengan binatang-binatang yang ia bunuh. Menjual hak kesulungannya kepada adiknya demi semangkok makanan karena merasa lelah dan lapar sepulang dari padang bukanlah sebuah keputusan yang bijaksana (Kej. 25:30-34). Apakah ia tidak memikirkan konsekuensi dari keputusannya sebelum ia menyetujui persyaratan yang diajukan? Bertahun-tahun kemudian, Esau mengambil istri dari orang asing meski Ishak, ayahnya, telah memerintahkannya agar “Jangan ambil istri dari antara perempuan Kanaan” (Kej. 28:6). Mungkin ia melakukan hal itu karena kekesalan terhadap ayahnya, dan rasa sakit karena ditipu oleh adiknya. Namun, ia harus hidup dengan konsekuensi tinggal bersama istri asing dan hidup di luar umat perjanjian Allah. Andai ayahnya, Ishak, dapat membuat Esau menyadari akibat-akibat dari keputusan buruknya sejak awal, mungkinkan akibat-akibat selanjutnya tetap sama?
Kisah Yakub yang membalutkan kulit anak kambing dan berpakaian seperti saudaranya untuk menipu ayahnya yang sudah tua dan rabun cukup kita kenal. Namun, tidakkah sudah ada tanda-tanda penipuan Yakub sebelumnya, yaitu ketika Yakub mendapatkan hak kesulungan dari saudaranya? Tidakkah ia menghidupi nama yang diberikan orang tuanya yang bermakna ganda, “memegang tumit” dan “penipu”? Ketika saudara kembarnya, Esau, menyadari bahwa ia telah ditipu, ia berseru, “Bukankah tepat namanya Yakub, karena ia telah dua kali menipu aku. Hak kesulunganku telah dirampasnya, dan sekarang dirampasnya pula berkatku itu” (Kej. 27:36). Ironi yang lebih besar dari kisah tersebut adalah Ishak tertipu dan dibohongi dengan cara yang sama ia menipu dan membohongi Abimelekh (Kej. 26:7). Andai Ishak berani menghadapi penipuannya sendiri, apa yang dapat ia ajarkan kepada anaknya?
Yakub: Ketidakpuasan Dina dan Kesombongan Yusuf.
Satu-satunya anak perempuan Yakub yang disebutkan namanya di dalam Alkitab adalah Dina. Kitab Kejadian berkata bahwa ia “pergi mengunjungi perempuan-perempuan di negeri itu” (Kej. 34:1). Kata “negeri” merujuk kepada kota Sikhem yang kafir dan diduduki orang-orang asing. Apa yang membuatnya meninggalkan rumah untuk mencari sesuatu dari para perempuan di kota tetangga itu? Di Sikhem, ia menemukan kefasikan yang sebenarnya dari negeri itu ketika ia diperkosa secara mengerikan oleh seorang pria yang mengambil keuntungan darinya. Apakah Yakub terlalu sibuk dengan hidupnya sehingga ia tidak memperhatikan mata jelalatan putrinya, yang menuntunnya pergi dan akhirnya mengalami pelecehan tersebut?
Yusuf muda menerima dua mimpi: mimpi bahwa dirinya ditinggikan, dan mimpi bahwa saudara-saudaranya sujud menyembahnya. Mimpi-mimpi ini membakar amarah saudara-saudaranya terhadap dia. Bagaimana mereka mengetahui mimpi-mimpi tersebut? Mereka tahu karena Yusuf memberitahukannya kepada mereka. Apakah ini sifat ketidakdewasaan anak muda, atau apakah ini keluar dari hati yang sombong—kesombongan yang mungkin ditumbuhkan oleh sifat pilih kasih Yakub terhadap Yusuf (Kej. 37:3)? Apakah Yakub tidak belajar tentang konsekuensi dari favoritisme seperti ini dari pengalamannya sendiri dengan orang tua dan saudaranya?
Sebuah Panggilan bagi Para Ayah.
Jika waktu mengizinkan, kita dapat memperluas studi kita kepada Manoah dan Simson, Eli dan anak-anaknya, Samuel dan anak-anaknya, atau Daud dan Absalom. Tujuan saya bukanlah menghakimi para ayah, atau sekadar memainkan permainan hipotesis “Bagaimana Seandainya”. Allah memakai situasi-situasi berdosa dari para ayah dan anak ini demi rencana penebusan-Nya, yang menunjukkan bahwa anugerah-Nya benar-benar jauh lebih besar daripada segala dosa kita.
Kedaulatan Allah atas semua tindakan ini tidak mengurangi rasa sakit dan konsekuensi yang ditanggung oleh orang-orang tersebut, atau akibat-akibat yang sangat buruk dari dosa yang kita alami sebagai keluarga. Semua dosa yang disebutkan tersebut, meski bukan sebuah daftar yang lengkap, bukan hanya dosa-dosa di masa lalu, tetapi juga dosa-dosa yang nyata pada anak-anak kita sendiri (dan sering kali juga pada kita para ayah). Ketika kita melihat kecenderungan berdosa yang sama pada anak-anak kita, para ayah seharusnya tidak duduk diam, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada anak-anak kita. Kisah-kisah di atas mengindikasikan bahwa itu kecil kemungkinannya. Sebaliknya, kita seharusnya melibatkan hati dan pikiran anak-anak kita dengan kebenaran, dan ketika mereka melakukan dosa, untuk membawa mereka kembali dengan penuh kasih melalui pengampunan dan pertobatan kepada jalan yang benar. Kita dipanggil sebagai ayah untuk menjadi gembala dan penuntun bagi anak-anak kita dalam perjalanan iman mereka. Semoga bagi anak-anak kita, kita menjadi seperti suara yang disebutkan oleh Yesaya: “Telingamu akan mendengar perkataan ini dari belakangmu, ‘Inilah jalannya, berjalanlah mengikutinya,’ apabila kamu mau ke kanan atau ke kiri” (Yes. 30:21).
Akan tetapi, dengan semua contoh-contoh tentang relasi ayah-anak di dalam Alkitab tersebut, janganlah kita melupakan satu contoh relasi Bapa-Anak yang sempurna, yang tidak jatuh, tidak pernah goyah, dan tidak pernah gagal. Melampaui hal-hal yang harus dilakukan dan jangan dilakukan oleh seorang ayah, marilah kita selalu bersandar pada apa yang telah dikerjakan—selesai dan tuntas—di dalam Kristus, yang secara sempurna menaati Bapa-Nya bahkan sampai mati. Dari relasi Bapa-Anak tersebut keluarlah semua anugerah, belas kasihan, dan kekuatan bagi kita sebagai ayah ketika kita bertumbuh dalam kesalehan dan keinginan agar keluarga kita melakukan hal yang sama.
Artikel ini merupakan bagian dari koleksi The Basics of Christian Discipleship.