Menggembalakan melalui Doa
20 November 2023
Menghentikan Kecanduan Kita Bergosip
24 November 2023
Menggembalakan melalui Doa
20 November 2023
Menghentikan Kecanduan Kita Bergosip
24 November 2023

Hati dan Pikiran

Ketika anda pertama mendengar istilah “hati dan pikiran”, mungkin anda terpikir akan Perintah yang Terutama, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37). Yesus mengingatkan para pendengar-Nya bahwa mereka harus mengasihi Tuhan dengan seluruh keberadaan mereka. Meski istilah-istilah tersebut kadang sepertinya dipakai secara saling menggantikan, keduanya dapat dibedakan satu dari yang lain. Kata “jiwa” sering kali dipakai untuk menjelaskan keseluruhan keberadaan seseorang yang terus eksis dalam kekekalan (16:26). Tulisan ini hendak menyingkapkan pemahaman alkitabiah akan pikiran dan hati.

Menjelaskan secara paling sederhana, “pikiran” berkaitan dengan pemikiran kita; sedangkan “hati” mencerminkan perasaan kita, yaitu apa yang kita benar-benar pedulikan. Berkaitan dengan Perintah yang Terutama untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan pikiran, jelaslah bahwa kita jauh dari memenuhi standar tersebut. Pada kenyataannya, mendekati pun kita tidak. Alkitab mengajarkan bahwa hati dan pikiran kita telah tercemar oleh dosa. Yeremia mengajarkan bahwa, “Hati itu licik melebihi segala sesuatu, dan tak terpulihkan; siapa yang dapat mengetahuinya?” (Yer. 17:9). Berkaitan dengan pikiran, Alkitab menyimpulkan dampak noetik dari kejatuhan pasangan pertama. Istilah “noetik” berasal dari kata Yunani, nous, yang berarti “pikiran”. Berbicara tentang pikiran yang telah jatuh ke dalam dosa, Paulus menulis, “Sebab keinginan (harafiah: pikiran) daging adalah perseteruan terhadap Allah” (Rm. 8:7).

Akan tetapi, adalah salah bila kita mengira bahwa hati dan pikiran saling eksklusif (mutual exclusive) atau keduanya bekerja sendiri-sendiri. Alkitab mengidentifikasikan “hati”, tempat efeksi, sebagai sistem operasi yang mengatur semua yang lain. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari sanalah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23). Dalam hal ini, orientasi hati kita memengaruhi pikiran dan tindakan kita. Perhatikan bagaimana keduanya saling terkait di dalam Kejadian 6:5, “TUHAN melihat betapa besarnya kejahatan manusia di bumi, dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata.” Hati adalah sumber dari segala niat dan pikiran yang jahat. Paulus mengaitkan keduanya di dalam Efesus 4:18 ketika menjelaskan tentang orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan “pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup yang berasal dari Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kekerasan hati mereka” (penekanan ditambahkan). Alasan mereka memiliki “pengertian . . .  gelap” dan kebodohan adalah kekerasan hati mereka.

Yesus membuat kaitan yang sama ketika Ia menantang musuh-musuh-Nya atas sikap superfisial dan legalistik mereka. “Orang yang baik mengeluarkan apa yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan apa yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Sebab, yang diucapkan mulutnya meluap dari hatinya” (Luk. 6:45). Kaitan tersebut diperluas dari hati kepada perkataan dan perbuatan kita.

Itulah sebabnya kita tidak dapat “mendebatkan” seseorang ke dalam Kerajaan Allah. Benar, Kekristenan sangat logis dan rasional, namun tidak dapat dimengerti tanpa hati yang ditransformasikan. Hati, yaitu sistem operasi hidup seseorang, harus ditransformasikan. Inilah yang persis dijanjikan Tuhan di dalam Yehezkiel 36:26, “Aku akan memberikan kepadamu hati yang baru dan roh yang baru dalam batinmu. Aku akan menyingkirkan dari tubuhmu hati yang membatu dan memberikan kepadamu hati yang lembut.” Hanya setelah kita diberikan hati yang baru, transformasi atas pikiran kita dapat benar-benar dimulai.

Hati dan pikiran terlibat dalam proses transformasi ini. Berkaitan dengan pikiran, penting bagi kita untuk mengetahui fakta-fakta Injil (notitia). Namun, mengetahui fakta saja tidaklah cukup, kita juga harus mengakui fakta-fakta tersebut (assensus). Penting juga bagi kita untuk merangkul dengan hangat dan menerima kebenaran ini (fiducia). Tindakan terakhir merangkul kebenaran ini melibatkan hati dalam deskripsi lengkap dari iman yang menyelamatkan.

Semua ini menuntun kita kepada orientasi baru dalam seluruh kehidupan. Sejak saat itu, kita dipanggil untuk menguatkan dan mengukuhkan hati kita kepada Allah dengan melibatkan pikiran kita. Perjanjian Baru memuat beberapa istilah yang luar biasa tentang hal ini. Di dalam suratnya kepada jemaat Roma, Paulus menulis, “Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna” (Rm. 12:2). Kata yang diterjemahkan menjadi “berubahlah” (be transformed)  adalah kata yang darinya kita mendapatkan istilah metamorfosis. Ketika mendengar istilah ini, kita sering kali memikirkan tentang perubahan bertahap dalam kehidupan seekor kupu-kupu. Kemiripannya dengan kita adalah kita pun mengalami transformasi bertahap dalam pola pikir kita. Pikiran-pikiran kita tidak lagi tertuju pada dunia, tetapi kita seharusnya mengembangkan perspektif baru yang meluas dari horisontal hingga mencakup perspektif vertikal yang ilahi. Paulus mengatakan seperti ini di dalam suratnya kepada jemaat di Kolose:

Karena itu, apabila kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah hal-hal yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. (Kol. 3:1-3)

Penting untuk kita sadari bahwa argumentasi Paulus di atas tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan sebuah pendekatan yang “sangat berwawasan surgawi sehingga tidak bermanfaat bagi kehidupan di bumi”. Justru sebaliknya: melihat ke belakang pada perkataan Paulus dalam surat Roma menunjukkan bahwa pembaruan pikiran kita dirancang untuk menolong kita “membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna”. Implikasinya, pembaruan itu akan terlihat dalam gaya hidup yang menyingkapkan kasih kita kepada Pencipta dan Penebus kita. Meski kasih kita tidak akan pernah sempurna di sisi ini dari surga, Ia telah mengaruniakan Roh dan Firman-Nya untuk memberi makan nyala api di hati dan pikiran kita sampai kita berjumpa dengan-Nya.


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Timothy Z. Witmer
Timothy Z. Witmer
Dr. Timothy Z. Witmer melayani sebagai pendeta di St. Stephen Reformed Church di New Holland, Philadelphia, dan adalah profesor emeritus di bidang teologi praktika di Westminster Theological Seminary. Ia adalah penulis dari Mindscape.