5 Hal yang Perlu Anda Ketahui tentang Musa
29 Juni 20235 Kebenaran tentang Roh Kudus
06 Juli 20234 Implikasi dari Teologi Martin Luther
Apakah arti kedaulatan Allah, keselamatan oleh anugerah, pembenaran oleh iman, dan hidup baru dalam persatuan dengan Kristus, bagi perjalanan kehidupan Kristen? Bagi Martin Luther, keempat hal tersebut memiliki empat implikasi:
1. Orang Kristen telah dibenarkan sekaligus orang berdosa.
Implikasi pertama adalah pengertian bahwa orang Kristen yang percaya adalah simul iustus et peccator, pada saat yang sama dibenarkan sekaligus orang berdosa. Prinsip ini, yang Luther mungkin distimulasi oleh Theologia Germanica dari John Tauler, merupakan sebuah prinsip yang sangat menstabilkan: di dalam dan mengenai diriku sendiri, yang kulihat hanyalah orang berdosa; tetapi ketika aku melihat diriku di dalam Kristus, aku melihat seseorang yang diperhitungkan sebagai orang benar dengan kebenaran-Nya yang sempurna. Orang seperti ini dengan demikian dapat berdiri di hadapan Allah sebagai orang benar seperti Yesus Kristus—karena dia benar hanya dalam kebenaran yang adalah milik Kristus. Di sini kita berdiri dengan aman.
2. Allah telah menjadi Bapa kita di dalam Kristus.
Implikasi kedua adalah penemuan bahwa Allah telah menjadi Bapa kita di dalam Kristus. Kita diterima. Salah satu catatan yang paling indah yang ditemukan dalam Table Talk karya Luther adalah, mungkin dengan signifikan, dicatat oleh seorang yang agak melankolis tetapi sangat dicintai, yakni John Schlaginhaufen:
Allah pasti jauh lebih ramah terhadap saya dan berbicara kepada saya dengan cara yang lebih ramah dibanding Katy kepada Martin kecil. Baik Katy maupun saya tidak mungkin dengan sengaja mencungkil mata atau mencabut kepala anak kami. Begitu juga Allah. Allah pasti bersabar terhadap kita. Dia telah memberikan bukti akan hal itu, dan karenanya Dia telah mengutus Anak-Nya menjadi manusia supaya kita dapat mengharapkan yang terbaik dari-Nya.
3. Seluruh kehidupan Kristen akan merupakan kehidupan memikul salib.
Ketiga, Luther menekankan bahwa hidup di dalam Kristus seharusnya merupakan hidup di bawah salib. Jika kita dipersatukan dengan Kristus, kehidupan kita akan dibentuk seperti kehidupan-Nya. Jalan bagi baik gereja sejati maupun orang Kristen sejati bukanlah melalui teologi kemuliaan (theologia gloriae) melainkan melalui teologi salib (theologia crucis). Ini berdampak pada kita secara batiniah ketika kita mati terhadap diri sendiri dan secara lahiriah ketika kita berbagi dalam penderitaan gereja. Teologi kemuliaan abad pertengahan harus diatasi oleh teologi salib. Terlepas dari semua perbedaan mereka dalam memahami hakikat yang tepat dari sakramen-sakramen, Luther dan Calvin setuju dalam hal ini. Jika kita dipersatukan dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya, dan karenanya ditandai oleh baptisan kita (seperti yang Paulus ajarkan dalam Rm. 6:1–14), maka seluruh kehidupan Kristen akan merupakan kehidupan memikul salib:
Salib Kristus tidak merujuk pada sepotong kayu yang Kristus pikul di atas pundak-Nya, dan yang kemudian di atasnya Dia dipaku, tetapi secara umum salib merujuk pada semua penderitaan orang beriman, yang penderitaannya adalah penderitaan Kristus, 2 Kor. 1:5: “kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus”; dan lagi: “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam tubuhku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu gereja” (Kol. 1:24). Dengan demikian salib Kristus secara umum merujuk pada semua penderitaan yang dialami oleh Gereja yang diderita demi Kristus.
Persatuan orang percaya dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya serta penerapannya dalam pengalaman sehari-hari, dengan demikian menjadi, bagi Luther, lensa kacamata yang melaluinya orang Kristen belajar untuk melihat setiap pengalaman dalam kehidupan. Inilah—theologia crucis—yang membawa segala sesuatu ke dalam fokus yang lebih tajam dan memampukan kita untuk memahami pasang surutnya kehidupan Kristen:
Adalah bermanfaat bagi kita untuk mengetahui hal-hal ini, supaya kita tidak ditelan oleh kesedihan atau terjerumus dalam keputusasaan ketika kita melihat musuh-musuh kita dengan kejam menganiaya, mengucilkan, dan membunuh kita. Akan tetapi marilah kita berpikir mengenai diri kita sendiri, mengikuti teladan Paulus bahwa kita harus bermegah di dalam salib yang kita pikul, bukan untuk dosa-dosa kita, tetapi demi Kristus. Jika kita hanya memikirkan penderitaan yang kita tanggung, penderitaan itu bukan hanya menyedihkan tetapi juga tidak tertahankan; tetapi ketika kita dapat berkata: “Penderitaan-Mu (ya Kristus) berlimpah-limpah di dalam kami”; atau, seperti yang dikatakan di dalam Mazmur 44: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari,” maka penderitaan-penderitaan ini tidak hanya ringan, tetapi juga manis, menurut perkataan ini: “Kuk yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan” (Mat. 11:30).
4. Kehidupan Kristen ditandai dengan kepastian dan sukacita.
Keempat, kehidupan Kristen ditandai dengan kepastian dan sukacita. Ini adalah salah satu ciri khas Reformasi, dan ini dapat dimengerti. Penemuan kembali Reformasi mengenai pembenaran—bahwa, alih-alih bekerja menuju kedatangan pembenaran yang diharapkan, kehidupan Kristen justru dimulai dengan pembenaran—membawa pembebasan yang menakjubkan, memenuhi pikiran, kehendak, dan perasaan dengan sukacita. Itu berarti bahwa seseorang sekarang dapat mulai hidup dalam terang masa depan yang pasti dalam kemuliaan. Tak terelakkan, cahaya itu memantul kembali ke dalam kehidupan saat ini, membawa kelegaan dan kelepasan yang luar biasa.
Penemuan kembali Reformasi mengenai pembenaran—bahwa, alih-alih bekerja menuju kedatangan pembenaran yang diharapkan, kehidupan Kristen justru dimulai dengan pembenaran—membawa pembebasan yang menakjubkan, memenuhi pikiran, kehendak, dan perasaan dengan sukacita.
Bagi Luther, kehidupan Kristen adalah kehidupan yang dilandaskan pada Injil, dibangun oleh Injil, dan memuliakan Injil, yang menunjukkan anugerah yang cuma-cuma dan berdaulat dari Allah, serta yang dijalani dalam rasa syukur kepada Juruselamat yang telah mati bagi kita, yang dipasangkan kepada-Nya dalam memikul salib hingga maut ditelan dalam kemenangan dan iman menjadi terlihat.
Mungkin, pada tahun 1522, selagi mereka duduk mendengarkan Luther berkhotbah pada suatu Minggu di gereja di Borna, sebagian jemaatnya bertanya-tanya apa yang ada di dalam inti injil ini yang telah begitu menggairahkan, belum lagi mengubah, Frater Martin. Mungkinkah hal itu juga berlaku bagi mereka? Luther telah membaca pikiran mereka. Ia telah naik ke mimbar dengan persiapan yang matang untuk menjawab pertanyaan mereka:
Tetapi apakah Injil itu? Inilah Injil, bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia untuk menyelamatkan orang-orang berdosa, Yoh. 3:16, dan untuk menghancurkan neraka, mengalahkan maut, menghapuskan dosa, dan menggenapi hukum. Tetapi apa yang harus Anda lakukan? Tidak ada selain menerima ini dan memandang kepada Penebus Anda dan dengan teguh percaya bahwa Dia telah melakukan semua ini untuk kebaikan Anda, dan dengan cuma-cuma memberikan semuanya kepada Anda sebagai milik Anda, sehingga di dalam teror maut, dosa, dan neraka, Anda dapat dengan percaya diri berkata dan dengan berani bergantung padanya, dan berkata: Meskipun saya tidak memenuhi hukum, meskipun dosa masih ada dan saya takut akan maut dan neraka, namun dari Injil saya tahu bahwa Kristus telah menganugerahkan kepada saya semua karya-Nya. Saya yakin Dia tidak akan berbohong, janji-Nya pasti akan Dia penuhi. Dan sebagai tanda akan hal ini, saya telah menerima baptisan.
Pada hal ini saya mendasarkan keyakinan saya. Sebab saya tahu, bahwa Tuhan Kristus saya telah mengalahkan maut, dosa, neraka dan Iblis untuk kebaikan saya. Karena Ia tidak berdosa, seperti yang dikatakan Petrus: “Ia tidak berbuat dosa, dan tipu daya tidak ada dalam mulut-Nya.” 1 Ptr. 2:22. Oleh karena itu dosa dan maut tidak dapat membunuh-Nya, neraka tidak dapat menahan-Nya, dan Dia telah menjadi Tuhan mereka, dan telah memberikan hal ini kepada semua orang yang menerima dan mempercayainya. Semua ini terjadi bukan karena perbuatan atau jasa-jasa saya; melainkan karena anugerah, kebaikan dan belas kasihan semata.
Luther pernah berkata, “Jika saya dapat percaya bahwa Allah tidak murka kepada saya, saya akan berdiri di atas kepala saya dengan penuh sukacita.” Mungkin pada hari itu juga sebagian orang yang mendengar khotbahnya merespons dan mengalami “keyakinan” yang ia bicarakan. Siapa tahu jika beberapa pendengar yang lebih muda kemudian menulis surat kepada teman-teman mereka sebagai kelanjutannya dan memberi tahu mereka bahwa mereka telah pulang ke rumah dan berdiri di atas kepala mereka karena sukacita?
Telah diterbitkan sebelumnya dalam The Legacy of Luther oleh Stephen Nichols.