Siapakah Anak-Anak Allah di Kejadian 6?
16 Oktober 2025
Siapakah Anak-Anak Allah di Kejadian 6?
16 Oktober 2025

Siapakah Para Teolog Westminster Itu?

Sidang Westminster (1645-53) bertemu dalam periode gejolak agama dan nasional yang intens di Inggris dan menghasilkan sejumlah pernyataan teologis yang merupakan standar—terutama Pengakuan Iman Westminster serta Katekismus Besar dan Kecil—yang terus memiliki signifikansi dan pengaruh secara global sekarang ini.

Latar Belakang dan Konteks

Ketika Perang Saudara di Inggris (1642-51) pecah, yaitu antara Raja Charles 1 dan Parlemen, Gereja di Inggris dalam keadaan kacau. Meski sebuah via media (“jalan tengah”) antara Teologi Protestan dan bentuk Katolik Roma (yang mempertahankan sistem pemerintahan, penampilan, dan praktik-praktik agama di Roma) telah diteguhkan di bawah pemerintahan Ratu Elizabeth I pada tahun 1559, pelaksanaan kompromi itu berlanjut hingga abad ke-17. Karena itu, banyak orang berusaha memurnikan Gereja Inggris dari sisa-sisa Katolik Roma—mereka dikenal sebagai “kaum Puritan” dulu maupun sekarang. 

Kaum Puritan ingin mereformasi Gereja Inggris dalam hal ibadah Alkitabiah dan ekspresi agamanya, yang akan menerapkan Teologi Protestan secara konsisten dalam kehidupan orang Kristen setiap hari. Karena banyak orang Puritan menolak khotbah, doa, serta liturgi yang dirumuskan dalam Buku Doa Umum (Book of Common Prayer) Gereja Inggris, mereka menjadi pembangkang dan nonkonformis.

Sejak akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, pertikaian antara rohaniwan yang condong kepada Katolik dan unsur Puritan mengalami pasang-surut hingga Raja Charles memainkan kekuasaannya secara berlebihan. Pada tahun 1642, ia mengibarkan bendera kerajaan melawan Parlemen, dan dimulailah Perang Saudara Inggris. Pada tahun berikutnya, Parlemen menyelenggarakan apa yang dianggap oleh beberapa orang sebagai sidang orang-orang yang paling berbakat, saleh, dan cerdas secara teologis yang pernah bersidang dalam sejarah Gereja.

Sidang Westminster

Terdiri dari 121 rohaniwan Inggris, 30 kaum awam, dan sebuah delegasi tanpa hak suara (tetapi sangat berpengaruh) dari kaum Presbiterian Skotlandia, Sidang ini diikuti oleh sejumlah teolog dan pendeta terkenal seperti Thomas Goodwin, Edward Calamy, William Gouge, dan Jeremiah Burroughs, bersama para komisioner dari Skotlandia seperti George Gillespie dan Samuel Rutherford. Sidang ini bertemu di Westminster Abbey di London dari tahun 1643 hingga 1649, menyelenggarakan lebih dari seribu sesi, dan terus bersidang secara sporadis setelahnya sampai tahun 1653.

Liga dan Perjanjian yang Khidmat (1643) antara Parlemen Inggris dan Skotlandia membuka jalan bagi sebuah aliansi militer dan gereja, yang tidak hanya mengokohkan pasukan Parlemen melawan Raja Charles, tetapi juga memengaruhi isi dari Standar Westminster. Meski bukan dokumen Presbiterian dalam hal sistem pemerintahan gereja yang dipimpin oleh penatua, namun dengan bantuan dari kaum Presbiterian Skotlandia, Standar Westminster memberi kepada kaum Presbiterian (juga antara lain, kaum Independen) kebebasan untuk menjalankan sistem pemerintahan gereja mereka dalam lingkup pengakuan-pengakuan iman Reformed.

Para teolog (atau komisioner) Westminster adalah orang-orang yang berbakat. Mereka cakap dalam pemahaman Alkitab, dalam teologi, dalam bahasa asli Alkitab yaitu Ibrani dan Yunani, dan bahasa Latin, serta dapat melafalkan di luar kepala banyak kutipan-kutipan dari bapa-bapa gereja. Mereka telah belajar dari generasi awal para Reformator (misalnya, Luther, Calvin, Zwingli, Knox, dll.) dan berusaha membungkus Teologi Reformed dengan penerapan-penerapan pastoral dan praktis. Mereka juga mempertahankan pelaksanaan secara cermat ibadah pribadi dan keluarga, menata keluarga sesuai dengan ajaran-ajaran Alkitab, dan menjalankan Hari Tuhan sebagai Sabatnya orang Kristen. Para teolog Westminster menaruh perhatian terhadap pengalaman kristiani dan simpati pastoral yang hangat, tetapi tidak berkompromi dalam pendirian mereka terhadap bidat, ajaran Katolik Roma, ajaran sesat, dan dosa yang tidak disesali.

Pencapaian dan Signifikansi Sidang

Gereja Kristen telah lama menghargai praktik pengakuan iman untuk mendefinisikan, menyatukan, menjernihkan, membedakan, menjaga, dan mempertahankan iman yang dahulu disampaikan kepada orang-orang kudus (Yud. 3). Di tengah kebingungan teologis dan ibadah yang tidak konsisten, para teolog Westminster ini—menggunakan dokumen 39 Pasal Gereja Inggris dan Pasal-Pasal Irlandia karya James Ussher (1615) sebagai dasar—menghasilkan sebuah Pengakuan Iman yang baru (1646), Katekismus Besar dan Katekismus Kecil (1647), serta Direktori Ibadah Publik (1644). Parlemen juga meminta para teolog tersebut menambahkan bukti ayat-ayat Alkitab untuk mendukung setiap pernyataan.

Pengakuan Iman Westminster dapat dikatakan adalah pencapaian Sidang Westminster yang paling bertahan lama, terdiri dari pasal-pasal teologis yang paling penting dan ringkas mengenai topik-topik seperti Alkitab, Allah, penciptaan, manusia, dosa, penebusan dalam Kristus, pengudusan, gereja, ibadah, pernikahan, sakramen, dan penghakiman terakhir.

Katekismus Besar dan Katekismus Kecil secara umum mengikuti struktur Pengakuan Iman, tetapi mengandung bagian-bagian lebih besar yang dikhususkan untuk Sepuluh Perintah dan Doa Bapa Kami. Selain itu, jika Katekismus Besar memberi penekanan pada gereja, Katekismus Kecil memberi penekanan pada individu. Keduanya dirancang sebagai alat pengajaran untuk mengajarkan doktrin kepada rohaniwan maupun orang awam, dengan menekankan kejelasan dan ketepatan dalam pemahaman teologi.

Direktori Ibadah Publik dibuat, salah satu alasannya, adalah untuk menggantikan liturgi wajib yang dijabarkan dalam Buku Doa Umum, dan menjadi buku panduan ibadah Protestan dan Reformed yang benar-benar konsisten. Direktori ini menekankan prinsip-prinsip aturan ibadah, sentralitas Alkitab, pelaksanaan sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus secara tepat, dan pertimbangan-pertimbangan pastoral terkait kunjungan kepada orang sakit, puasa, dan penguburan.

Sidang Westminster adalah sebuah momen penting dalam sejarah Teologi Reformed dan perkembangan Kekristenan Protestan. Warisannya yang bertahan lama tidak hanya terlihat dalam rumusan doktrinalnya, tetapi juga melalui dampaknya terhadap Eklesiologi dan pemikiran Kristen. Karya sidang tersebut terus menuntun kepercayaan dan praktik gereja-gereja Reformed di seluruh dunia saat ini, yang menunjukkan keterlibatan mendalam dengan Alkitab dan teologi.

Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
Brian Cosby
Brian Cosby
Dr. Brian H. Cosby adalah pendeta senior di Wayside Presbyterian Church di Signal Mountain, Tennessee, dan adjuct professor bidang Teologi Sejarah di Reformed Theological Seminary di Atlanta. Ia adalah penulis dari beberapa buku, termasuk Uncensored: Daring to Embrace the Entire Bible dan A Christian’s Pocket Guide to Suffering.