
Sebuah Katekismus tentang Hati
28 Oktober 2025Apakah Orang Kristen Boleh Berduka?
 
									Kedukaan terjadi dengan keteraturan yang tak menentu: penderitaan menyisipkan dirinya ke dalam kehidupan kita yang selain itu menyenangkan dan kembali mengganggu. Pengalaman menyedihkan memiliki cara yang tak diinginkan dalam melakukan hal ini. Pengalaman ini menerobos masuk, tanpa diundang, membuat mereka yang terkena dampaknya berduka, sedih, dan merasa dikecilkan. Providensia yang menyakitkan ini membawa luka dan kehilangan yang nyata. Selain itu, pengalaman menyedihkan tidak pernah datang pada waktu yang tepat, karena sejujurnya, tidak ada waktu yang tepat untuk menghadapi kesulitan.
Namun, terkadang ada mentalitas di dalam gereja bahwa kita harus berusaha menyembunyikan duka kita, memasang wajah bahagia, dan menjalani hidup seolah-olah tantangan-tantangan yang kita hadapi ini “baik-baik saja.” Kita menjawab sapaan biasa “Apa kabar?” dengan “Saya baik, terima kasih,” padahal di dalam diri kita jauh dari kata “baik.” Kita pergi beribadah dan menyanyikan pujian yang terasa terlalu ceria untuk situasi kita saat ini.
Tampaknya ada pemikiran bahwa orang Kristen, yang ditopang oleh kekuatan Tuhan, tidak perlu (atau mungkin tidak boleh) merasakan duka—bahwa ada kekuatan dalam mengecilkan kesusahan seperti ini dalam kesulitan hidup. Lagipula, kita harus menganggapnya sebagai kebahagiaan ketika kita menghadapi berbagai pencobaan (Yak. 1:2).
Namun, dengan sudut pandang seperti itu, orang-orang percaya menjadi bertanya-tanya di mana tempat untuk berduka. Pengkhotbah 7:2-4 secara sangat nyata absen dalam teologi kita sehari-hari:
Pergi ke rumah duka lebih baik
daripada pergi ke tempat pesta,
karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia;
hendaklah orang yang hidup memperhatikannya.Kesedihan lebih baik daripada tawa,
karena muka yang muram membuat hati arif.
Hati orang berhikmat ada di rumah duka,
tetapi hati orang bodoh ada di rumah tempat bersukaria.
Kita dapat memahami bahwa dunia tidak ingin berduka, karena mereka berduka seperti orang yang tidak memiliki pengharapan (1Tes. 4:13). Penyingkiran rasa sakit seperti itu masuk akal bagi posisi dunia. Akan tetapi, bagaimana dengan gereja? Mengapa kita tergoda untuk percaya pada kebohongan bahwa penderitaan harus dianggap sebagai hal yang kecil dan sepele? Mengapa kita menghindari rumah duka dan malah bergegas menuju rumah pesta, tawa, dan kegembiraan?
Mungkin kita mulai mengkhotbahkan solusi dunia kepada diri kita sendiri, “Makan minum dan bergembira ria” (Pkh. 8:15) “sebab besok kita mati” (Yes. 22:13). Kita sebenarnya telah mengambil apa yang jahat; apa yang tidak normal dalam rancangan dan ciptaan Allah yang orisinal; apa yang telah menyusupi segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya dengan “sangat baik” dan mencemari lingkungan kehidupan, berkat, dan kelimpahan ini; dan kita telah membuat penyusup itu menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Kita telah mengatakan tentang musuh ini, Penderitaan—penyusup dan penyerang rancangan Allah yang baik—yang datang sebagai akibat dari kejatuhan kita ke dalam dosa, “Engkau tidak begitu buruk.” Namun, kebenaran Allah jauh lebih mulia daripada mencoba menghadapi penderitaan dengan tanpa perasaan.
Dalam tatanan Allah, orang percaya dapat dengan tepat menyebut kepedihan sebagaimana adanya: sebagai sesuatu yang mengerikan dan tidak menyenangkan. Kita dapat pergi ke rumah duka, dengan tepat membawa kesedihan ini kepada Tuhan (1Ptr. 5:7) dan dengan tepat membawanya ke hati (Pkh. 7:2). Lagi pula, Mazmur penuh dengan ungkapan-ungkapan ratapan yang saleh. Bahkan, ada satu kitab penuh dalam Alkitab yang didedikasikan untuk itu (Ratapan)!
Kita juga secara bersamaan memegang kebenaran yang penuh pengharapan bahwa Allah telah mengalahkan kutuk di dalam Yesus Kristus. Dia telah menang atas area dosa dan kesengsaraan ini dan telah menebus bahkan semua kesedihan kita, menggunakan kesulitan-kesulitan untuk tujuan-tujuan-Nya yang baik dalam hidup kita. Jadi, kita tidak berduka seperti mereka yang tidak memiliki pengharapan. Kita dengan tepat berduka, tetapi kita juga dengan tepat percaya pada pemeliharaan Tuhan yang baik di tengah duka. Kebenaran-kebenaran ini berada dalam keselarasan yang ilahi dan bukan dalam ketegangan yang berlawanan.
Jadi, umat Kristen yang terkasih, marilah kita berduka dengan baik. Marilah kita menangis dan berduka, tetapi tidak putus asa. Marilah kita mengizinkan saudara-saudari kita untuk berduka dan tidak membatasi dukacita mereka—sebatas yang dapat diterima secara Kristiani sebelum mereka harus dapat tersenyum kembali. Dan semoga kita semua memperhatikan, karena meskipun kita menghadapi segala macam masalah di dunia ini, Kristus telah mengalahkan dunia (Yoh. 16:33).
Suatu hari nanti, segala air mata akan dihapuskan (Why. 21:4). Namun, hari ini bukanlah hari itu. Sampai saat itu tiba, kita akan berkata, “Datanglah, Tuhan Yesus.”
 
							

