Manusia sebagai Pelanggar Perjanjian dan Penyandang Gambar yang Dipulihkan
25 Januari 2024
Kepala Kita yang Berotoritas Penuh
01 Februari 2024
Manusia sebagai Pelanggar Perjanjian dan Penyandang Gambar yang Dipulihkan
25 Januari 2024
Kepala Kita yang Berotoritas Penuh
01 Februari 2024

Antropologi Kristen dan Kehidupan Moral

Para penulis Kristen kadang menyebutkan bahwa doktrin dan etika berjalan bersama. Namun, meskipun setiap area teologi memiliki implikasi moral, doktrin manusia (antropologi) terutama memiliki konsekuensi yang sangat kuat bagi kehidupan moral. Siapa diri kita tidak dapat dipisahkan dari bagaimana kita harus hidup. Lebih lanjut, bagaimana Allah memanggil kita untuk bertindak sesuai dengan natur manusia yang Ia berikan kepada kita.

Klaim-klaim seperti itu menantang cara berpikir banyak orang tentang etika Kristen. Bahkan banyak orang Kristen tergoda untuk melihat hukum Allah sebagai sekumpulan aturan yang Allah bebankan kepada kita yang menghalangi kita untuk menikmati begitu banyak kesenangan, kenikmatan, dan keuntungan. Akan tetapi, hukum Allah bukan hukum yang semena-mena. Hukum Allah memerintahkan apa yang harus dilakukan untuk alasan yang baik. Hukum Allah tidak hanya mencerminkan natur-Nya yang kudus dan benar melainkan juga mencerminkan natur kita sendiri. Kehendak moral-Nya akan sejalan dengan cara Dia menciptakan kita dan tujuan-Nya bagi kita untuk kita capai. Ini berarti, hukum Allah bukanlah sebuah jaket selat yang membatasi kita dari hal-hal yang menyenangkan. Hukum Allah sungguh-sungguh baik bagi kita.

Tentu saja, dalam dunia yang berdosa, kita sering kali harus menderita karena setia kepada Tuhan kita. Namun, hidup menurut hukum Allah sesuai dengan rancangan-Nya ketika menciptakan kita akan memberikan kepuasan sejati bahkan di tengah-tengah ujian dan kehilangan dalam kehidupan. Hidup bertentangan dengan hukum Allah hanya akan membuat manusia sangat tidak bahagia dan tidak puas, karena kehidupan yang demikian bertentangan dengan bagaimana Allah menciptakan kita untuk hidup. Seekor burung tidak dapat menemukan kepuasan dengan mencoba hidup seperti kuda, dan seekor kuda tidak dapat menemukan kepuasan dengan mencoba hidup seperti ikan. Begitu pula dengan manusia yang mencoba untuk hidup bertentangan dengan hukum ilahi yang dengan sempurna cocok dengan natur dan tujuan akhir mereka.

Mari kita pertimbangkan hal-hal ini secara konkret dengan merenungkan empat area moralitas manusia yang penting dan kontroversial: pekerjaan, seks dan gender, ras, dan nilai nyawa manusia.

PEKERJAAN

Entah kita bekerja di dalam atau di luar rumah, entah pekerjaan kita menghasilkan pendapatan atau tidak, pekerjaan sering kali menghabiskan banyak waktu kita. Kita mungkin memikirkan pekerjaan semata-mata dalam kaitannya dengan kebutuhan—begitu banyak tagihan yang harus dibayar, mulut yang harus diberi makan, dan popok yang harus diganti. Atau kita mungkin memikirkan pekerjaan dalam kaitannya dengan kewajiban moral kita untuk menjadi produktif dan menghindari kemalasan, seperti yang sering diingatkan oleh Alkitab (misalnya, Ams. 6:6-11; 1 Tes. 4:11-12; 2 Tes. 3:6-12). Kebutuhan dan kewajiban moral memang motivasi yang sah untuk bekerja, tetapi ada hal yang lebih mendasar lagi. Sejak awal, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bekerja. Bekerja keras sesuai dengan natur yang Allah berikan kepada kita.

Salah satu hal yang mencolok dari Kejadian 1 adalah bahwa pasal ini menggambarkan Allah sebagai seorang pekerja. Dia menciptakan segala sesuatu dengan berfirman, menempatkannya sesuai tatanan, memberinya nama, dan memberinya tugas untuk dikerjakan. Dia bukanlah seorang tiran yang malas dan memanjakan diri melainkan seorang pekerja yang sibuk dan produktif. Jadi, tidak heran ketika Dia menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, Dia langsung memberi pekerjaan kepada mereka: untuk berkuasa atas makhluk-makhluk lain, beranakcucu dan bertambah banyak, serta memenuhi dan menaklukkan bumi (Kej. 1:26, 28). Menjadi manusia berarti menyandang gambar Allah, dan menyandang gambar Allah mencakup panggilan untuk bekerja secara produktif. Hukum Allah memerintahkan kita untuk bekerja karena ini benar-benar sesuai dengan natur manusia untuk dilakukan.

Hal ini menjelaskan mengapa orang yang berhenti bekerja karena satu dan lain hal sering merasakan kehilangan yang dalam dan disorientasi. Mereka yang menjadi difabel dan keluar dari dunia kerja sering kali bergumul dengan depresi. Banyak orang yang sangat menantikan masa pensiun mulai merasa kehilangan makna dalam hidup tak lama setelah mereka meninggalkan pekerjaan mereka. Perasaan tidak memiliki tujuan dapat menyerang ibu rumah tangga yang setia ketika anak-anak mereka tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah. Kehidupan tanpa pekerjaan dapat terlihat begitu menarik dari kejauhan, di tengah kesibukan dan stres, tapi kenyataannya ternyata hampa.

Dunia harus menghadapi kenyataan ini dengan cara yang meresahkan selama beberapa tahun terakhir karena COVID-19 dan pembatasan pemerintah mengganggu kehidupan ekonomi. Banyak pekerjaan menghilang, dan pekerjaan lainnya menjadi sangat berbahaya dan penuh stres. Tunjangan pemerintah dan layanan streaming online terbukti menjadi pengganti yang tidak memadai bagi pekerjaan yang produktif. Bukan suatu kebetulan jika masalah kesehatan mental dan penyalahgunaan narkoba meningkat drastis. Kita sekarang mendengar tingkat partisipasi tenaga kerja secara keseluruhan belum pulih bahkan setelah pencabutan sebagian besar pembatasan pandemi. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah banyak pria usia kerja prima tampaknya telah betul-betul keluar dari dunia kerja.

Ini bukan hanya masalah ekonomi atau kebijakan publik, tetapi hal-hal yang berkaitan dengan inti dari keberadaan kita sebagai manusia. Allah memerintahkan kita untuk bekerja karena Dia memberi kita natur yang rindu bekerja. Ketika orang tidak mau atau tidak dapat bekerja, efek samping yang ditimbulkannya akan sangat besar.

SEKS DAN GENDER

Ketika orang Kristen merenungkan keterasingan mereka yang semakin meningkat dari budaya arus utama di masyarakat Barat, isu-isu seks dan gender jarang terluput dari pikiran mereka. Kadang-kadang orang Kristen mungkin bertanya-tanya apakah menjunjung tinggi pandangan tradisional benar-benar sepadan dengan semua cemoohan dan pengucilan yang mengikutinya. Akan tetapi, seks dan gender memang sangat penting, dan salah satu alasan utamanya adalah karena natur manusia menjadi taruhannya. Revolusi seks dan gender yang terjadi belakangan ini merupakan pemberontakan terhadap hukum Allah sekaligus penyangkalan besar terhadap realitas—realitas dari cara Allah menciptakan kita.

Yesus pernah menyebutkan, Allah “sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan” (Mat. 19:4). Yesus mengatakan hal ini ketika memperkenalkan ajaran-Nya yang paling lengkap tentang pernikahan yang tercatat dalam Injil (19:4-12; lihat Mrk. 10:1-12). Dia memberikan lebih dari sekadar bukti teks Perjanjian Lama tentang kepermanenan pernikahan dan amoralitas perceraian dalam kebanyakan situasi. Ia juga menunjukkan bahwa hukum Allah untuk seks dan pernikahan didasarkan pada tatanan penciptaan. Allah mengharapkan pernikahan yang langgeng, setia, berketurunan, dan heteroseksual berdasarkan cara Dia menciptakan kita. Hal pertama yang Alkitab katakan kepada kita tentang diri kita adalah bahwa Allah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26). Hal kedua yang dikatakan adalah bahwa kita, para penyandang gambar, adalah laki-laki dan perempuan (ay. 27). Semua manusia adalah penyandang gambar, tetapi ada dua (dan hanya ada dua) cara untuk menjadi penyandang gambar: sebagai laki-laki atau perempuan. Perbedaan mendasar ini membentuk kehidupan kita dalam berbagai cara, baik yang jelas maupun yang misterius, tetapi Kejadian 2 mungkin menekankan cara yang paling penting: Allah menciptakan perempuan dengan cara yang secara sempurna “sepadan” (2:18) bagi laki-laki sehingga mereka dapat bersatu dalam pernikahan, sebuah relasi “satu daging” yang permanen dan berbuah secara seksual (ay. 22-24). Hanya relasi antara satu laki-laki dan satu perempuan yang dapat merupakan relasi yang seperti ini.

Pertimbangan-pertimbangan demikian sangat penting untuk ditekankan ketika melatih generasi berikutnya. Anak-anak dan pemuda kita menghadapi tekanan yang besar untuk menolak atau setidaknya melonggarkan ajaran gereja tentang seks. Betapa pentingnya bagi mereka untuk mengetahui bahwa Allah tidak memberlakukan aturan-aturan yang kaku kepada kita untuk menekan hasrat kita dan membuat kita sengsara. Sebaliknya, hukum-Nya tentang seksualitas menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi manusia yang paling sejati. Hukum ini menjelaskan satu-satunya cara agar kita dapat mengekspresikan hasrat seksual kita tanpa rasa bersalah, penyesalan, dan kebencian yang sering ditimbulkan oleh cara-cara lain. Makan terlalu banyak, minum terlalu banyak, dan ledakan kemarahan bisa terasa menggembirakan, tetapi pada akhirnya membuat orang tersebut (dan sering kali orang lain) merasa sengsara. Sama halnya dengan seks dan gender. Memilih atau menciptakan gender sendiri mungkin memberikan perasaan berkuasa dan bebas yang memuaskan untuk sementara waktu. Melampiaskan hasrat seksual di luar relasi pernikahan mungkin memberikan kesenangan sesaat. Namun, hal-hal seperti itu tidak akan pernah memuaskan, karena bertentangan dengan natur manusia yang sebenarnya tidak dapat kita ubah.

RAS

Ras, bersama dengan seks dan gender, jelas termasuk di antara isu-isu yang paling diperdebatkan dalam budaya kontemporer. Namun, dalam hal ini, orang Kristen tidak menemukan diri mereka terlalu terpisah dengan arus utama budaya, setidaknya secara umum. Ketika budaya kita yang lebih luas menyatakan penentangannya terhadap rasisme, orang Kristen dapat ikut serta dengan senang hati, dan mereka juga dapat mengungkapkan penyesalan yang mendalam atas kegagalan gereja dalam hal ini. Namun, ras adalah salah satu isu moral yang sangat terkait dengan natur manusia. Merenungkan hal ini melalui lensa antropologi Kristen pasti akan memberikan wawasan tambahan.

Pada satu tahapan, antropologi Kristen menyediakan suatu keberatan terhadap rasisme yang cukup jelas dan nyata: Allah menciptakan setiap manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Merendahkan orang lain karena warna kulitnya atau menaklukkan sesama manusia karena garis keturunannya berarti mengabaikan fakta keberadaan kita yang sangat penting dan menghina Dia yang gambar-Nya mereka sandang. Bagaimanapun cerdiknya dirasionalisasikan, rasisme tidak mungkin dapat melepaskan diri dari keberatan yang berakibat serius ini. Banyak non-Kristen mengecam rasisme di atas dasar martabat manusia yang universal, tetapi orang Kristen memiliki alasan yang paling serius untuk melakukannya.  

Antropologi Kristen menuntut analisis yang lebih dalam. Alkitab tidak hanya mengindikasikan bahwa semua manusia menyandang gambar Allah, tetapi juga bahwa semua manusia berasal dari satu garis keturunan. Allah menciptakan semua manusia dari “satu darah” (terjemahan harfiah Kisah Para Rasul 17:26), dipersatukan dalam kelahiran di bawah satu kepala perjanjian, yaitu Adam yang pertama, dan memiliki hanya satu pengharapan akan keselamatan di bawah satu kepala perjanjian yang lain, yaitu Adam yang terakhir (Rm. 5:12-19; 1 Kor. 15:21-22, 45-49). Kita berbagi natur yang sama, dan dengan demikian, menurut Alkitab, sesungguhnya hanya ada satu ras manusia. Alkitab mengakui bahwa kelompok-kelompok manusia telah bersatu menjadi satu suku bangsa atau bangsa (misalnya, bangsa Mesir, Het, Asyur, Babel), tetapi Alkitab tidak pernah menggambarkan manusia berasal dari “ras” yang berbeda dalam pengertian modern. Gamblangnya, Alkitab tidak mengenal adanya ras “kulit putih”, ras “kulit hitam”, atau sejenisnya.

Penting dicatat bahwa ilmu genetika kontemporer sampai pada kesimpulan yang persis sama. Ketika para ilmuwan memeriksa dan membandingkan susunan genetik orang-orang di seluruh dunia dan juga mempelajari sisa-sisa genetik dari banyak orang yang hidup jauh sebelum kita, mereka menolak gagasan bahwa umat manusia terbagi menjadi beberapa (sejumlah kecil) ras yang berbeda secara biologis. Nyatanya, kita adalah satu ras yang saling terkait begitu erat sehingga teori beberapa ras itu tidak benar.

Pembagian manusia ke dalam ras-ras yang berbeda adalah ciptaan manusia yang bertentangan dengan realitas natur manusia, baik secara teologis maupun ilmiah. Pembagian manusia berdasarkan ras sama halnya dengan menciptakan gender selain laki-laki dan perempuan. Cara terbaik untuk menyembuhkan luka dan memperbaiki kesalahan yang ditimbulkan oleh rasisme selama berabad-abad adalah hal yang sulit dan kontroversial. Dapat dimengerti bahwa orang Kristen terkadang mengambil kesimpulan yang berbeda dalam hal detail. Akan tetapi, antropologi Kristen mengusulkan bahwa tujuan akhir kita seharusnya adalah sebuah masyarakat dan terutama sebuah gereja yang di dalamnya kita tidak lagi berbicara atau berhubungan satu sama lain seolah-olah kita berasal dari ras yang berbeda.

NILAI NYAWA MANUSIA

Semua isu yang telah dibahas sejauh ini penting, tetapi yang lebih penting dari itu semua, atau setidaknya yang paling mendasar, adalah nilai nyawa manusia. Kita melakukan kesalahan yang tak terhitung jumlahnya satu sama lain setiap hari, dengan berbagai tingkat keparahan. Namun, tidak ada kesalahan yang begitu serius, begitu menghancurkan, begitu final seperti membunuh sesama manusia. Sudah sepantasnya kita menyimpulkan studi antropologi kita tentang kehidupan moral dengan merenungkan masalah ini.

Ketika saya menulis ini, sebagian besar dunia merasa ngeri dengan laporan dan gambar yang datang dari Ukraina. Saya dan tentunya banyak pembaca artikel ini tidak pernah hidup di tengah-tengah perang. Itu adalah berkat yang luar biasa, tetapi hal itu dapat memberikan gambaran yang salah tentang realitas. Dunia kita yang telah jatuh ke dalam dosa ini adalah dunia yang penuh kekerasan. Dosa begitu serius sehingga orang saling mengambil nyawa satu sama lain, sering kali dengan cara yang sadis dan terang-terangan. Pembunuhan, terutama dalam peperangan, bukan hanya memutus nyawa seseorang tetapi juga menghancurkan keluarga, komunitas, ekonomi, dan lingkungan.

Seperti topik-topik kita sebelumnya, Kejadian 1 sudah memberi tahu kita sebagian besar hal yang perlu kita ketahui. Allah menciptakan “manusia” menurut gambar-Nya, “laki-laki dan perempuan” (Kej. 1:26-27). Dengan demikian, semua orang memiliki martabat yang paling mendasar yang dapat dibayangkan. Menyerang seorang manusia berarti menyerang keserupaan dengan Allah sendiri. Kejadian 9:6 menambahkan sesuatu yang halus dan penting pada hal ini. Setelah air bah, yang ditimpakan oleh Allah karena kekerasan (lihat 6:11), Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh dan seluruh dunia selama sisa sejarah, untuk memelihara dan mengatur segala sesuatu (8:21-9:17). Sebagai bagian dari perjanjian ini, Allah menyatakan: “Siapa menumpahkan darah manusia, darahnya akan ditumpahkan oleh manusia, sebab menurut gambar Allah manusia dijadikan” (9:6). Menurut rumus ini, darah setiap orang sama berharganya. Siapa pun yang menumpahkan darah siapa saja secara tidak sah harus membayar dengan darahnya sendiri. Tidak peduli apakah pelakunya adalah seorang raja dan korbannya adalah seorang hamba, atau sebaliknya. Darah manusia adalah darah manusia, dan pembunuhan terhadap siapa pun menuntut pembalasan yang setimpal. Bahkan nyawa dari orang yang paling lemah dan terabaikan sekalipun harus dibela. Di sinilah kejahatan aborsi secara khusus terungkap. Tidak ada yang lebih rentan daripada janin yang belum lahir, dan keadilan dalam Kejadian 9:6 juga berlaku bagi mereka.

Konteks Kejadian 9:6 patut diperhatikan untuk isu lain yang terkait. Dalam ayat 5, Allah mengatakan bahwa Dia sendiri yang akan membalaskan pertumpahan darah manusia. Namun, ayat 6 kemudian menyatakan bahwa Allah telah menunjuk manusia sebagai alat-Nya untuk menegakkan keadilan. Fakta bahwa Allah memercayakan tugas besar ini kepada manusia (yang telah jatuh dalam dosa) adalah kesaksian tambahan tentang martabat yang melekat pada diri kita. Namun, hal ini juga mengingatkan kita bahwa menghargai nyawa manusia menyiratkan kita harus mendukung sistem hukum, peperangan (defensif) yang adil, dan hal-hal lain yang melindungi manusia dari kekerasan dan menghukum orang yang bersalah. Menyandang gambar Allah meliputi panggilan untuk menjalankan kekuasaan (1:26), dan di dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa, hal ini menuntut kita untuk mengedepankan keadilan dalam menghadapi kejahatan.

Satu hal terakhir perlu diperhatikan, dan ini adalah yang paling penting. Kita telah mempertimbangkan berbagai tujuan Allah menciptakan kita, tetapi yang paling utama adalah untuk memperoleh kebahagiaan yang kekal dalam persekutuan dengan-Nya. Allah menciptakan kita untuk memerintah bukan hanya dunia yang sekarang ini melainkan juga dunia yang akan datang (Ibr. 2:5). Meskipun kita gagal total mencapai tujuan itu, Allah telah mengutus Anak-Nya ke dalam keadaan kita yang hina untuk menderita bagi kita, supaya suatu hari nanti kita dapat bergabung dengan Dia dalam kemuliaan ciptaan baru (ay. 5-10). Allah tidak hanya memelihara kehidupan kita sekarang melalui anugerah umum-Nya dalam perjanjian Nuh, tetapi Ia juga memberi kita kehidupan kekal melalui darah perjanjian baru. Ini berarti bahwa seberharga apa pun kehidupan kita saat ini, kita sebagai orang Kristen tidak berani menganggap kehidupan saat ini sebagai hal yang paling penting. Kita menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Yesus (Mat. 16:24). Kita “setia sampai mati,” karena kita tahu bahwa Kristus telah memberikan kepada kita “mahkota kehidupan” (Why. 2:10). Tidak ada antropologi Kristen yang lengkap tanpa meninggikan hal ini, tujuan akhir tertinggi kita. Marilah kita “mencapai (harafiah: merangkul) hidup yang sebenarnya” (1 Tim. 6:19).


Artikel ini awalnya diterbitkan di Majalah Tabletalk.
David VanDrunen
David VanDrunen
Dr. David VanDrunen adalah Profesor Robert B. Strimple bidang Teologi Sistematika dan Etika Kristen di Westminster Seminary California dan seorang pendeta di Orthodox Presbyterian Church. Ia adalah penulis dari beberapa buku, termasuk Politics after Christendom dan Divine Covenants and Moral Order.